HIDUPKATOLIK.com – Ia dianggap sampah dan dibuang pada genangan tinja hingga meninggal. Berkat dirinya pastoral kepada keluarga usia dini terus dipertahankan Gereja Albania.
Di dalam penjara yang pengap itu, inci demi inci tubuh Pastor Lek Sirdani dikuliti. Tentara komunis sengaja menyiksanya, agar ia mati perlahan. Sudah tak terbayangkan lagi, berapa banyak darah yang menetes dari tubuhnya yang penuh luka.
Dalam kondisi tanpa kulit, Pastor Lek masih berusaha bernafas. Meski perih menyiksa sekujur tubuhnya, ia tidak diizinkan keluar dari penjara. Namun, di kegelapan pekat penjara itu, ia tetap berdoa untuk Gereja Albania.
Selama tiga hari, Pastor Lek mendekam di penjara dengan perlakuan keji. Tentara menjadikannya laksana hewan. Dalam keadaan sekarat, ia dibuang ke genangan tinja dan air seni para narapida. Dalam kotoran manusia itu, ia meninggal pada 29 Juli 1948. Dalam otobiografinya para Martir Albania dijelaskan, Pastor Lek menjadi satu dari tiga imam yang dikuliti.
Pribadi Terbuka
Lek harus ditinggal kedua orangtuanya di usia yang cukup belia. Ketika itu, ia masih berusia 10 tahun saat ayah dan ibunya meninggal dunia. Dalam kondisi ini, ia dan adiknya Marin, dirawat oleh seorang tante-nya yang beragama Islam. Sang tante inilah yang kemudian membiayai seluruh keperluan pendidikan Lek dan Marin. Bahkan ketika Lek memutuskan masuk seminari, milik Keuskupan Agung Shkodrë-Pult, ia tetap dibiayai oleh tantenya. Marin pun belakangan menyusul masuk seminari dan menjadi seorang imam Fransiskan.
Saat melanjutkan pendidikan di Seminari Tinggi di Innsbruck Austria, sang tante kerapkali mengirimkan keperluan-keperluan yang dibutuhkan Frater Lek. Ia akhirnya ditahbiskan di Austria pada 24 April 1916.
Kedekatannya dengan orang Islam, dan tentu dengan sang tante, membentuk Pastor Lek menjadi pribadi yang terbuka. Ia sadar, bahwa ia mampu bertahan karena pendampingan keluarga dari pihak ibu yang beragama Islam. “Mereka adalah saudara. Meski berbeda iman denganku, kami bersaudara dalam Tuhan,” demikian kata Pastor Lek saat Misa perdana di kampungnnya.
Pengalaman inilah yang kelak menjadikan Pastor Lek memiliki keterbukaan pada siapapun. Pastoralnya tak hanya menyentuh umat Katolik, ia juga menjalin relasi dengan umat agama lain. Baginya, pastoral harus mampu memberi kedamaian bagi siapa saja tanpa memandang sekat-sekat religiusitas.
Sebagai imam di Keuskupan Agung Shkodrë, Pastor Lek mengembangkan pastoral pastoral keberagaman. Tantangan yang dihadapi adalah banyak umat Katolik yang menikah dengan orang dari agama lain. Tak jarang, orang Katolik harus mengorbankan imannya karena pernikahan semacam ini.
Menurut pastor Lek, inilah satu dari sekian persoalan yang membuat Gereja Albania tidak berkembang. Dalam berbagai kesempatan, orang Katolik mengalah dari pasangan beda agamanya. Meski corak pastoralnya terbuka, namun Pastor Lek juga tidak ingin membiarkan umatnya dengan mudah mengorbankan iman hanya karena pernikahan.
Untuk itu, Pastor Lek berusaha menjawab persoalan ini dengan berbagai program pelayanan pastoral khusus, kepada keluarga. Pastor Lek adalah satu dari beberapa imam yang getol terhadap pendidikan iman keluarga usia dini. Ia kerapkali mengunjungi keluarga-keluarga dan memberikan nasihat-nasihat spiritual kepada anak-anak muda khususnya mereka yang memasuki usia matang dan siap menikah. Kepada mereka, ia meminta agar terlibat dalam kegiatan-kegiatan gerejani sehingga bisa mendapatkan pasangan seiman.
Kendati mengharapkan pasangan seiman, toh pastor murah senyum ini tidak eksklusif terhadap agama Katolik. Ia selalu terbuka membangun dialog dengan agama lain, khususnya agama Islam. Hal ini karena ia merasakan bagaimana kebaikan orang Islam terhadap dirinya.
Tantangan Komunisme
Usai dari Austria, Pastor Lek ditugaskan di sebuah paroki di pegunungan yang tak jauh dari Kota Shkodrë. Pada kesempatan itu, ia melihat intimidasi dan pengambilalihan kekuasaan yang lebih dari rezim Komunis. Gerakan yang didirikan oleh Enver Hoxha (1908-1945), pemimpin Partai Buruh Albania tahun 1946 menjadi “racun” bagi Gereja Katolik Albania.
Selama perang Dunia II, Albania dicaplok oleh Italia (1939-1943) kemudian oleh Jerman (1943-1944). Setelah perang, Hoxha mengatur pembaruan wilayah integritas Albania. Hoxha menindas rakyat. Ia melakukan penindasan terhadap hak sipil dan politik. Kaum sipil dilarang taat pada agama tertentu. Hal ini berujung pada isolasi kepada mereka yang menolak taat. Banyak orang dipaksa menjadi ateis dan tidak beragama. Sementara itu, banyak tempat ibadah, seminari, dan biara dikuasai Hoxha.
Banyak orang memang mengritik kebijakan yang tidak pro rakyat ini. Kepercayaan sebagai orang beragama tergantikan dengan pandangan-pandangan Joseph Stalin. Pembangunan sosialisme dan masyarakat komunis dilakukan dengan cara “pembersihan” besar-besaran. Otoritarianisme dengan program industrialisasi yang pesat tak ayal mengancam eksistensi Gereja. Sentralisasi dan kolektivitas pertanian membuat kaum miskin makin menderita.
Pastor Lek tak tinggal diam. Ia mengatakan Partai Komunis dianggap paling terdepan bertanggungjawab terhadap kepunahan warga Albania. Ia menjadi terdepan revolusi kaum kecil melawan komunisme yang berlebihan. Ia pun berani berteriak dari altar ke altar untuk melawan kebijakan Hoxha. Ia berpandangan bahwa Hoxha adalah virus bagi masyarakat Albania.
Martir Dikuliti
Pada 26 Jului 1948, saat Misa Pesta Santa Anna, Pastor Lek mengritik Hoxha. Ia menggunakan bahasa kiasan untuk menguatkan umat yang hidup dalam penindasan rezim komunis Albania. “Saudara-saudaraku, awan hitam tengah menutupi kita, tapi jangan takut. Karena awan putih akan datang dan kita akan berkilauan bagai batu-batu sungai setelah hujan,” kata Pastor Lek.
Mata-mata komunis mencatat kalimat tersebut dan melaporkannya kepada Hoxha. Keesokan harinya Pastor Lek ditangkap. Ia ditahan di penjara Koplik dan disiksa dengan sangat kejam. Ia menderita karena luka siksaan serta menahan lapar dan haus. Wajahnya tidak dikenali karena memar dan bengkak. Tubuhnya disetrum dan dipaksa untuk menyangkal imannya. Perutnya disulut besi membara dan dikuliti hidup-hidup.
Tak tahan menahan derita yang lebih lama, Pastor Lek akhirnya menyerah. Ia meninggal dalam kondisi yang sama sekali tak manusiawi. Siapa pun tak akan sanggup menatap tempat dimana terakhir ia menghembuskan nafasnya.
Butuh waktu puluhan tahun sampai akhirnya proses beatifikasinya di setujui. Ia digelari venerabilis oleh Paus Fransiskus pada 26 April 2016. Ia dibeatifikasi tanggal 5 November 2016 dalam sebuah Misa di Katedral Shkoder, Albania yang dipimpin oleh Prefek Komisi Penggelaran Kudus Vatikan, Kardinal Angelo Amato SDB.
Pemilihan Katedral Shkodër menjadi tempat beatifikasi pun menjadi pilihan yang unik. Tahun 1967, katedral ini ditutup dan diubah menjadi arena olahraga. Baru pada tahun 1991, katedral ini lagi bersamaan dengan kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Albania. Pembukaannya secara simbolik diadakan dalam Perayaan Ekaristi pada 21 Maret 1991. Di sinilah, Pastor Lek dibeatifikasi di katedral yang berdiri di negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Teladan kesucian Beato Lek diperingati setiap 29 Juli.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.47 2018, 25 November 2018