Menjadi Lansia Bahagia dan Bermakna

977
Judul Buku : Menjadi Orang Tua (Lansia) yang Bahagia; Penulis : Paul Suparno, SJ Penerbit : Kanisius; Tahun terbit : 2018; Tebal Buku : 167 halaman. [dok.HIDUP]

HIDUPKATOLIK.COM – MENJADI lanjut usia (lansia) adalah suatu kenyataan yang normal dalam kehidupan ini. Meski demikian tidak semua orang bisa memasuki proses menjadi tua dengan bahagia, apalagi bermakna.

Mengapa demikian? Ada saatnya fungsi tubuh manusia mengalami penurunan fungsi. Pada pemain sepak bola profesional misalnya usia 33 tahun saja sudah dianggap usia tua. Artinya, pada usia itu seseorang sudah tidak mampu lagi secara optimal menjalani tuntutan beraktivitas sebagai olahragawan profesional.

Karena itu, banyak pemain sepak bola sudah mempersiapkan aktivitas baru ketika mulai menginjak usia 30 tahun. Para pemain sepak bola itu menyadari bahwa ada batas usia yang tidak bisa kompromi untuk terus memaksakan diri beraktivitas sebagai pemain profesional. 

Mereka harus menerima realitas itu. Karena itu jauh-jauh hari mereka telah merancang hidup setelah pensiun. Ada yang menekuni di dunia pelatihan atau dunia bisnis. Ada juga yang aktif sebagai aktivis sosial.

Dari para pemain sepak bola itu kita belajar tentang perlunya mempersiapkan hidup menjalani masa lansia. Usia lanjut adalah realitas yang tidak bisa kompromi. Sel tubuh manusia terus mengalami penuaan dan penurunan fungsi.

Akibatnya seseorang tidak lagi memungkinkan melakukan aktivitas yang sama dengan tahun-tahun ketika muda. Perubahan kemampuan beraktivitas ini selanjutnya juga akan mengubah pola-pola hidup yang lain. Termasuk salah satunya dalam hal sosialisasi.

Menjadi Orang Tua (Lansia) yang Bahagia ini ingin membantu kita dalam mempersiapkan masa lansia itu. Persiapan diri adalah kata kunci untuk memasuki masa lansia yang bahagia. Buku ini pertama-tama menyadarkan kita bahwa menjadi lansia itu adalah hal yang pasti dan normal. Ada banyak perubahan yang dialami lansia.

Karena itu perlu proses bina diri hingga kita bisa berdamai dengan masa lansia itu. Kalau kita bisa berdamai maka kita akan menjalani masa lansia sebagai suatu ziarah hidup yang bermakna. Buku ini ditulis dengan bahasa dan penalaran yang mudah. Meski demikian penulis tetap konsisten memaparkan dengan mendalam dan ilmiah.

Ketika membahas tentang kesepian misalnya penulis merujuk pada penulis Gibson dari buku Loneliness in Later Life. Ia paparkan beragam jenis kesepian yaitu kesepian fisik, psikis dan rohani, karena pikiran, karena praduga, dan solitude (hal.33-47).

Buku ini sederhana tetapi berbobot. Materi yang dibahas dalam buku ini lengkap. Pada awal buku ini dipaparkan tentang masa pensiun yang membahagiakan. Selanjutnya diulas tentang kesepian lansia, masa transisi pada lansia, krisis lansia, rasa syukur sebagai lansia, kelompok sosial sebagai lansia, latihan refleksi kematian dengan gembira, spiritualitas lansia dan bantuan yang perlu bagi lansia.

Salah satu yang menarik dan boleh dikatakan sebagai keunggulan buku ini adalah tawaran latihan baik secara pribadi maupun kelompok serta bahan refleksi. Dua hal ini sungguh amat penting dalam upaya membangun proses berdamai dengan masa lansia. Latihan dan refleksi seperti upaya untuk mengakrabi realitas, memeluk diri yang menjadi lansia dengan kian damai dalam kasih, hingga akhirnya menerima diri dengan bahagia dan bermakna.

Hanya dengan suasana hati yang damai, bahagia dan bermakna seseorang bisa menjadikan hidupnya penuh pesona serta menjadi berkat bagi kehidupan. Buku ini juga baik dibaca oleh mereka yang belum memasuki masa lansia, yaitu mereka yang masih aktif bekerja (usia kurang dari 55 tahun) bahkan juga kaum muda.

Pemahaman yang baik tentang ihwal lansia akan membentuk komunitas atau lingkungan sosial yang membantu para lansia untuk menjalani hidupnya dengan bahagia dan bermakna. Kekayaan informasi tentang lansia pada kaum muda dan dewasa akan melahirkan empati dan solidaritas bagi lansia.

Ketika solidaritas dan empati itu muncul maka sikap serta perlakuan kepada lansia pun berpotensi lebih baik. Banyak orang muda bersaksi bahwa mereka terbantu dalam proses pematangan jiwanya justru setelah berinteraksi dengan para lansia. Karena itu, buku ini sesungguhnya dapat menjadi sarana pematangan jiwa, pertama-tama bagi para lansia, tetapi juga untuk siapa saja yang terkait dengan para lansia.

Selamat membaca dan menziarahi hidup dengan menjadi lansia yang bahagia dan bermakna. Semoga buku ini ikut menciptakan ziarah hidup dan jiwa yang kian mendalam, hingga akhirnya beroleh anugerah kebijaksanaan.

 

Br. Sidharta FIC

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini