Dari Gereja Mandiri Menuju Gereja Misioner

1505
Mgr Leo Laba Ladjar OFM bersalaman dengan Presiden RI Joko Widodo.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Persoalan kesehatan, korupsi, alam, dan HAM menghiasi perjalanan 25 tahun Mgr Leo. Menguatkan komunitas basis lewat kesaksian hidup menjadi kekuatan dalam menyelesaikan ragam persoalan di Keuskupan Jayapura.

Hati Mgr Leo Laba Ladjar OFM berbunga-bunga ketika pertama kali menginjakkan kakinya di Distrik Samenage, Yahukimo, Jayapura. Meski telah menjadi Uskup Jayapura sejak 29 Agustus 1997, ia baru bisa menginjak tempat itu pada 25 September 2007. Beberapa kali rencana visitasi ke sana selalu gagal karena cuaca yang buruk.

Berada di pegunungan tinggi, dengan hutan dan kabut tebal, menjadikan jalur udara ke Samenage sebagai sebuah “jalur maut”. Daerah itu seketika menjadi daerah yang tak bisa dijangkau, saat cuaca yang tiba-tiba memburuk

Maka saat tiba di tempat itu, Mgr Leo merasa gembira bukan main. Meski sekujur tubuhnya masih saja basah karena hujan, senyumnya masih terlihat mengembang. Umat menerima sang gembala utama dengan gembira. Apalagi saat semua berkumpul dalam dialog adat di sekitar api unggun pada malam hari, itu seketika melenyapkan kesan angker daerah pegunungan Samenage.

“Alam bercerita banyak tentang hubungan mereka dengan Tuhan. Saya bersyukur mengalami pengalaman pastoral bersama umat di sana. Mungkin ini satu dari sekian pengalaman menggembirakan dalam tugas penggembalaan saya,” ujar Mgr Leo.

Arah Pastoral
Sudah 25 berlalu sejak Mgr Leo menerima tahbisan uskup. Mgr Leo akan merayakan perak tahbisan episkopal 10 April 2019 nanti. Mgr Leo pun melihat beberapa catatan penting dalam jejak penggembalaannya di Keuskupan Jayapura.

Selama itu, program-program dibuat untuk menyasar pengembangan iman umat. Lahirnya Keuskupan Timika pada 19 Desember 2003 pun tak dapat menafikan peran besar Mgr Leo. Keuskupan ini awalnya adalah sebuah kevikepan di bagian Barat Keuskupan Jayapura.

Dalam sebuah surat gembala yang ditulis Mgr Leo pada 2009, sebagaimana dijelaskan dalam buku Menjadi Gereja Yang Berjalan Bersama Papua Mgr Leo mengungkapkan, “Kekudusan telah diperoleh sejak pembaptisan tetapi tidak saja selesai saat itu. Orang perlu terus menerus menjadi kudus.” (A. Eddy Kristiyanto OFM, 2007)

Surat gembala ini berangkat dari tema “Komunitas Basis Gerejawi sebagai Tubuh Kristus”. Mgr Leo mengingatkan panggilan bagi umat Keuskupan Jayapura menuju pada “kekudusan”. Meski berada di tengah masyarakat yang penuh kecemasan, umat Jayapura perlu “berani tampil beda” dibandingkan umat yang lain. “Ada harapan umat Jayapura menjadi roh yang hidup, menggerakkan Gereja menjadi ‘kommunio’ yang hidup, bersahabat, dan visioner,” tulisnya.

Perbedaan dan keanekaragaman bukan sebuah halangan untuk membentuk Gereja yang hidup. Dengan perbedaan itu, setiap orang dipanggil untuk saling melengkapi dan membangun “Tubuh Kristus” yang satu dan sama. Ini mengubah visi pastoral Keuskupan Jayapura menuju sebuah Gereja yang berziarah dalam keberagaman.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini