Safari Toleransi dengan Ziarah Kubur di Makam KH Sholeh Darat dan Mgr Albertus Soegijapranata

425
Romobongan sedang berziarah di makan KH Sholeh Darat di kompleks TPU Bergota, Semarang. (Dok. Romo Aloysius Budi Purnomo)

HIDUPKATOLIK.com – DI Semarang, Peringatan Hari Toleransi Internasional juga dirayakan oleh Jaringan Masyarakat Semarang untuk Keberagaman Komunitas Lintas Agama dan Iman serta Komunitas-Komunitas Kampus Kota Semarang yang terdiri dari Gusdurian Semarang; LBH Semarang, eLSA Semarang, Ahlul Bait Indonesia – Semarang, Persaudaraan Lintas Agama – Semarang, Komunitas Pegiat Sejarah – Semarang, KP2KKN Jawa Tengah, Komunitas Payung, Paguyuban Pedagang Kaki Lima Semarang, LRC-KJHAM Semarang, Aliansi Mahasiswa Papua – Semarang, PMII Semarang, KSM Walisongo, Lakpesdam NU Jateng, GMNI Semarang, DPC Permahi Semarang, Dewan PPMI Kota Semarang, Persatuan Waria Semarang, Komisi Hubungan Antaraagama dan Kepercayaan KAS, serta Rumah Pelangi. Mereka mengawali rangkaian safari Peringatan Hari Toleransi Internasional dengan mengadakan “ziarah kubur”, Kamis sore, 17/11.

Ulama Berjiwa Nasionalis
Pertama-tama, mereka berziarah ke makan KH Sholeh Darat di kompleks TPU Bergota, Semarang. KH Sholeh Darat bernama lengkap Muhammad Saleh bin Umar As-Samarani, yang juga dikenal dengan sebutan Mbah Sholeh Darat berjiwa sangat nasionalis. Beliau hidup sezaman dengan Syekh Nawawi Banten dan Syekh Kholil Bin Abdul Latif Bangkalan Madura, lahir di Kedung Cemlung, Jepara pada tahun 1235 H/1820 M. Ia wafat di Semarang pada hari Jum’at 29 Ramadhan 1321 H atau 18 Desember 1903 M. Beliau juga seperguruan di Mekah dengan beberapa ulama dari Patani di antaranya adalah Syekh Muhammad Zain bin Mustafa Al-Fathani (Lahir 1233 H/1817 M, wafat 1325 H/1908 M). Mereka juga seperguruan di Makkah dengan Syekh Amrullah (Datuk Prof. Dr. Hamka) dari Minangkabau, Sumatera Barat.

Jiwa nasionalis KH Sholeh Darat tampak dalam semboyan dan ajaran beliau, “Hubbul wathan minAl-Iman” yang artinya cinta tanah air sebagian dari iman. Itulah penghayatan iman beliau yang ingin berkhidmat terhadap tanah tumpah darah sendiri. Semangat itulah yang hendak ditimba oleh orang-orang muda lintas agama dalam ziarah kubur ini.

[nextpage title=”Safari Toleransi dengan Ziarah Kubur di Makam KH Sholeh Darat dan Mgr Albertus Soegijapranata”]

Tak sedikit tokoh ulama Islam tersohor yang sekaligus berjiwa nasionalis pernah berguru padanya, antara lain KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama), Syekh Mahfudz At-Turmusi (Ulama Besar Madz-hab Syafi’i yang ahli dalam bidang hadits), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah) dan KH. Bisri Syamsuri (Pendiri Pesantren Mamba’ul Ma’arif Jombang). Konon, termasuk Raden Ajeng Kartini yang menjadi simbol kebanggaan kaum wanita Indonesia pernah berguru padanya.

100% Patriotik, 100% Katolik
Sesudah itu rombongan melanjutkan ziarah kubur ke TMP Giri Tunggal Semarang dan berdoa di pusara Mgr Albertus Soegijapranata SJ, Uskup Keuskupan Agung Semarang pertama yang juga Pahlawan Nasional. Di sekitar pusara makam Uskup pertama Keuskupan Agung Semarang itu, rombongan tidak hanya berdoa – tetapi juga sharing dan saling memberi statement seputar kerukunan dan kebangsaan.

Dalam sharing ini juga terungkap sosok Mgr. Albertus Soegijapranata sang pengusung tekad 100% Patriotik, 100% Katolik dan termasuk pahlawan kemerdekaan bukan dengan senapan melainkan dengan diplomasi-pendekataan dan kemanusiaan.

Salah satu peserta rombongan Yunantya Adi kemudian mempersilahkan beberapa orang yang berbagi pernyataan. Subhan, pengurus Gusdurian Kota Semarang; Setyawan Budy, Persaudaraan Lintas Agama; Zainal “Gopal” Abidin, PMII Kota Semarang; M Bilal, GMNI Universitas Wahid Hasyim; Rizky, LBH Semarang; Fajar, Komunitas Payung Undip; Kiai Abi Rozak, pengasuh Ponpes di Gunungpati; Rasyid Ridha, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Undip; Hanendya, BEM KM Unnes; dan Septian, dari Perhimpunan Mahasiswa Hukum Kota Semarang bersepakat untuk tetap membangun persaudaraan dan kerukunan dalam keberagaman demi menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam Bhinneka Tunggal Ika. Mereka juga berharap bahwa semangat dan praksis kebersamaan dalam keberagaman ini terus dan tetap dijaga meski saat ini kita sedang menghadapi berbagai persoalan kebangsaan yang bernuansa SARA dan penuh dengan konflik politik kepentingan. Semua sepakat untuk terus merawat keberagaman, menolak intoleransi.

Mereka juga menyadari bahwa keberagaman merupakan hal yang tidak terelakkan dalam kehidupan yang mencita-citakan demokrasi. Dalam konteks Indonesia, hal ini termuat dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika: berbeda namun tetap satu. Tanpa keberagaman, arah perjalanan Indonesia yang kian tua patut untuk dipertanyakan.

[nextpage title=”Safari Toleransi dengan Ziarah Kubur di Makam KH Sholeh Darat dan Mgr Albertus Soegijapranata”]

Makam Mgr Albertus Soegijapranata di TMP Giri Tunggal Semarang, Jawa Tengah. (Sumber Foto: wikipedia.org)
Makam Mgr Albertus Soegijapranata di TMP Giri Tunggal Semarang, Jawa Tengah. (Sumber Foto: wikipedia.org)

Dalam kenyataannya, pesan mulia Bhinneka Tunggal Ika tidak lagi menjadi dasar yang dipahami dalam bertindak. Persatuan dalam keberagamaan tidak lagi membumi, sehingga, baik negara (state actor) maupun kelompok masyarakat tertentu (non-state actor) kerap kali melakukan tindakan-tindakan yang mengangkangi keberagaman. Perlakuan tidak toleran terhadap keberagaman ini pada ujungnya akan mengangkangi nilai luhur kemanusiaan yang telah menjadi kesadaran internasional sejak Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dibacakan.

Ancaman bagi Keberagaman
Banyaknya ekses negatif yang menyerang keberagaman, seperti penyerangan rumah ibadah yang beberapa waktu lalu terjadi di Samarinda dan Singkawang, adanya intimidasi dari kelompok tertentu terhadap peringatan peristiwa Asy Syura oleh kelompok Syiah, melekatnya stigma negatif pada eks anggota Gafatar, adalah contoh kecil betapa toleransi dalam keberagaman belum benar-benar dipahami dalam kehidupan demokrasi.

Disinyalir kelompok yang kerap bertindak intoleran, seharusnya tidak merasa lebih kuasa daripada yang lainnya untuk dapat memaksakan kehendak. Tindakan-tindakan intoleran, baik sebatas ucapan maupun yang telah sampai pada tindak kekerasan harus segera dihentikan.

Ziarah kubur di makam KH Saleh Darat dan Mgr. Albertus Soegijapranata SJ ini hanyalah pembuka dari sejumlah rangkaian kegiatan dalam rangka merawat Kebhinnekaan dan memperingati Hari Toleransi Internasional di Kota Semarang. Masih ada sejumlah kegiatan lain misalnya nonton bareng dan diskusi, happening art for Intan Olivia, dan safari-safari toleransi lainnya.

Romo Aloysius Budi Purnomo

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini