Merajut Kembali Persahabatan Islam dan Kristen

832
Quraish Shihab.
[HIDUP/Hermina Wulohering]

HIDUPKATOLIK.com – Saudara adalah dia yang seudara dengan Anda. Kalau Anda mencemarkan suatu tempat, bukan hanya orang selain Anda yang tercemar. Anda juga.

Dalam kunjungannya ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Paus Fransiskus bersama Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Muhammad Al-Thayeb, melakukan pertemuan eksklusif dengan 20 tokoh dan pemuka agama. Setengah dari peserta pertemuan di Aula Masjid Agung Sheikh Zayed ini adalah anggota Muslim Elders Council atau Majlis Hukama’ al-Islam atau Majelis Orang-Orang Bijak Muslim.

Salah satu anggota majelis yang diundang adalah Muhammad Quraish Shihab. Di Indonesia dan Asia, Quraish dikenal sebagai seorang cendekiawan Muslim dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Ia pernah menjadi Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII. Untuk meng gali lebih mendalam makna kunjungan Paus kali ini, HIDUP menemui Quraish, yang akrab disapa Abi, di Pusat Studi Al-Quran, Ciputat, Banten, Rabu, 13/2.

Kunjungan Paus Fransiskus ke UEA menorehkan sejarah baru. Penyambutan Paus dilakukan secara militer dan sangat meriah. Abi saat itu hadir di sana. Apa yang ada dalam benak Abi saat itu dan seperti apa keterlibatan Abi?

Pertama, ini pertama kalinya seorang Paus datang ke Abu Dhabi, (Uni Emirat Arab-red). Kedua, memang masyarakat dan pemerintah Abu Dhabi sangat toleran. Bayangkan, masjidnya dinamakan Masjid Ibu Maria, (Mariam Umm Eisa). Waktu Natal, mereka merayakan perayaan yang menampakkan kegembiraan lahirnya Isa Almasih. Saya kira yang hadir di sana lebih dari 100 ribu orang, di suatu negara yang penduduknya sangat terbatas. Wajar bila disambut dengan meriah seperti itu.

Konferensi itu berlangsung dua hari, dihadiri oleh sekian banyak pemuka agama. Suatu yang menarik dalam pertemuan ini, bahwa semua agama menyambut baik pertemuan tentang perdamaian semacam itu.

Yang diminta bicara dari Muslim Elderly Council ada dua orang: satu dari Libanon, dengan latar belakang Syiah. Ia berbicara pada hari pertama dan saya pada hari kedua. Paus tidak hadir saat itu tetapi menugaskan perwakilannya, begitu pula Imam Besar Al-Azhar.

Pada hari kedua itu pula, anggota majelis diundang untuk bertemu dengan Paus di masjid di mana pendiri Uni Emirat Arab (UEA) dimakamkan. Kami mungkin hanya 20 orang, yang sepuluh orang adalah anggota majelis.

Pada pertemuan itu, disepakati empat orang yang berbicara; ulama besar dari Mauritania yang mendapat penghargaan dari PBB untuk upaya-upaya perdamaiannya, mantan Menteri Wakaf Mesir berusia yang kini 80 tahun yang pernah diundang makan bersama di kediaman Paus, perwakilan dari Libanon; dan saya yang keempat.

Apa yang Abi sampaikan saat itu?

Saya sampaikan dua hal. Salah satu komentar Paus antara lain menyangkut apa yang saya katakan. Saya harapkan pertemuan ini menjadi tangga yang mengantar kita ke atas, untuk mewujudkan persaudaraan kemanusaiaan antara semua umat. Saya mengharapakan dengan digelarnya pertemuan ini, hari-hari yang begitu indah dalam hubungan antara umat Islam dan Kristen kembali lagi.

Kapan relasi yang indah itu pernah terjadi?

Hari-hari itu pernah terjadi di zaman Nabi Muhammad. Dalam Al-Quran, dinyatakan bahwa orang yang paling dekat persahabatan dengan umat Islam adalah orang-orang yang berkata, “Kami orang-orang Nasrani.” Kemesraan itu dalam sejarah Islam terlihat saat umat Islam di Mekkah, Arab Saudi tertindas. Mereka justru ke Etiopia, yang penguasanya adalah Kristen. Di sana mereka disambut dan diberikan perlindungan.

Sebaliknya, ketika delegasi dari Najran yang beragama Kristen disambut oleh Nabi di Masjid Nabi. Kepulangannya diberi janji-janji untuk memberikan bantuan, bahkan apabila mereka hendak membangun gereja atau merenovasinya, akan diberi bantuan, bukan sebagai hutang.

Ini hubungan yang sangat baik. Saya harapkan pertemuan ini akan mengembalikan itu. Setelah selesai kita berbicara semua, Paus lantas bicara antara lain menanggapi bahwa memang kita membuat tangga untuk ke atas lagi. Indah sekali.

Apa perkataan Paus yang berkesan dari pertemuan Abi dengannya?

Satu hal yang sangat menarik juga bagi saya ketika akan berakhir pertemuan itu, Paus berkata, “Saya akan berdoa bagi saudara-saudara, tetapi tolong doakan juga saya.” Luar biasa. Terasa sekali bahwa walaupun kita berbeda – jelas ada perbedaan antara Kristen dan Islam – tapi kita bisa menyatu dalam kemanusiaan.

Penafsiran kita tentang Tuhan boleh berbeda. Tapi kita sama-sama menuju terhadap Siapa Yang Kita Yakini Maha Kuasa itu. Ini yang saya kira ingin kita tonjolkan dan ini yang diharapkan: persaudaraan kemanusiaan.

Ketika berjabat tangan dengan Paus, waktunya sangat singkat. Saya katakan kepada Paus, “Kami menyambut Yang Mulia dan kami mengharapkan banyak sekali dari kehadiran Paus.” Beliau jawab dalam bahasa Italia dan diterjemahkan. Sangat singkat. Beliau menunjuk tangannya ke atas; “God”. Luar biasa. Saya bilang inilah agamawan.

Apa makna persaudaraan kemanusiaan itu sendiri?

Persaudaraaan manusia adalah bahwa kita semua sama. Saudara adalah dia yang seudara dengan Anda. Kalau Anda mencemarkan suatu tempat, bukan hanya orang selain Anda yang tercemar. Anda juga. Karena itu, dalam paper saya juga katakan bahwa ketika kita mengaku saudara dalam kemanusiaan maka tidak ada lagi “pihak lain”.

Semua menyatu, walaupun kita akui tidak ada dua hal yang persis sama. Kita semua berbeda tetapi kita satu. Yang disayangkan sekarang adalah seringkali kita menonjolkan perbedaan dan kita takut menjadi berbeda. Kenapa harus takut berbeda? Setiap ada perbedaan seakan-akan kita katakan itu tidak boleh.

Di akhir ceramah juga saya katakan begini, “Penyakit kita terdapat pada diri kita. Obatnya ada di tangan kita. Tapi penyakitnya kita lupakan dan obatnya enggan kita minum.” Artinya, kita ini sakit. Umat manusia sekarang ini sakit karena perhatiannya terlalu besar pada materi, egoisme, dan alat.

Dia (manusia-red) lupa akan kemanusiaan. Itu penyakit yang ada pada kita. Obatnya ada, Tuhan beri melalui tuntunan agama. Tetapi kita melupakan itu. Kita tidak mengenali diri kita. Jadi, jangan mencari penyakitnya pada orang lain. Sejak dulu di zaman Nabi, sudah dinyatakan: siapa yang mengenal dirinya, dia mengenal Tuhan.

Imam Besar Al Azhar meminta kepada umat Islam agar merangkul umat Kristiani di Timur Tengah. Ia mengatakan umat Kristiani bukan minoritas melainkan warga negara dengan hak penuh. Isu minoritas-mayoritas juga bukan hal baru di Indonesia. Bagaimana tanggapan Abi?

Di hadapan Undang-Undang (UU), tidak bisa ada istilah mayoritas dan minoritas. Karena istilah itu seakan-akan kita tidak mempersamakan hak dan kewajiban. Kita semua mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Walaupun harus diakui juga : saya telah berlaku adil bila, saya membelikan anak saya bahan baju hanya satu meter, karena dia masih kecil, dan membelikan anak saya yang lebih besar bahan baju dua meter. Bukan saya membedakannya. Tetapi saya memberikan haknya.

Nah, itu dibingkai oleh keadilan memberikan masing-masing haknya dan menuntut kewajibannya sesuai dengan yang ditetapkan oleh UU. Jadi, semua sudah lebur dalam wadah kesatuan bangsa. Kita di Indonesia, kita adalah bangsa yang satu. Kita satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Dalam hal ini kita tidak berbeda. Karena saya tahu Anda mencintai negara ini, saya pun cinta negara ini.

Deklarasi tentang persaudaraan umat manusia kini telah ditandatangani, bagaimana dokumen ini akan diterapkan?

Sebenarnya, deklarasi ini hanyalah kebulatan tekad dan mengingatkan kita kembali. Deklarasi ini adalah seruan moral dan tidak mengikat secara hukum. Perlu ada langkah-langkah yang terutama diharapkan dari para pemuka agama, aktivis, dan moralis, untuk terus menggaungkan ini dan dalam kegiatannya mengajak orang untuk mengingat peristiwa-peristiwa ini. Persoalan tidak selesai dengan deklarasi.

Dalam Islam ada istilah “beragama” yaitu melaksanakan agama, ada istilah mewujudkan kemanusiaan. Kemanusiaan itu dalam praktiknya harus mendahului keberagamaan. Kalau Tuhan, misalnya dalam Islam memerintahkan kita untuk pergi haji tetapi kalau keadaan tidak aman, keluarga kelaparan, apa boleh pergi haji? Kemanusiaan harus mendahului keberagamaan, bukan agama. Saya kira semua agama begitu.

Dalam makalah juga saya katakan ada orang yang salah paham. Diduganya persaudaraan seagama itu bertentangan dengan persaudaraan kemanusiaan. Itu sebabnya ada orang-orang yang mengatakan mengucapkan Selamat Natal tidak boleh. Lho, kenapa? Boleh saja. Kan saudara kita bergembira. Silakan laksanakan agamamu saya juga melaksanakan agamaku. Tidak harus bertentangan.

Saya mendoakan dan membantu orang-orang yang non Muslim dalam kesulitannya dalam bencana. Apa tidak boleh? Itu dorongan kemanuisaan yang didukung oleh agama. Jadi jangan pertentangkan itu! Kemanusiaan dan keberagamaan itu sejalan, walaupun berbeda.

Setelah pertemuan ini, tugas kita sederhana sekaligus tidak sederhana. Mari kita laksanakan tuntunan agama. Mari kita laksanakan itu tuntunan kalau masih tentang moral.

Hermina Wulohering

HIDUP NO.08 2019, 24 Februari 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini