Suara bagi yang Tak Mampu Bersuara

189
Uskup Jayapura Mgr Leo Laba Ladjar OFM saat ditemui di Gedung Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Cut Meutia Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 8/11.

HIDUPKATOLIK.com – Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, dua provinsi di Papua menempati peringkat pertama dan kedua provinsi termiskin di Indonesia. Provinsi Papua urutan pertama dengan 27,4 % dan Papua Barat di urutan kedua dengan 23, 01 %. Padahal, menurut Komisi untuk Indonesia: Perdamaian dan Kemajuan di Papua, tanah Papua mempunyai sumber daya alam yang berlimpah, kebudayaan tradisional, dan keanekaragaman satwa dan tumbuh-tumbuhan.

Papua juga menjadi tempat beropeasinya investasi luar negeri baik yang sedang berjalan maupun di masa mendatang. Namun demikian, wilayah ini tidak bertumbuh dan aktivitas ekonomi yang dihasilkan belum memberikan kontribusi besar pada pembangunan ekonomi yang menguntungkan peduduk asli Papua. Terlepas dari semua perbaikan pelayanan sosial sejak tahun 1960, sebagian besar penduduk asli Papua masih terlibat dalam aktivitas-aktivitas pencarian nafkah primitif termasuk berburu, memancing, dan bertani.

Perekonomian di wilayah perkotaan Papua hampir seluruhnya dimiliki oleh pendatang yang bukan penduduk asli Papua, baik yang datang ke Papua atas kemauan sendiri (migrasi) maupun melalui program transmigrasi sejak tahun 1980-an. Sementara itu, sebagian besar penduduk asli Papua tinggal di daerah terpencil yang masih sangat sulit dijangkau dengan moda transportasi darat. Sekarang ini, penduduk kota-kota besar seperti Sorong, Jayapura, Wamena, Timika, Merauke, dan lain-lain didominasi oleh pendatang. Perubahan demografi ini membawa konsekuensi logis. Terjadinya disparitas dan ketegangan sosial yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal yang berujung pada eskalasi kekerasan.

Memang kita memberi apresiasi — sejak Presiden Joko Widodo memimpin negeri ini tahun 2014 — pemerintah pusat memberikan perhatian besar kepada Papua. Tidak lagi berupa retorika belaka tetapi membangun infrastruktur darat, bandar udara, dan pelabuhan. Sejumlah kota kini telah terhubung, peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Yang paling dirasakan langsung, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Papua sama seperti di provinsi lain.

Persoalan lain yang juga mendera Papua adalah kerusakan lingkungan hidup dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Yang terakhir disebut ini sudah menjadi perhatian dunia internasional sejak lama. Sementara dampak buruk kerusakan lingkungan hidup – deforestasi massif — kini makin dirasakan. Banjir bandang Sentani, salah satunya.

Gereja hadir di tanah Papua yang masih dililit pelbagai persoalan ini. Tanpa maksud membusungkan dada, keberadaan Gereja di Papua dilihat sebagai “tempat berteduh” penduduk asli Papua, menyampaikan harapan dan keprihatinan. Mulai dari soal kesenjangan antara pendatang dan penduduk asli Papua, kesehatan, pendidikan, hingga terjadinya tindak kekerasan. Misi option for the poor Gereja di Papua tak tanggung-tanggung sebagaimana diperlihatkan para uskup Papua. Salah satunya, Keuskupan Jayapura, yang 25 tahun terakhir ini digembalakan Mgr Leo Laba Ladjar OFM. Gereja berbelarasa sekaligus menjadi “suara bagi mereka yang tak mampu bersuara” di Bumi Cendrawasih ini.

HIDUP NO.14 2019, 7 April 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini