Senja di Tepi Kapuas

456

HIDUPKATOLIK.com – MATAHARI masih menyisakan sedikit sinarnya di ujung Kapuas. Matahari seperti ditelan oleh riak air Sungai Kapuas yang tenang. Andi hanya duduk di depan rumahnya memandang jauh ke arah cahaya kemerahan yang tersisa.

Tepian sungai Kapuas menyimpan banyak kenangan bagi Andi. Masa kecilnya dihabiskan di perkampungan tepi sungai di pusat Kota Pontianak. Layaknya anak-anak seusianya, Sungai Kapuas menjadi area bermain yang  sangat menyenangkan. Banyak jenis permainan yang dapat dimainkan di sana tidak kalah dengan di lapangan luas.

“Di, ayo masuk, sudah sore!!!” Teriak Ibu dari dalam rumah
“Iya, Bu,” jawab Andi segera naik dari air dan berlari masuk dalam rumah.
“Kamu kerjanya hanya main saja, ayo belajar, minggu depan sudah ujian, kamu mau kan masuk ke SMP pilihan kamu?” Lanjut Ibu.

Andi memang setiap sore selalu bermain dengan teman-temannya di tepi sungai, mulai dari berenang, sampai kejar-kejaran di air dan berenang menyeberangi sungai.

Walaupun orang-orang berkata beberapa kali terlihat buaya, tetapi Andi dan teman-temannya tetap tidak perduli dan asik bermain. Bagi mereka, sungai Kapuas adalah surga. Tiada tempat yang lebih indah selain sungai Kapuas.

***

Ujian telah berakhir dan Andi diterima di salah satu SMP Katolik yang cukup ternama di Pontianak. Andi memulai pendidikannya dengan bertemu dengan banyak teman-teman baru yang berasal dari Sekolah Dasar lain yang ada di kota.

Teman-teman baru ini juga yang mengenalkan Andi dengan permainan-permainan lain di luar tepi sungai Kapuas. Sejak masuk SMP, Andi mulai jarang bermain bersama teman-temannya di tepi sungai lagi.

Andi mulai sibuk dengan pelajarannya dan juga dengan teman-teman barunya. Selain itu Andi mulai aktif di Gereja, sehingga hari Minggu pun sudah tidak ada waktu untuk bermain lagi.

Sebenarnya timbul kerinduan dalam diri Andi untuk bermain lagi di Sungai Kapuas, tetapi apa daya, kesibukan belajar dan kegiatan Gereja membuatnya harus mengurungkan niatnya. Lambat laun teman-teman bermain Andi juga tidak bermain lagi seperti biasa.

Mereka juga sibuk dengan sekolah mereka. Tepi Sungai Kapuas kini lebih banyak anak-anak kecil yang bermain dan juga aktivitas orang lainnya termasuk memancing.
“Di, kamu benar setelah tamat SMP mau melanjutkan ke sekolah pilihan kamu itu?” Ibu bertanya kepada Andi.
“Iya bu, Andi sudah mantap, Andi juga mohon izin dari Ibu,” Andi menjawab.
“Tapi….. kamu tega tinggalkan Ibu sendiri di sini?” Ibu mulai menitikkan air mata.
“Andi tahu Bu, tapi itu cita-cita Andi, sudah lama Andi memendam hal itu, mohon Ibu juga mendukung Andi. Andi pasti akan pulang kalau ada liburan. Andi janji Bu,” Andi memohon juga dengan mata berkaca-kaca. Suasana menjadi hening beberapa saat.

“Baiklah kalau itu keinginanmu, Ibu akan mendukung dengan doa. Kamu harus belajar dengan sungguh-sungguh juga dan jangan main-main dengan pilihan kamu itu.”
“Terima kasih Bu, Andi janji akan belajar sebaik mungkin.”

***

Empat tahun berlalu sejak Andi meminta izin Ibunya. Kini Andi sudah menjadi seorang frater dan sedang menjalani masa liburan naik tingkat. Andi pulang kerumahnya untuk melepas rindu dengan orang tuanya terutama Ibu yang sangat disayanginya dan yang sangat mendukungnya.

“Di, ayo masuk, sudah sore,” teriak Ibu dari dalam rumah.
“Iya, Bu,” jawab Andi.
“Cepat mandi dan makan, Ibu sudah masak masakan kesukaan kamu,” lanjut
Ibu.
Andi segera masuk kerumah dan segera menuju kamar mandi. Tak berapa lama Andi sudah duduk di meja makan bersama kedua orang tua dan kakak satu-satunya. Di atas meja sudah terhidang berbagai masakan yang sudah disiapkan Ibu dari pagi tadi.

“Ayo sebelum makan kita doa dulu, Andi kamu yang pimpin doa,” ujar Bapak.
“Baik Ayah, marilah kita berdoa…,” sahut Andi segera.
“Amin,” sahut semuanya.
Setelah itu mereka semua menyantap makanan yang telah tersedia dengan lahapnya.

***

Jam di ruang tamu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Andi masih betah duduk di depan rumah memandang ke arah Sungai Kapuas di depannya. Terlihat kerlip lampu rumah penduduk di seberang sungai.

Cahaya lampu itu seperti kerlip bintang di seberang sungai. Malam itu terlihat sangat indah bagi Andi karena sudah empat tahun Andi tidak melihat pemandangan malam seperti itu lagi. Tidak banyak yang berubah dari tepi Kapuas sejak ditinggal Andi empat tahun lalu.

Andi mengingat kembali kegiatan masa kecilnya di tempat itu bersama teman-temannya.
“Kamu sedang melamunkan apa, Di?”
Tanya Ibu yang muncul di belakang Andi membuyarkan lamunannya.
“Ah Ibu, Andi tidak melamun kok, Andi hanya ingat kesenangan masa kecil Andi di sini,” jawab Andi.

“Ibu ini Ibu kau, Di. Ibu tahu kamu sedang melamun. Bagaimana kuliah kamu dan kehidupan kamu di seminari?” Tanya Ibu lagi.
“Baik-baik saja, Bu,” jawab Andi sekenanya saja.
“Di, kamu sekarang jujur dengan Ibu, kamu punya masalah ya di seminari? Ibu bisa merasakan kamu punya masalah, seorang Ibu tidak akan bisa dibohongi,” kata Ibu lagi dengan penuh kasih sayang.

Wajah Andi mulai berubah murung saat mendengar perkataan Ibu. Andi memandang Ibunya dan berkata, “Andi bingung, Bu. Andi merasa tidak ada panggilan untuk menjadi pastor. Andi sepertinya menyia-nyiakan waktu saja.” Ibu terkejut mendengar jawaban Andi.

“Kenapa kamu berkata begitu, Di? Bukankah kamu sendiri yang meminta izin dari Ibu untuk masuk seminari? Awalnya Ibu memang berat tetapi lama kelamaan Ibu bisa menerimanya. Itu adalah pilihan kamu sendiri dan Ibu hanya bisa mendukungnya,” jawab Ibu.

“Andi juga bingung, Bu. Setelah pulang, Andi jadi kangen rumah dan ingin dekat-dekat dengan Ibu dan Bapak. Andi rasanya tidak mau kembali ke seminari lagi setelah liburan ini,” jawab Andi lagi.

“Di….” kata Ibu sambil mengelus kepala Andi. “Menjadi seorang pastor itu adalah suatu panggilan hidup untuk kamu, memang sejak kecil Ibu sudah melihat kamu sangat semangat dalam kegiatan Gereja, dan kamu juga sangat mengagumi pastor pembimbingmu itu ‘kan, kamu juga sering berkata kamu mau jadi pastor kalau sudah besar. Ibu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah kamu untuk menjadi pastor dan itu tidak kamu sadari,” jawab Ibu dengan lembut.

“Bagaimanapun cara yang Ibu pakai, ternyata kamu tetap mau menjadi pastor dan Ibu sadar itu adalah panggilan hidup kamu. Kalau hanya karena pulang ke rumah kamu langsung ingin menolak panggilanmu, Ibu merasa sangat bersalah,” sahut Ibu lagi.
Andi hanya bisa menundukkan kepalanya kebawah, Ibu tetap mengelus kepalanya.

“Tapi Andi kasihan melihat Ibu dan Bapak sudah tua dan nantinya akan sendirian kalau kakak sudah menikah,” kata Andi dengan jujur.

“Kata siapa Ibu dan Bapak akan kesepian, banyak tetangga yang sudah seperti keluarga sendiri. Terus kalau kakakmu sudah menikah ‘kan bisa sering-sering ke rumah. Ibu juga bisa cari kesibukan lain untuk mengisi waktu. Kamu juga kan masih bisa mengunjungi Ibu dan Bapak kalau sudah jadi Pastor. Kamu jangan menghentikan panggilan hanya karena Ibu dan Bapak,” jawab Ibu dengan tersenyum.

Andi memandang Ibunya sekali lagi dan ibunya langsung memeluknya.
“Kamu harus melanjutkan panggilan kamu, Di. Itu adalah panggilan suci untuk kamu,” kata Ibu sambil memeluk Andi. “Sudah, ayo masuk ke dalam, udah mulai banyak nyamuk
di luar, lagian kamu besok ‘kan harus bertemu dengan Bapak Uskup, jangan kemalaman istirahatnya,” lanjut Ibu sambil melepaskan pelukannya.
“Iya, Bu. Sebentar lagi Andi masuk,” kata Andi sambil memandang Ibunya masuk ke dalam.

Setelah Ibunya masuk, Andi memandang lagi kearah Sungai Kapuas yang berhias kerlap-kerlip lampu rumah warga. Sungai Kapuas saat senja memang indah tetapi saat malam tidak terlihat lagi keindahannya, yang ada hanya kegelapan malam.

Biarlah Kapuas mengalami senja dan kegelapan yang menutupi keindahannya tetapi esok saat matahari terbit, keindahannya akan terlihat lagi.

 

Fr. Juandi
HIDUP NO.50 2018, 16 Desember 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini