Menjadi Imam Gereja Lokal

282
Ilustrasi Tahbisan
[Willybrordus Milly Pr]

HIDUPKATOLIK.com – Suatu saat di Bandung, berlangsung tahbisan empat imam. Dua di antaranya, etnis Jawa asal Jawa Tengah, ditahbiskan menjadi imam Diosesan Keuskupan Bandung. Dua lainnya, etnis Sunda asal Kuningan, Jawa Barat, ditahbiskan menjadi imam Ordo Salib Suci (OSC).

Sampai saat ini, dari 37 imam Diosesan Keuskupan Bandung, dua imam berasal dari etnis Sunda; dan satu imam, ayahnya orang Jawa, ibunya orang Sunda. Sebagian besar imam etnis Sunda menjadi imam OSC. Di Keuskupan Bogor, ada satu orang Sunda menjadi imam Diosesan. Siapa sebenarnya imam Gereja lokal? Apakah imam Keuskupan Bandung harusnya etnis Sunda, karena sebagian besar penduduknya orang Sunda?

Imam Diosesan tentu saja pertama-tama diharapkan menjadi imam Gereja lokal suatu keuskupan tertentu. Entah dari suku/etnis mana pun asalnya, seorang imam Diosesan diharapkan menjadi imam Gereja lokal yang sungguh berakar dalam konteks masyarakat setempat. Kalau masyarakat berbahasa Sunda, alangkah wajarnya imam yang bekerja di situ juga bisa berbahasa Sunda. Tetapi, kita ingat, banyak misionaris dari luar Indonesia malahan lebih fasih berbahasa daerah daripada imam-imam orang Indonesia, termasuk imam setempat.

Bahasa bukan satu-satunya ukuran. Bahasa memang penting. Namun, imam Gereja lokal adalah imam yang memang melibatkan dirinya dalam suka duka dan perjuangan masyarakat di mana ia hidup dan melayani. Percuma fasih berbahasa daerah, bila cara pikir, cara pandang, dan perilakunya tidak mencerminkan nilai-nilai luhur yang dianut masyarakat setempat. Apakah seorang imam, dari suku/etnis apa pun, sungguh-sungguh berusaha menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat di mana ia hidup dan melayani? Apakah ia sungguh berjuang bersama masyarakat setempat?

Kalau saya, misalnya menjadi imam di Bandung, apakah saya sungguh mencintai Bandung? Apakah saya sungguh berjuang bersama masyarakat untuk membangun Bandung menjadi kota yang lebih manusiawi dan membahagiakan? Misalnya saja, di Bandung ada “Forum Hijau Bandung” yang berjuang agar lingkungan hidup di Bandung lebih baik, antara lain dalam soal sampah, menanam pohon, limbah. Ketika saya sebagai seorang imam hanya menghabiskan waktu di pastoran atau di kegiatan sekitar altar, sementara saya sama sekali tidak aktif dalam perjuangan menyelamatkan lingkungan hidup di Bandung, apakah saya sungguh sudah menjadi imam Gereja lokal? Kalau saya suku Sunda, atau fasih berbahasa Sunda, tapi tidak aktif menghijaukan Bandung, apakah saya masih boleh disebut imam Gereja lokal? Kalau ukurannya keuskupan, apakah imam yang tidak peduli dan tidak terlibat membangun keuskupannya bisa disebut imam Gereja lokal?

Bisa saja ada imam tarekat yang sungguh terlibat membangun keuskupan. Sementara itu, bisa saja ada imam Diosesan yang tidak peduli dan tidak terlibat dalam kegiatan dan arah keuskupan. Seorang imam Gereja lokal adalah imam yang mencintai dan terlibat membangun keuskupan dan masyarakat setempat di mana ia hidup dan melayani. Tidak ditentukan asal suku dan bahasa yang dikuasai, tidak juga ditentukan apakah Diosesan atau tarekat. Tetapi, ditentukan “di mana hatinya sungguh berada”.

Dalam kerangka berpikir Gereja Asia, imam Gereja lokal adalah imam yang berdialog dengan umat beragama lainnya, dengan kultur dan dengan masyarakat yang miskin.

St. Ferry Sutrisna Wijaya Pr

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini