Gerakan Penyadaran Keseimbangan

157

HIDUPKATOLIK.com – Laki-laki dan perempuan memang berbeda, tetapi bukan untuk dibeda-bedakan. Inilah ‘tesis’ yang kerap mengemuka tatkala kita membicarakan kesetaraan gender atau belakangan istilah keseimbangan gender lebih sering digunakan.

Dari sisi konstruksi biologis, ciri fisik laki-laki dan perempuan memang berbeda dan tidak dapat dipertukarkan karena ini merupakan produk alamiah (kodrat). Dari sisi konstruksi sosial (politik), peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan juga berbeda namun dapat dipertukarkan karena ini merupakan produk budaya (interaksi sosial/politik) kendati dalam kenyataannya tidak mudah dibongkar dan dipraktikan. Dari sisi konstruksi agama, posisi laki-laki dan perempuan berbeda dan tidak dapat dipertukarkan karena ajaran (tradisi) agama yang besangkutan.

Sajian Utama edisi ini menyoroti konstruksi sosial dalam ranah yang lebih sempit namun sentral, yakni keseimbangan peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Topik ini menjadi pembahasan utama dalam Pertemuan Nasional (Pernas) Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan Konferensi Waligereja Indonesia (SGPP KWI) belum lama ini di Jakarta.

Secara historis, Gereja memberikan perhatian pada kehidupan keluarga Katolik di seluruh dunia. Bahkan disebutkan, keluarga adalah unit terkecil Gereja. Dalam Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II kepada para ukup, imam-imam, dan umat beriman tentang Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern (Familiaris Consortio), Paus menegaskan, keluarga mengemban misi untuk makin menepati jatidirinya; yakni, suatu persekutuan kehidupan dan cinta kasih, melalui usaha, yang seperti segala sesuatu yang diciptakan dan ditebuskan mencapai kepenuhannya dalam kerajaan Allah. Keluarga mengemban misi untuk menjaga, mengungkapkan, serta menyalurkan cinta kasih. Cinta kasih itu merupakan pantulan hidup serta partisipasi nyata dalam cinta kasih Allah terhadap umat manusia, begitu pula cinta kasih Kristus Tuhan terhadap Gereja Mempelai-Nya.

Sekali lagi, keluarga menempati posisi yang utama dalam reksa pastoral umat. Banyak referensi tentang hal ini. Tentu saja, Kitab Suci adalah sumber utama melihat bagaimana relasi keseimbangan peran laki-laki (suami) dan perempuan (istri) diperhatikan, dalam kaitannya juga dengan anak-anak yang dianugerahkan kepada suami-istri.

Tantangannya, bagaimana mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Persoalan konstruksi sosial yang patriarkis dan paternalistik menjadi kendala yang kerap menjadi tebing yang amat curamdalam mewujudkan peran seimbang (baca: adil) antara suami dan istri.

Acapkali kaum perempuan mengalami subordinasi yang sedemikian rupa. Laki-laki cenderung diuntungkan. Apa lagi, jika kedua belah pihak tidak memperoleh pemahaman atau wawasan serupa mengenai hakikat relasional yang saling membebaskan. Misalnya saja, laki-laki harus menjadi pencari nafkah atau kepala keluarga, sedang perempuan tidak. Anak laki-laki harus mendapat pendidikan yang lebih tinggi, sedangkan anak perempuan tidak.

Kita bersyukur, gerakan penyadaran keseimbangan gender tumbuh, termasuk di lingkungan Gereja hingga saat ini. Sehingga keluarga (suami-istri-anak) zaman modern ini makin terbuka terhadap perspektif baru keseimbangan peran laki-laki dan perempuan kendati masih sangat perlahan.

HIDUP NO.19 2019, 12 Mei 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini