Pastor Simon Petrus Lili Tjahjadi : Meneliti Gereja Indonesia di Zaman Jepang

2058
Pastor Simon Petrus Lili Tjahjadi.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Temuan risetnya mengenai sejarah Gereja Katolik Indonesia yang hilang pada masa penjajahan Jepang menghantarnya menjadi duta Gereja Indonesia di Kyoto.

Kegigihan adalah kunci mencapai tujuan. Keuletan itulah yang membawa Pastor Simon Petrus Lili Tjahjadi ke dalam penemuan berharga mengenai rajutan sejarah Gereja Katolik Indonesia yang sempat “tertidur”. Warisan terpendam itu pun ditemukan kembali dari ketekunan riset imam kelahiran Jakarta ini.

Kuriositas ilmiahnya justru semakin tertantang kala menerima banyak nada pesimis dari beberapa rekan historian. Tidak hanya itu, sumber tertulis sebagai bahan rujukan tulisannya dalam bentuk lengkap pun jarang ia temukan dalam masa pra penelitian. Walaupun demikian, diosesan Keuskupan Agung Jakarta berkepala plontos yang akrab disapa Pastor Simon ini sekali-kali enggan untuk menghentikan apa yang telah ia mulai.

Celotehan Pastor Mangun
Awalnya, Pastor Simon tergelitiknya oleh perkataan Pastor Mangunwijaya (Alm) di Yogyakarta. Pastor Mangun berpendapat, Gereja zaman Jepang itu adalah Gereja pribumi yang sungguh-sungguh liat dan kuat. Gereja Katolik Indonesia pada zaman Jepang sungguh menginspirasi.

Pada masa itu, para imam berkebangsaan Belanda sebagian besar ditangkap Jepang. Pengaruh Belanda pun ikut melemah dalam Gereja. Pada saat itu, Gereja pribumi menonjolkan kekuatannya dengan tampilnya awam. Buah pikir Pastor Mangun itu pun memprovokasi Pastor Simon. Ia tertarik menggali lebih dalam tentang Gereja Katolik Indonesia pada masa pendudukan Jepang (1942-1945).

Bahkan hingga saat ini, hanya sedikit catatan mengenai masa itu. Malang melintang, Pastor Simon mencari sumber informasi tentang masa pendudukan Jepang yang memporak-porandakan misi misionaris Belanda. Nasib Gereja Indonesia saat itu seolah menemui jalan buntu. Hasil konsultasi Pastor Simon dengan beberapa rekan sejarahwan, atau penulis buku sejarah tentang Gereja zaman Jepang, semakin menegaskan hal itu.

Salah satu kesimpulan dalam diskusi-diskusi itu, fase Gereja pada masa pendudukan Jepang tidak dianggap penting sebab periode waktunya yang singkat. Masa itu hanya dianggap sebagai peristiwa kecil dari misi yang nyaris mati. Pastor Simon menemui kesulitan, namun ia bersikukuh sebab kajiannya adalah bagian penting bagi sejarah Gereja. “Tidak mungkin Injil, kabar gembira Allah, dikalahkan oleh kekuasaan Jepang. Saya harus menuliskan ini!,” tekadnya dalam hati.

Diundang ke Kyoto
Akhirnya setelah selama tiga tahun (2015-2017) melakukan riset di dalam dan luar negeri, juga dengan melakukan wawancara, lahirlah karya intelektual berjudul Surviving The Dai Nippon. Peluncuran buku ini sekaligus menjadi tanda peringatan pesta perak imamatnya yang ditahbisakan pada 18 Agustus 1992. Ini menjadi buku pertama yang mengulas secara sistematis dan terinci tentang Sejarah Gereja Katolik pada masa pendudukan Jepang Raya. Sejak peluncuran itu, lalu menyusul diadakan gelar wicara mengupas tuntas karya itu. Apresiasi di Indonesia datang dari kalangan umat Katolik.

Tidak berhenti disitu, kejutan kecil menghampiri Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta ini. Berkat buku ini, ia diundang berbicara di Universitas Kyoto, Jepang. Tak pernah terlintas di benaknya bahwa bukunya akan diminati akademisi dari negara lain. Universitas negeri tertua nomor dua di Jepang itu menunjukkan atensi mereka terhadap buku yang baru saja diluncurkan oleh imam yang menaruh minat di bidang sejarah ini.

Kemudian pada 29 Oktober 2018 tepat di ruang 1 Gedung Inamori Memorial CSEAS Universitas Kyoto, diskusi hangat mengenai buku tersebut berlangsung. Para kalangan akademisi dan Indonesianis (ahli Indonesia) memenuhi ruangan. Selama dua jam, mereka mendengar dan menyerap informasi.

Pastor Simon mencermati adanya situasi umum di mana banyak anak muda Jepang memiliki hasrat tinggi untuk mengetahui sejarah bangsanya. Mereka ingin mengetahui apa yang dibuat oleh para pendahulunya. Dahulu oleh generasi lama infromasi banyak ditutupi oleh karena mereka adalah pelaku sejarahnya. Hal ini juga didukung oleh sikap enggan Pemerintah Jepang kala itu yang tidak mau bicara terbuka tentang keterlibatab Jepang dalam PD II.

Namun keadaan itu berubah semenjak memasuki era globalisasi informasi. Keingintahuan kaum muda pun tidak dapat dibendung. Selain karena menaruh minat, mereka juga melihat ada sesuatu yang baru dari hasil riset Pastor Simon. Sejak zaman misi, Gereja Katolik Indonesia identik dengan kepemimpinan imam-imam Belanda, tetapi berbeda di zaman Jepang, awam menjadi pionir penggerak Gereja. “Gereja sebagai kekuatan pribumi itu muncul di zaman ini. Tokohnya umat awam pribumi, bukan imam atau biarawan-biarawati Barat, melainkan orang Indonesia sendiri,” imbuhnya.

Mendulang Inspirasi
Imam lulusan magister studi kritik agama Kant di Munchen, Jerman ini turut menjabarkan lima hal yang dapat dipetik di balik kesuraman Gereja di zaman Jepang. Pertama, kesadaran keindonesiaan kuat berupa semangat “kita bisa”. Antusiasme kebangkitan identitas bangsa memang bukan pengalaman khas umat Katolik semata, tetapi seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi dapat dilihat secara nyata betapa energi kekatolikan dan kebangsaan melebur jadi satu.

Kedua, meruaknya gerakan ekumenis khususnya di kalangan umat Belanda. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan intensitas pertemuan bersama melalui pendalaman iman dan kitab suci di kamp tahanan. Hubungan Kristen dan Katolik menguat. Ketiga, penguatan pandangan Indonesianisasi Gereja Katolik ke arah progresif yang memajukan awam, keterlibatan orang Indonesia sebagai pemimpin dan inkulturasi.

Keempat, peningkatan partisipasi aktif dan daya merasul kaum awam. Tidak hanya di tanah Jawa dan Flores saja gejala tersebut timbul, melainkan hampir merata di seluruh bumi nusantara. Hingga Gereja zaman ini dikenal dengan sebutan Gereja Awam. “Awam sungguh bertanggung jawab dalam pembangunan komunitas Gerejawi dalam pelbagai bidang,” timpalnya.

Kelima, keberanian melawan kelompok radikal. Beraneka rupa kelompok separatis dan radikal tampak di daerah yang dihuni minoritas Kristen sebagai dampak persepsi keliru. Saat itu, agama Katolik dianggap sebagai agama luar dan pro Belanda sehingga dianggap musuh. Sedangkan mereka dibuat lupa bahwa Jepang sendiri dengan agama dan ras asing juga adalah penjajah. Namun para pendiri Republik sadar akan taktik bulus Jepang dan tidak termakan isu tersebut. Pastor Simon menegaskan, jika ditilik dengan kondisi saat ini, warisan memelihara semangat memperjuangkan NKRI adalah hal yang sangat relevan untuk terus dijaga.

Kehadiran Pastor Simon di universitas bergengsi itu bukan saja menjadikannya sebagai duta riset melainkan juga sebagai duta Gereja Indonesia. Berdasarkan data statistik tahun 2010 Konferensi Waligereja Jepang, penganut Katolik hanya ada sekitar 0,5 persen. Namun, tak lupa, ia menegaskan kepada khalayak di sana bahwa meskipun mengalami tekanan oleh Jepang, Gereja Indonesia tidak mati. Meskipun Jepang mematikan misi Belanda tetapi misi kegiatan Injil tetap hidup sebab memperoleh kekuatan dari Roh Kudus. Ia melanjutkan bahwa Gereja Katolik Indonesia zaman Jepang memang melarat tapi punya martabat. “Kekuatan demikian tidak datang dari kekuatan bangsa mana pun tetapi dari Roh Allah yang memberikan daya juang,” tegasnya.

Pastor Simon Petrus Lili Tjahjadi

Lahir : Jakarta, 13 Juni 1963

Pendidikan :
Studi S1 bidang fi lsafat di STF Driyarkara Jakarta (1985-1989)
Studi teologi di IFT St. Paulus, Kentungan, Yogyakarta (1990-1992)
Studi lanjut dalam fi lsafat Jerman (S2) di München, Jerman (1993-1997)
Studi doktoral (S3) dalam bidang fi lsafat, dan lulus dengan disertasi tentang Ateisme pada Universitas Johann-Wolfgang-Goethe, Frankfurt am Main (2000-2004)

Publikasi:
Maria dalam Perjanjian Baru (Jakarta: Obor, 1986)
Hukum Moral Immanuel Kant (Yogyakarta: Kanisius, 1990)
Kants Religionskritik (1997)
Das Menschen bild im Atheismus L. Feuerbachs (2004)
Petualangan Intelektual (2004)
Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan (2006)
Dunia, Manusia dan Tuhan (2008)
Agama dan Demokratisasi (2011)
An Enduring Commitment (2012)
Mission Breakthrough (2014).
Surviving The Dai Nippon (Jakarta: Obor, 2017)

Felicia Permata Hanggu

HIDUP NO.50 2018, 16 Desember 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini