Mathilda Dwi Lestari : Srikandi di Puncak Dunia

551
Mathilda Dwi Lestari.

HIDUPKATOLIK.com – “Kita tidak dapat menaklukkan alam, tapi diri sendiri sebenarnya yang ditaklukkan.”

Sejauh menatap, hanya ada hamparan salju dan bongkahan-bongkahan es di lembah Pegunungan Himalaya. Berada di tempat itu, Mathilda Dwi Lestari hampir tak dapat lagi melangkah. Apalagi saat ia melihat ke atas, puncak yang ingin ia gampai, belum juga terlihat.

Namun, Mathilda demikian ia akrab disapa, dan sahabatnya Fransiska Dimitri, belum ingin menyerah. Langkah demi langkah, keduanya terus berjalan menuju “atap dunia” itu. Di tengah dinginnya salju, langkah mereka menjadi semakin berat. Matahari yang bersinar di kejauhan, memberi sedikit kekuatan kepada mereka.

Kerja keras dan usaha Mahasiswa Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Jawa Barat itu pun akhirnya terbayar. Kamis, 17 Mei 2018, Mathilda dan Fransiska berhasil mengibarkan bendera Merah Putih di puncak Gunung Everest. Dengan menginjakkan kaki di ketinggian 8.848 mdpl itu, akhirnya menjadi kesimpulan dari perjalanan mereka menggapai Seven Summits. Saat itu, keduanya pun menjadi wanita pertama dari Indonesia yang berhasil menaklukkan “tujuh puncak tertinggi dunia”.

Dari SMA
Keinginan untuk mendaki gunung sebenarnya sudah muncul sejak Hilda berada di bangku SMA. Namun, ia belum menemukan wadahnya. Bagi Hilda, kala itu, kegiatan apa pun di luar ruangan atau berada di alam, membuatnya bahagia. “Rasanya bebas dan yang paling penting adalah alam mengajarkan banyak hal tentang kehidupan,” ujar sulung dua bersaudara ini.

Saat kuliah di Unpar, Hilda bergabung dalam organisasi Mahasiswa Pencinta Alam. Dari sejak itu, ia mulai aktif mendaki gunung. Tahap awal, ia mulai mendaki Gunung Papandayan, Argopuro, dan Pangrango.

Pada saat itu juga, Hilda mulai mendengar tentang pendakian Seven Summits. Pada saat itu juga, Unpar telah mengirimkan empat pria untuk mendaki Seven Summits pada tahun 2009-2011. Prestasi ini sangat membanggakan bagi Unpar. Empat pria itu tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang mampu mendaki puncak tertinggi dunia. Hingga kini, tercatat 416 orang berhasil mencapai Seven Summits. Sebanyak 71 orang di antaranya adalah perempuan.

Di sinilah, Hilda tertantang. Belum ada satu perempuan Indonesia yang masuk ke dalam jajaran The Seven Summiteers. Ia bertekad membuktikkan kepada dunia bahwa seorang perempuan, terutama yang berasal dari daerah tropis, juga mampu menyelesaikan Seven Summits.

Hilda lalu bergabung dalam The Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition Mahitala Universitas Parahyangan (WISSEMU). Setelah melalui tahap seleksi, memulai pendakian pertama. Ia berhasil mencapai puncak Carstensz Pyramid (4.884 mdpl) di Papua, pada 13 Agustus 2014. Selain mendaki, tim ini juga memiliki misi lain yakni mengganti tali di sepanjang jalur pemanjatan.

Sembilan bulan berikutnya, mereka melanjutkan pendakian di dua puncak gunung sekaligus, yaitu puncak Gunung Elbrus (5.642 mdpl) di Rusia pada 15 Mei 2015 dan puncak Gunung Kilimanjaro (5.895 mdpl) di Tanzania pada 24 Mei 2015. Saat itu, salah satu rekannya harus mengundurkan diri, karena keluarga menuntut untuk segera menyelesaikan kuliah. Saat itu, tiga orang perempuan tersisa dalam tim. Hilda, Carolina, dan Fransiska.

Gunung Aconcagua di Argentina adalah puncak gunung keempat yang mereka daki pada 1 Februari 2016. Ketika hampir tiba di puncak setinggi 6.962 mdpl ini, Carolina sakit. Carolina harus kembali ke camp terakhir, dirawat, dan kembali ke Tanah Air. Ada rasa sedih yang Hilda rasakan. Namun, ia tetap bersemangat melanjutkan pendakian hingga ke puncak. Demikian pula rekannya, Fransiska.

Januari 2017, Hilda mendaki puncak kelima, yaitu di Gunung Vinson (4.897 mdpl) di Ellsworth Range, Antartika. “Dalam ekspedisi kelima ini saya dan Fransiska mendapat predikat sebagai perempuan Indonesia pertama yang menginjakkan kaki di puncak tertinggi di Benua Antartika,” tutur Hilda.

Ekspedisi dilanjutkan pada Juli 2017 menuju Denali atau juga dikenal dengan nama Gunung McKinley. Dengan tinggi 6.194 mdpl, Denali menjadi puncak tertinggi di Amerika Utara. Pendakian keenam ini, meski puncaknya tidak lebih tinggi dari Aconcagua, Hilda sebut pendakian yang berat. “Tidak ada porter di sana. Kami harus bawa sendiri logistik untuk 22 hari,” kenangnya.

Waktu yang Tepat
Kini tersisa satu lagi puncak gunung yang hendak didaki. Rangakaian ekspedisi Seven Summits harus purna dengan mendaki Gunung Everest. Pendakian menuju puncak gunung tertinggi di dunia ini sangat sulit dilakukan. Hilda berkisah, butuh waktu lima bulan untuk mempersiapkannya. Sebelum mulai mendaki, keduanya harus beradaptasi di tempat pendakian di sana.

Latihan fisik menjadi persiapan yang paling penting. Hilda mengakui, mental dalam dirinya juga harus diasah. Ia menuturkan, butuh tiga minggu untuk beradaptasi. Ia mengakui, sebagai gunung tertinggi, tubuhnya harus dapat menyesuaikan dengan kondisi alam. “Kami harus mencari tahu tentang Gunung Everest itu sendiri, baik itu tantangannya hingga apa saja yang harus kami lengkapi dari pendakian gunung-gunung sebelumnya,” kata Hilda menjelaskan.

Untuk mendaki Everest, Hilda juga memperhitungkan musim. Tidak setiap saat pegunungan Himalaya itu bersahabat dengan para pendaki. Dengan banyak pertimbangan, akhirnya dipilih Mei sebagai waktu pendakian.

Setelah mempersiapkan diri selama sekitar 34 hari, proses pendakian ke puncak Everest pun dimulai. Total empat hari dihabiskan Hilda untuk dapat sampai ke puncak. Awalnya, WISSEMU menargetkan waktu dua tahun untuk menyelesaikan pendakian Seven Summits. Namun, target ini harus molor lantaran faktor musim dan sponsor. “Kalau tidak ada sponsor, kami tidak bisa jalan. Kalau musim terbaiknya sudah lalu, maka kami harus menunggu di tahun selanjutnya,” bebernya.

Hasil yang dicapai Hilda merupakan buah dari latihan keras yang ia tempuh. Tak tanggung-tanggung, ia berlatih selama enam hari dalam seminggu. Lari, latihan beban, yoga, renang, dan fitness adalah rangkaian latihan yang ia tekuni untuk menguatkan otot-otot perut, kaki, dan tangan. Latihannya ia sesuaikan dengan tantangan yang akan dihadapi di masing-masing gunung.

“Saat pendakian Denali, saya berlatih menarik ban seberat 17 kg, dengan beban 24 kg di pundak,” ujar Hilda. Latihan itu dilakukan selama tiga hari berturut-turut dengan target waktu sepuluh jam per hari dari Pasar Lembang menuju Tangkuban (12 km) dan kembali lagi. Saat berada di Denali, Hilda mengakui latihan itu tidaklah percuma.

Kekuatan Doa
Setelah berlatih keras, Hilda pun berhasil sampai di puncak tertinggi di dunia. Ia semakin memahami bahwa manusia begitu kecil di alam semesta ini. “Saya selalu ingin mengoreksi siapa saja yang menggunakan kata ‘menaklukkan’ untuk pendakian gunung, ataupun hal-hal yang berkaitan dengan alam. Kita tidak dapat menaklukkan alam, tapi diri sendiri
sebenarnya yang ditaklukkan,” ujarnya.

Selama pendakian Gunung Everest, Hilda menyebutkan begitu banyak pihak yang mendukungnya, termasuk dari Presiden Joko Widodo. Bahkan, teman-temannya di Bandung juga berdoa bersama untuk keselamatan mereka. “Mereka berdoa bersama saat itu dan aura positifnya amat terasa. Salah satunya adalah kami terlindung dari ledakan regulator oksigen di ketinggian 8500 mdpl, yang menimpa salah seorang guide kami dan satu tim pendakian dari negara lain,” tutur umat Paroki Santo Barnabas Pamulang, Tangerang ini.

Mathilda Dwi Lestari

Lahir : Jakarta, 26 September 1993
Orangtua : Kristian Wahyu Chrismadjati dan Yuliana Umiati
Pendidikan : Universitas Katolik Parahyangan (lulus 2018)

Fr. Benediktus Yogie, SCJ/Antonius E. Sugiyanto

HIDUP NO.07 2019, 17 Februari 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini