Mgr Antonius Pain Ratu SVD : Menjinjing Salib

1316
Mgr Pain Ratu (kiri), Ekonom Keuskupan Atambua Romo Marsel Nesi, dan Uskup Atambua Mgr Dominikus Saku berfoto bersama jelang perayaan ulang tahun ke-90 Mgr Pain Ratu.
[Dok. Komsos Keuskupan Atambua/Simprosius Leki Dasi]

HIDUPKATOLIK.com – Ia berusia 90 tahun pada awal Januari lalu. Namun, sebagai imam tak ada kata pensiun. Tiap Minggu, ia memimpin Misa bersama umat. Ia juga rajin menulis buku harian sejak 1958.

Usianya sudah amat uzur. Pada 2 Januari lalu, Uskup Emeritus Atambua ini berusia 90 tahun. Catatan itu sekaligus membukukan nama Mgr Pain Ratu, demikian panggilannya, sebagai uskup tertua di Indonesia. Meski raga telah renta, Mgr Pain Ratu tetap  enjalankan karyanya sebagai seorang imam. Ia masih memimpin Misa mingguan bersama umat. Baginya, tak ada kata pensiun untuk karya seorang imam.

Frater Yudel Neno, dalam blognya mengenang, sewaktu ia menjalani tahun orientasi pastoral di SMK Bitauni dan kebetulan tinggal sekomunitas dengan Mgr Pain Ratu, sempat bertanya kepada sang uskup, apa yang membuatnya bisa berumur panjang? Jawab Mgr Pain Ratu, “Berpikir positif, jaga pola hidup, dan hayatilah spiritualitas Simon dari Kirene.”

Spiritualitas Simon dari Kirene artinya, terang mantan anggota dewan generalat SVD (Societas Verbi Divini/Serikat Sabda Allah), kita cukup memikul beban sesuai dengan kemampuan pribadi, selebihnya serahkan kepada Yesus, Sang Maha Kuat. “Saya omong ini bukan teori tetapi pengalaman nyata. Sekurang-sekurang selama menjadi Uskup Atambua, saya menghayati spiritualitas itu,” ujar Mgr Pain Ratu kepada Frater Yudel.

Putra Sulung
Lamawolo merupakan sebuah kampung kecil yang berada di kaki Gunung Boleng (Ile Boleng). Di kampung mungil yang terletak di sebelah selatan Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur itulah Mgr Pain Ratu dilahirkan. Ia merupakan putra sulung dari tujuh bersaudara.

Sang ayah, Kosmas Kopong Liat adalah seorang petani dan tengkulak lewat perahu. Kosmas juga sebagai kepala suku Ratumakin, kepala kampung, dan anggota kerkbestuur (majelis gereja atau dewan paroki). Sementara ibunda, Maria Boli Beraya, merupakan anak kepala suku Atakela. Ia juga berperan sebagai pemimpin kelompok kerja perempuan kampung, penjual tembakau dan dendeng ikan paus. Kesamaan suami-istri tersebut adalah mendidik seluruh buah hati mereka hanya percaya kepada yang Satu (persaya tou hena) dengan memakai satu cara yakni Katolik.

Pembinaan iman di dalam keluarga turut mempengaruhi Pain Ratu dalam menentukan jalan hidup. Ia ingin menjadi imam sekaligus misionaris. Karena itu, setelah lulus dari Seminari Menengah St Yohanes Berchmans Mataloko, Pain Ratu melanjutkan masa pembinaan calon iman di Seminari Agung Tinggi St Paulus Ledalero, Maumere, NTT.

Pada 15 Januari 1958, Frater Pain Ratu ditahbiskan oleh uskup pribumi pertama NTT atau kedua di Indonesia –setelah Mgr Albertus Soegijapranata SJ–, yakni Mgr Gabriel Wilhelmus Manek SVD. Selain Pater Pain Ratu, ada tiga imam lain yang ditahbiskan bersamanya: Pater Clemens Cletus da Cunha SVD, Pater Lambert Pari Seran SVD, dan Romo Petrus Sepe.

Pater Pain Ratu memilih moto tahbisan dalam bahasa Latin, Ecce, Venio yang berarti: Sungguh, Aku datang (Ibr. 10:7). Moto tersebut terukir di atas patena, yang dihadiahkan oleh orangtua dan keluarganya. Sesanti itu senantiasa terlihat saban kali Pater Pain Ratu merayakan Misa.

Moto itu juga selalu mengingatkan Pater Pain Ratu bahwa orangtua dan keluarganya selalu menyertai, mendukung, dan mendoakan perjalanan dan karya imamatnya. Moto yang terpatri di atas patena miliknya pun kerap menyuntik semangat dan mendongkrak kesadaran Pater Pain Ratu. Ia dipanggil Allah untuk melayani umat-Nya.

Melibatkan Awam
Tugas perdana sebagai imam muda di Paroki St Mikael Nita, Keuskupan Agung Ende (Kini, Keuskupan Maumere). Setelah itu, tarekat mengutusnya ke Keuskupan Atambua. Setelah itu, ia diutus ke Keuskupan Atambua dan menangani beberapa paroki di sana. Tarekat lantas mengirimnya studi antropologi budaya serta katekese pastoral di Universitas Ateneo de Manila.

Selang beberapa tahun kemudian, Pater Pain Ratu didapuk sebagai Provinsial SVD Timor. Pada 2 April 1982, Takhta Suci menunjuk Pater Pain Ratu sebagai Uskup Auxilier Atambua. Dua tahun kemudian, Mgr Pain Ratu menjadi gembala utama di keuskupan tersebut. Ia menggantikan Mgr Theodorus van den Tillaart SVD (1909-1991).

Mgr Pain Ratu amat giat mengembangkan kemandirian umat serta semakin mendekatkan pelayanan untuk mereka. Karena itu, dalam setiap kunjungan pastoral, Mgr Pain Ratu selalu menggandeng katekis, pemandu, dan animator awam dalam tim pastoralnya. Selain itu, upayanya untuk selalu dekat, mendengarkan, dan membantu umat agar menyadari persoalan serta menemukan solusi yang mereka hadapi, Mgr Pain Ratu menginisiasi khalwat “tiga ber-“ bagi umat yang berpendidikan, berkedudukan, dan berpengaruh.

Mereka yang termasuk dalam golongan “tiga ber-” antara lain: guru, pegawai negeri dan swasta, pengusaha, pemimpin atau pejabat pemerintah, tua-tua adat (ketua suku), kaum muda, dan kaum perempuan. Mgr Pain Ratu senantiasa mengumpulkan mereka secara berkala. Bersama tim pastoral, uskup yang gemar mengenakan peci berkelir merah marun serta bersandal jepit itu membimbing tokoh “tiga ber- ” menjadi rasul awam yang tangguh, semakin sadar diri sebagai manusia beriman kristiani dan manusia Indonesia sejati, dan pemuka umat serta masyarakat yang terampil berpastoral di tengah sesamanya.

Gagasan “tiga ber-”, diakui Mgr Pain Ratu, lahir dari realita hidup masyarakat yang sedang dan terus terbelenggu oleh persoalan kemiskinan dan dualisme iman. Dalam refleksi pastoral, ia menyadari, masalah kemiskinan timbul karena sistem feodal dalam masyarakat. Sementara dualisme iman masih kuat mencengkram karena iman kristiani belum berakar kuat. Tak pelak, tak sedikit umat yang masih mempercayai takhayul.

Mgr Antonius Pain Ratu juga selalu menunjukkan keterlibatannya di tengah persoalan kemanusiaan. Hal ini amat terlihat ketika ia begitu lantang menyuarakan nasib pengungsi Timor-Timur (sekarang, Timor Leste) yang memasuki Timor Barat. Mgr Pain Ratu menggerakkan umat untuk menghimpun bantuan untuk pengungsi. Sembari ia menuntut tanggung jawab pemerintah atas kehidupan yang layak bagi mereka yang tersingkir dari tanah asalnya. Selain itu, tahun 2006, ia garang menghentikan aksi vandalisme fasilitas umum di Atambua oleh sejumlah oknum. Aksi itu terjadi terkait eksekusi mati bagi Fabianus Tibo dan kawan-kawan.

Perhatian Mgr Pain Ratu terhadap lingkungan hidup pun sangat tinggi. Ia menghimbau kepada umat dan masyarakat untuk terus menanam. Menurutnya, dengan menanam, lingkungan lestari dan kesejahteraan akan datang. Sebaliknya, jika tak menanam, mustahil bakal terjadi kesejahteraan.

Ia juga punya atensi mendalam kepada penderita lepra dan bibir sumbing. Tiap Natal dan Paskah kedua, Mgr Pain Ratu mengadakan perayaan persaudaraan bagi penyandang lepra. Sedangkan untuk penyandang bibir sumbing, sang uskup gencar menjalin relasi dengan banyak mitra untuk mengatasi keterbatasan fisik tersebut. Atas kepedualian itu, tahun 1986, Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial NTT bersama beberapa instasi memberikan piagam penghargaan kepada Mgr Pain Ratu.

Buku Harian
Pada usia senja seperti sekarang, saat raga dan kemampuan indera tak lagi seprima seperti dulu, tak banyak aktivitas yang dilakukan Mgr Pain Ratu Satu. Namun, beberapa kegiatan masih terus ia jalankan. Selain merayakan Misa mingguan bersama umat, tiap sore ia berolahraga untuk menjaga kebugaran tubuhnya. Ia suka berjalan kaki.

Mgr Pain Ratu juga rajin menulis buku hariannya hingga kini. Tradisi itu ia lakukan sejak tahun 1958. Semua “harta” pengalaman hidup sang uskup tersusun rapi di lemari. Begitupula keberadaan kumpulan khotbah dan sambutannya dalam berbagai bahasa, seperti bahasa Lamaholot (bahasa lokal Flores Timur), Inggris, Jerman, dan Belanda pun apik. Semua itu kelak menjadi warisan berharga bukan hanya untuk Gereja di Keuskupan Atambua tapi juga Indonesia.

Perjalanan sang uskup yang telah berusia 90 tahun memang tak selalu manis. Namun, saat kesulitan dan tantangan menghampirinya, Mgr Pain Ratu menyadari, semua itu tak sebanding dengan salib yang dipikul Yesus. “Dialah (Yesus) pemanggul utama beban salib hidupku. Saya hanya turut menjinjingnya saja. Karena itu, di kala beban atau salib terlampau berat, maka saya berusaha meyakinkan diri dan berkata, ‘tetapi salib yang dipikul Yesus yang tak berdosa itu jauh lebih berat dari salib saya orang berdosa ini’,” ujarnya, yakin.

Fr Andy Fani SVD/Yanuari Marwanto

HIDUP NO.02 2019, 13 Januari 2019

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini