Melawan Kabar Bohong

154

HIDUPKATOLIK.com – Meski tinggal beberapa bulan lagi menuju pemungutan suara pemilihan presiden dan para wakil rakyat, kita merasakan perjalanan menuju 17 April itu sebagai melelahkan. Pemilihan umum yang selama ini dikenal sebagai pesat rakyat yang seharusnya disambut secara meriah, justru sedang kehilangan maknanya. Ini karena jalan yang kita lalui menuju perhelatan akbar itu sedang dikotori berita bohong (hoaks), fitnah, dan penyebaran kebencian berdasarkan sentimen primordial. Jika catatan Badan Intelijen Negara (BIN) itu benar, bahwa lebih dari enam puluh persen konten media sosial kita berisi hoaks, tampaknya kita harus siap dengan semakin keruhnya ruang publik menjelang hari pemungutan suara.

Beberapa temuan memang mengkhawatirkan. Data Kementerian Komunikasi dan Informasi menunjukkan ada sekitar 800 ribu situs di tahun 2018 yang terindikasi menyebarkan berita bohong. Sebanyak itu pula berita bohong yang kemudian diakses dan dikonsumsi oleh lebih dari 130 juta orang Indonesia yang aktif di media sosial.

Berkaca pada penelitian yang dilakukan DailySocial.id di tahun 2017, dari 73 % orang yang aktif di media sosial dan membaca berita/informasi secara menyeluruh, hanya ada 55 % yang melakukan verifikasi. Itu artinya di luar dari situs berita lain yang tidak mengandung hoaks, sebenarnya lebih dari 71 juta pengakses informasi tidak pernah mengklarifikasi kebenaran suatu informasi.

Dalam konteks Pesan Perdamaian Paus Fransiskus tanggal 1 Januari 2019, praktik politik di Indonesia tampaknya sedang mempertontonkan “political vices” ketika ketidakmampuan dan rendahnya tingkat kesadaran politik warga negara dimanfaatkan segelintir petualang politik untuk meraih kekuasaan dengan mengkapitalisasi ketidakjujuran (nr.4) dan menyebarluaskan rasa takut (nr.6). Sentimen primordial berbasiskan agama atau suku berpotensi mengaburkan batas antara kebenaran dan kebohongan (bdk misalnya Chuah, S. H., Gächter, S., Hoffmann, R., & Tan, J. H. (2016). Religion, discrimination and trust across three cultures. European Economic Review, 90, 280-301) sehingga masyarakat dengan tingkat melek politik yang rendah akan menjatuhkan pilihan berdasarkan arahan pemimpin agama, tokoh masyarakat, bahkan calon pemimpin itu sendiri.

Alih-alih membenci politik, Gereja Katolik justru mendorong umat berpartisipasi di dalamnya. Setiap orang Katolik didorong mengambil bagian di dalam kehidupan sosial dan politik agar dapat menciptakan kehidupan bersama yang semakin manusiawi (Pesan Perdamaian 2019 Paus Fransiskus, nr.2). Masyarakat yang semakin manusiawi itu memiliki pemimpin yang otoritasnya diasalkan pada Allah (Katekismus Gereja Katolik/KGK, 1899), yang ditaati karena preferensinya pada upaya memajukan kesejahteraan umum (KGK 1905) dan bukanlah pemimpin yang despotik (KGK, 1902), yang memajukan penghormatan individu sebagai persona (KGK, 1907), yang mewujudkan kesejahteraan dan pembangunan manusia (KGK, 1908), dan yang menegakkan rasa aman, keteraturan sosial serta penegakan hukum yang adil (KGK, 1909).

Tugas orang Katolik menjelang pemilihan umum di Indonesia menjadi semakin berat. Pada level individu, masing-masing kita sedang berusaha membebaskan diri dari jebakan berita buruk dan amplifikasi rasa benci. Tetapi pada level komunitas, kita dituntut mengambil peran yang lebih aktif memerangi berita bohong dan penyebaran rasa benci. Ini adalah tugas mulia untuk memastikan terpilihnya pemimpin yang otoritasnya pantas ditaati sebagaimana dimaksudkan Katekismus Gereja Katolik di atas.

Saya mengusulkan tiga langkah konkret bagaimana menjadi agen penyebar berita yang baik dan benar. Pertama, selalu mengecek kebenaran setiap informasi sebelum membagikannya. Slogan “menahan jari” sampai nalar selesai menganalisis sebuah informasi cocok dengan usulan ini.

Kedua, bersikap objektif supaya bisa menggali dan menemukan hal-hal positif dari setiap calon pemimpin. Ini berat karena umumnya kita telah memiliki preferensi politik tertentu dan kemudian hanya fokus pada tokoh itu tanpa sedikit pun memberi ruang bagi hal-hal positif calon pemimpin lainnya. Termasuk di dalam usulan kedua ini adalah upaya menyebarluaskan hal-hal positif, prestasi, pencapaian, bahkan kehidupan pribadi yang inspiratif dari setiap calon pemimpin.

Ketiga, terlibat aktif dalam berbagai kelompok sosial lintas agama dalam upaya memerangi berita buruk dan penyebaran ujaran kebencian. Pengalaman saya sebagai aktivis di Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) yang anggotanya berasal dari aneka agama dan profesi menegaskan urgensi usulan ini.

Berita buruk dan ujaran kebencian akan memengaruhi pilihan politik warga negara. Diamnya kita hanya akan menghasilkan pilihan politik yang tidak sanggup merealisasikan ideal politik yang ditandaskan gereja. Dan itu akan merugikan kita semua

Yeremias Jena

HIDUP NO.10 2019, 10 Maret 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini