HIDUPKATOLIK.com – Sepuluh tahun mereka menanti kehadiran sang buah hati. Tak ada istilah terlambat atau terlalu cepat di mata Tuhan. Semua akan indah pada waktu-Nya.
Aloysius Sugiyanto mungkin takkan berumur panjang andaikata Takayatsu tak pasang badan untuknya. Siswa Sekolah Pembangunan Bandung itu nyaris digelandang ke Markas Kempetai –polisi rahasia Jepang– di Lembang lantaran dituding mencuri beberapa onderdil pesawat tempur Jepang. “Kalau sampai ke sana maka saya tidak akan kembali lagi (mati),” kenang pria kelahiran DI Yogyakarta, Jawa Tengah itu.
Takayatsu, Direktur Sekolah Pembangunan Bandung, bergegas menemui siswanya begitu mendapat laporan. Takayatsu yakin Sugiyanto dan dua asistennya bukan pencuri seperti yang dituduh Jepang. Saking percaya, Takayatsu mempertaruhkan diri demi jaminan hidup siswanya. Jepang akhirnya pun urung membawa Sugiyanto ke Kempetai.
Meski luput dari maut, Sugiyanto sempat menanggung siksaan fisik hebat dari Jepang. Tubuhnya dihujani tongkat. Darah membanjiri pakaian kerjanya. Deraan itu dia tanggung hingga kini kendati kejadian telah berlangsung puluhan tahun silam. “Keluhan saya selalu pada punggung dan pinggang,” ujar Sugiyanto, lirih.
Pejuang Pelajar
Pasca Proklamasi kemerdekaan, Sugiyanto terlibat dalam sejumlah gerakan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mula-mula dia sebagai pejuang pelajar yang tergabung dalam Koboi Grup pimpinan Ali Hanafiah. Grup tersebut menginduk pada organisasi bekas Pasukan Istimewa Jepang yang beranggotakan orang lokal.
Begitu Koboi Grup bubar, para anggotanya yang berasal dari kalangan pelajar menengah kembali meneruskan pendidikan yang sempat terputus. Sementara Sugiyanto masuk sebagai anggota Pasukan Istimewa Siliwangi. Wilayah misinya di Kerawang dan Cirebon.
Di dua daerah di Jawa Barat tersebut, Sugiyanto bertugas di Komando Keamanan Kota bagian intel. Selain mengatur keamanan kota, tugasnya pada masa itu adalah mengatur pengungsian rakyat akibat revolusi. Beberapa bulan kemudian meletus Agresi Belanda I (1947) di sana. Sugiyanto mengungsi ke Cirebon, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, dan Subang.
Hasil Perjanjian Renville (17 Januari 1948) yang merugikan Indonesia, memaksa Pasukan Siliwangi untuk mengosongkan wilayah Jawa Barat. Mereka hijrah ke Jawa Tengah seperti Magelang, Yogyakarta, dan Solo. Di kota terakhir itulah Sugiyanto menetap. Tugasnya mengawal gerbong berisi gula dari sejumlah pabrik gula di Jawa Tengah ke Jawa Timur. Gula itu dibarter dengan senjata atau uang untuk kebutuhan operasional Pasukan Siliwangi.
Dalam perjalanan kembali ke Solo, dekat perbatasan Madiun, Sugiyanto bertemu dengan Kolonel Slamet Riyadi (kelak menjadi Pahlawan Nasional). Pak Met, demikian panggilan Slamet Riyadi di kalangan anak buahnya, meminta Sugiyanto untuk membantu perjuangannya di Solo.
Pak Met memberi tugas khusus kepada Sugiyanto yang tak dilakukan oleh personel reguler. Misi perdananya di jantung kota Solo adalah mengambil obat-obatan di RS Jebres untuk pasukan. Dia juga menghimpun dana, salah satunya dari pria keturunan Arab pemilik pabrik tenun. Uang yang didapat untuk membeli makanan pasukan selama pertempuran.
Sugiyanto juga turut mempersiapkan Serangan Umum Kota Solo serta upacara penyerahan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia yang diwakili oleh Pak Met. Selama menjalankan operasi khusus itu, Sugiyanto mengakui, aksinya tak pernah terendus oleh Belanda.
Setelah kesuksesan di Solo, Sugiyanto terus berjuang bersama Pak Met hingga sang komandan gugur di Ambon. Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur kala itu, Kolonel A. E. Kawilarang, meminta Sugiyanto menjadi ajudannya. Seiring waktu, ajakan Kawilarang menjadi jalan bagi Sugiyanto terlibat dalam merealisasikan cita-cita Pak Met untuk membentuk pasukan elite Angkatan Darat, Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Bunga Hidup
Elizabeth Sarwitri Sakuntala sejak awal menyadari konsekusi yang harus ditanggung sebagai calon istri prajurit. Dia harus siap ditinggal dan mengurus berbagai persoalan rumah tangga sendiri bila seandainya Negara membutuhkan suaminya. Situasi bangsa saat itu juga belum terlalu kondusif seperti sekarang. “Sepenuhnya saya serahkan kepada yang Di Atas. Tuhan memberi dia untuk saya maka saya terima,” ujar Sakuntala, saat ditemui di kediamannya di Menteng, Jakarta Pusat, awal November lalu.
Keyakinan itulah yang membulatkan tekad Sakuntala menerima Sugiyanto sebagai calon pendamping hidupnya. Maka, setelah beberapa waktu menjalin asmara, Sakuntala dan Sugiyanto menikah. Upacara Sakramen Perkawinan mereka berlangsung di Gereja St Petrus Purwosari Solo, pada 6 Juni 1954.
Penantian mereka akan kehadiran buah hati tak sebentar. Sakuntala dan Sugiyanto baru mendapat momongan setelah sepuluh tahun menikah. Mereka mempercayai hal tersebut bagian dari Penyelenggaraan Ilahi. Di mata manusia lain mungkin penantian mereka untuk mendapat anak cukup lama. Namun bagi Sakuntala, Tuhan memberikan anugerah itu tepat pada waktu-Nya.
Sakuntala mengakui, suaminya sering berada di luar rumah. Sugiyanto menerima beragam tugas dari Markas Besar Angkatan Darat (MABAD), antara lain mempersiapkan aneka kebutuhan Sekolah Intelijen Angkatan Darat serta mendampingi para calon prajurit komando. Sugiyanto merupakan salah satu alumnus pendidikan khusus combat intelligent course. Selain itu, Sugiyanto juga mendapat tugas operasi khusus di sejumlah daerah.
Kehadiran anak semata wayang, kenang Sakuntala, persis ketika mereka menetap di Menteng. Sebelumnya, Sakuntala dan Sugiyanto menetap di Batujajar, Bandung, Jawa Barat. Di sana terdapat Pusat Pendidikan dan Latihan Pasukan Khusus.
Sakuntala dan Sugiyanto semakin bahagia sebab putra tunggalnya juga lahir pada bulan kelahiran yang sama dengan mereka yakni Juni. “Jadi, ada beberapa peristiwa penting bagi keluarga saya di bulan Juni. Saya lahir 25 Juni, istri lahir 17 Juni, dan anak saya lahir 8 Juni. Saya dan istri juga menikah pada bulan Juni,” beber Sugiyanto sembari tersenyum.
Aneka tugas yang diemban Sugiyanto kerap membuat dirinya jarang berada di rumah. Peristiwa itu bisa berlangsung beberapa hari bahkan pekan. Praktis segala urusan rumah tangga dan pendidikan anak berada dalam kendali Sakuntala.
Saat di rumah, mereka tak pernah membahas sedikit pun soal pekerjaan. “Bapa tak pernah cerita apa yang dikerjakan, saya juga tak mau dan tak berminat untuk menanyakan yang Bapa lakukan. Kami membahas soal lain,” ungkap Sakuntala.
Kendati jarang bertemu, mantan ketua pertama Persatuan Istri Tentara itu tak menampik bahwa mereka tak imun dari perselisihan. Dia yakin setiap keluarga memiliki konflik masing-masing. “Ribut-ribut dalam keluarga itulah bunga hidup, tanpa itu tidak ada kembang yang tumbuh,” sambung salah satu pendiri RS Hewan Jakarta ini beranalogi.
Mempersiapkan Diri
Usia Sugiyanto dan Sakuntala kian meninggi. Tubuh mereka pun tak sebugar dulu. Beberapa hari sebelum bertemu, Sugiyanto dirawat selama sepuluh hari di RS. Sementara Sakuntala sedang mempersiapkan diri untuk operasi. Meski raga terbatas, umat Paroki St Theresia Menteng, Keuskupan Agung Jakarta itu tak sepi aktifitas.
Sugiyanto masih ikut pertemuan dengan sejumlah rekannya. Sementara Sakuntala merawat kucing di kediamannya. “Dulu ada sekitar 40 ekor (kucing), sekarang hanya 12 atau 14 ekor di rumah,” ujar Sugiyanto.
Meski demikian, Sugiyanto dan Sakuntala lebih banyak memanfaatkan waktu untuk kepentingan pribadi. “Kami ingin menikmati hidup sembari introspeksi diri. Hari-hari ini kami mempersiapkan diri, menerima bimbingan dari yang Di Atas. Semoga kehidupan anak, mantu, dan cucu-cucu semakin baik dan sukses,” harap Sakuntala.
Yanuari Marwanto
HIDUP NO.47 2018, 25 November 2018