Beato Thomas Tsugi SJ (1571-1627) : Nyala Iman Pastor Pedagang

638
Beato Thomas Tsugi SJ.
[sjcuria.global]

HIDUPKATOLIK.com – Ia dibakar hidup-hidup karena menyebarkan iman. Pastor berwatak keras ini kerap ambil bagian dalam kehidupan umat agar umatnya bisa merasakan sentuhan Tuhan.

Setiap jam empat subuh, Thomas Tsugi sudah harus memikul barang dagangannya ke pasar. Dalam kesehariannya, Thomas kadang mampir ke beberapa rumah orang Kristen yang ia kenal. Pada saat singgah di salah satu rumah, kadang ia merayakan Misa.

Begitulah Thomas menjalani hidupnya sehari-hari. Selain sebagai pedagang, ia adalah seorang imam Serikat Yesus. Ketika itu, penguasa Jepang melarang segala aktivitas Kristiani. Namun, hal ini tidak membuatnya takut. “Saya takut bila umat tidak menerimaku. Saya menjadi pedagang agar dekat dengan umat,” serunya suatu ketika.

Di pasar, Thomas sebisa mungkin mengajak pembelinya berdoa, saat ia mengenal sang pembeli itu sebagai seorang Kristiani. Orang-orang tidak mengenalnya sebagai seorang imam kecuali umatnya sendiri. Lambat-laun, banyak yang memanggilnya dengan sebutan shinsetsuna gyōsha, ‘pedagang yang baik hati’. Tak jarang, ia bahkan memberikan barang dagangannya gratis. “Saya memberikan gratis tetapi anda bisa berdoa bersama saya setiap hari Minggu,” demikian Thomas sering menawarkan barang dengan doa.

Imam Merakyat
Pastor Thomas adalah bukti nyata bagaimana berpastoral di medan sulit. Meski secara diam-diam, ia mampu membaptis ratusan umat yang kebanyakan adalah pelanggannya. Saat para misionaris Serikat Yesus dari Eropa harus bersembunyi pada siang hari, Pastor Thomas berbeda. Ia dapat melayani baik siang ataupun malam.

Pada sore hari ketika pulang dari berdagang, Pastor Thomas biasanya mengunjungi umatnya. Pada satu kesempatan, ia menyamar sebagai tentara, menjadi pria Jepang yang kaya, atau kadang sebagai tukang sepatu. Pada saat lain, ia pernah menyamar sebagai pedagang keliling atau menjadi penjual tukang kayu yang mengetuk pintu-pintu rumah umat Kristen. “Dalam kesempatan itu, Thomas bisa mengajak umat berdoa dan merayakan Ekaristi di rumah-rumah umat,” tulis Thomas Kennedy dalam The Catholic Encyclopedia. Vol.10. New York, 1911.

Tidak mudah bagi Pastor kelahiran Sonogi, Omura, Nagasaki, Jepang tahun 1571 ini dalam melayani. Kadang, banyak umat yang menolak kehadirannya. Umat masih takut kalau tindakan mereka diketahui pemerintah Jepang. Sebab, penguasa Jepang akan menangkap dan menghukum setiap orang Kristiani yang ketahuan menjalankan ibadah. Hanya mereka yang siap mati demi Kristus, yang berani bersentuhan dengan para misionaris.

Pastor Thomas dikenal memiliki watak yang keras. Ia selalu teguh dalam pendiriannya. Bila suatu keluarga tidak menerima dirinya, ia tidak putus asa. Berbagai cara dibuat agar meluluhkan hati keluarga tersebut. Kadang, ia harus menunggu di depan rumah atau bersembunyi di pohon berjam-jam lamanya agar bisa mewartakan firman Tuhan. Sebuah Kitab Suci dan Rosario kecil selalu menemani setiap karya pelayanannya.

Imam yang memulai panggilannya di Sekolah Misi Serikat Yesus di Arima, Jepang ini banyak memberi contoh cara pastoral di medan-medan sulit. Ia tidak takut bila namanya kerapkali menjadi buah bibir bagi pemerintah. Ia tidak gentar bila pemerintah terus mengawasi setiap gerak-geriknya.

Sifat Pastor Thomas yang tidak pantang menyerah membuat banyak orang Kristen merasa dikuatkan. Mereka bahkan dengan berani mengundangnya untuk memimpin Misa di rumah mereka. Ia menjadi satu dari sekian banyak imam Serikat Yesus yang dicintai umat.

Pastor Thomas dikemudian hari menjadi seorang pengkotbah yang luar biasa. Dia terkenal tidak saja di kalangan umat Kristen, tetapi juga mereka yang tidak mengenal Kristus. Biasanya, ia hadir dengan dialek-dialek Hokkaido, Tohoku, Dialek Hokuriku, Shikoku, bahkan Dialek Kyushu seperti Hichiku dan Satsugǔ. Pesannya juga selalu mengena di hati umat.

Dalam khotbah-khotbah itu, Pastor Thomas mampu menggunakan kosakata, ekspresi, aksen, dan intonasi yang khas daerah dimana dia hadir. Ia mampu menerjemahkan pesan Tuhan dalam Kitab Suci, kepada masyarakat kecil yang tidak berpendidikan. Di hadapan kaum bangsawan, Pastor Thomas mampu menjelaskan soal etika dan kekhasan budaya Jepang yang bernilai tinggi.

Dibakar Hidup
Sebagai seorang pengkhotbah, Pastor Thomas tidak pernah menyembunyikan kebenaran imannya. Bahkan, ia berani mengkritik pemerintahan yang melarang semua aktivitas umat Kristiani. Namun, ini tidak berarti ia mendukung umat Kristen yang berbuat salah. Ia terang-terangan mengutuk perilaku bejat beberapa orang Kristen yang tidak peduli pada imannya.

Saat Pastor Thomas ditugaskan di Hakata, Fukuoka, Jepang, penguasa Jepang mengeluarkan dekrit yang berisi perintah pengusiran kepada semua umat Katolik di Jepang. Awalnya, ia melawan dekrit ini dan terang-terangan mengkritik pemerintah. Namun, demi ketaatan kepada superior, ia bersama 80 imam lain berangkat ke Macau dan menetap di sana selama empat tahun.

Imam yang ditahbiskan di Kota Nagasaki kira-kira tahun 1613 ini terus melayani. Pastor Thomas beberapa kali lolos dari incaran tentara pemerintah. Tahun 1626, Pastor Thomas ditugaskan ke Nagasaki. Ia menetap di rumah seorang Kristen Jepang yang saleh bernama Louis Maki dan anaknya Yohanes Maki.

Tanggal 21 Juli 1626, hanya beberapa saat setelah merayakan Misa, rumah itu diserbu oleh tentara dan ketiga orang itu ditangkap. Di hadapan pengadilan, ketika Hakim bertanya tentang siapa dirinya, dengan gagah Pastor Thomas menyatakan, bahwa dia adalah seorang imam dari Serikat Yesus. “Sayalah Thomas Tsugi. Saya bersedia memberikan hidup saya dan siap bersaksi dengan darah saya, bagi kebenaran iman yang saya wartakan.”

Hakim pun menjatuhkan hukuman penjara kepada Pastor Thomas. Ia lalu ditahan di Omura. Selama di penjara, keluarganya sempat datang memintanya agar menyangkal imannya. Tindakan ini dilakukan untuk menyelamatkannya. Tetapi, Pastor Thomas menolak. “Keinginan kalian salah. Bahkan jika kalian menawarkan kekuasaan atas seribu orang Jepang pun, atau kekayaan kepada saya sekalipun, saya tidak akan menerimanya,” ujar Thomas kepada keluarganya.

Setelah di penjara selama beberapa bulan, Pastor Thomas bersama Louis dan Yohanes dijatuhi hukuman mati. Pada tanggal 7 September 1627 mereka dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Dengan semangat iman yang membara, Pastor Thomas dan dua rekannya menaiki tumpukan kayu yang sudah menyala. Dengan hukuman ini, tentara Jepang seakan memberi peringatan kepada setiap orang. Siapa saja yang menjadi Kristen, akan mengalami nasib yang sama.

Pastor Thomas pun wafat sebagai martir bersama Louis dan Yohanes. Namun, kematian mereka seakan menjadi lahan subur berkembangnya iman Kristen. Banyak orang berdiri mencucurkan air mata melihat Pastor Thomas dan dua rekannya. Pada saat kejadian itu, sekonyong-konyong dari dada Thomas memancarlah api yang menyala-nyala dari tumpukkan kayu itu sampai ke angkasa.

“Thomas meninggal tanpa derita. Kematiannya tidak membuat Gereja selesai di atas tumpukan itu. Thomas meninggal karena satu alasan supaya Gereja terus bertahan. Kematiannya disaksikan oleh banyak orang dengan mata berbinar. Ia naik ke angkasa dengan tiupan sangkakala surgawi. Jiwanya melayang dari bumi menuju surga abadi supaya umatnya tetap hidup,” ujar Uskup Agung Nagasaki, Mgr Bernard-Thadée Petitjean, M.E.P. (1876- 1884) saat pembukaan proses beatifikasi Pastor Thomas.

Pastor Thomas bersama Loui dan Yohanes dibeatifikasi oleh Paus Pius IX bersama dengan para martir Jepang lainnya pada 7 Mei 1867. Kematian Thomas adalah tanda bagaimana orang benar akan selalu berjalan bersama Allah. Thomas telah meninggalkan satu jejak iman bahwa iman selalu menang atas kematian seperti Kristus. Beato Thomas diperingati setiap 4 Februari.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.52 2018, 30 Desember 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini