Cemara di Hari Natal

593

HIDUPKATOLIK.com – Terdapat kebiasaan untuk memasang hiasan Natal, seperti lampu Natal, pohon cemara hingga kue-kue Natal. Menyangkut pemasangan pohon cemara, apakah ini kebiasaan Gereja Katolik? Haruskah kita mengikutinya?

Ratna Galih, Ambarawa, Jawa Tengah.

Pernah ada cerita, agar tidak menaman pohon cemara di tempat-tempat umum, pun di kawasan instansi pemerintahan. Alasannya, pohon cemara dianggap pohon Kristiani. Tentu alasan ini tidak masuk akal.

Bagi umat Kristiani lalu pohon cemara dipakai sebagai simbol tentang kehidupan abadi Allah. Bahkan ada legenda menyebutkan bahwa Santo Bonifatius, yang juga dikenal sebagai rasul Jerman, memerintahkan ditanamnya pohon-pohon cemara sebagai tanda pertobatan. Sebab memang ada kisah yang menyebutkan bahwa pohon cemara sebagai pohon surga (bdk Kej 2:9: pohon kehidupan).

Dari sinilah kemudian berkembang, terlebih di abad pertengahan terutama di kawasan Eropa Utara, penggunaan cemara sebagai pohon Natal. Salah satu yang disebut mulai mempopulerkan pohon cemara sebagai aksesori Natal adalah Martin Luther.

Di dalam konteks kawasan yang mengenal musim dingin, pohon cemara memiliki arti tertentu. Cemara adalah pohon yang bertahan dalam segala musim. Tidak mengherankanlah kalau kemudian cemara dipakai sebagai simbol keabadian, bahkan tentang kehidupan abadi Allah. Yesus lahir untuk memberikan hidup, bahkan hidup dalam keabadian, agar setiap orang memiliki hidup.

Dari sini, kita bisa menyimak bahwa cemara sebagai pohon Natal lebih terkait dengan budaya atau lingkungan tertentu, suatu kebiasaan yang lebih muncul di Eropa. Kebiasaan memasang cemara sebagai pohon Natal di Indonesia, kiranya lebih karena Kristianitas di Indonesia datang dari Eropa, terlebih Eropa utara. Tidak ada kewajiban untuk memasang pohon cemara, dan cemara pun tidak identik dengan Natal.

Di beberapa tempat, terlebih berangkat dari kesadaran akan lingkungan hidup, sejak beberapa tahun terakhir memasang pohon Natal dari sampah botol-botol minuman bekas. Kiranya hal ini sesuatu yang baik juga, memberi konteks atas hiasan atau dekorasi Natal. Oleh karena itu, pohon Natal bisa dibuat dari apa yang ada. Akan tetapi pemilihannya harus tepat, karena kalau hanya memakai pohon sembarang, atau bentuk aksesori yang asal-asalan, bisa memudarkan makna serta malahan lebih mendatangkan kontroversi bukannya pewartaan iman akan kelahiran Juru Selamat.

Oleh karena itu, pemilihan untuk memasang pohon Natal dalam bentuk atau cara lain perlu pertimbangan sungguh, agar tetap memiliki makna imani dan tidak memudarkan devosi dan tindak kesalehan umat. Untuk itu kiranya katekese diperlukan, agar umat bisa memahami pilihan yang dibuat.

Oleh karena itu kita bisa memahami pilihan akan pohon cemara. Penggunaan pohon cemara sebagai aksesori Natal sudah berlangsung lama, dan sebagian besar dari kita pun menerimanya sudah sejak kita mengenal tradisi Kristiani. Maka Gereja kita pun lalu menggunakannya begitu saja, karena seakan-akan itu sudah semestinya seperti itu. Pohon cemara lalu seperti diidentikkan dengan pohon Natal.

Namun ini tradisi kesalehan, bukan sesuatu yang harus dan wajib diikuti. Sebab, kalau kita mengikutinya begitu saja, tanpa memahami maknanya, juga tidak membantu menumbuhkan iman dan kesalehan umat.

Akan tetapi mengapa musti ada pohon Natal? Di dalam direktorium tentang liturgi dan kesalahen umat, yang dikeluarkan oleh dikasteri Vatikan Kongregasi Ibadah dan Tata Sakramen (2001) dituliskan bahwa pemasangan pohon Natal menawarkan kesempatan yang bagus, terutama bagi keluarga, untuk doa, karena pohon Natal telah menjadi simbol dan sarana devosi yang tersebar luas. Dikatakan di dalamnya bahwa pohon Natal mengingatkan akan pohon yang tumbuh di tengah taman Eden (lih. Kej 2:9) maupun pohon salib, yang mendapatkan makna Kristologis: Kristus adalah pohon hidup sejati, lahir dari tunggul insani, Perawan Maria, pohon yang selalu hijau dan berdaun lebat.

Akhirnya, yang paling penting adalah bagaimana pesan makna Natal tersampaikan. Entah dalam keluarga atau komunitas Gerejani yang ada, baik kalau kemudian ada pembicaraan dan pertimbangan bersama tentang apa yang akan dipasang dan dipakai sebagai dekorasi Natal: bentuk, bahan, tempat dan sebagainya. Pembicaraan bersama ini bisa menjadi kesempatan untuk sharing iman dan bagaimana memaknai iman secara kontekstual, sesuai kenyataan dan kehidupan yang bersangkutan, tanpa perlu merasa harus pakai pohon cemara sebagai pohon Natal.

T. Krispurwana Cahyadi SJ

HIDUP NO.51 2018, 23 Desember 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini