Pribadi Manusia Cermin Allah

438
Sekjen KWI Mgr Antonius Bunjamin Subianto OSC (bicara) bersama Ketua KWI Mgr Ignasius Suharyo dalam Konferensi Pers Sidang KWI 2016. (Yohanes Indra/Dokpen KWI)

HIDUPKATOLIK.com – Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) baru saja menyelesaikan Sidang Sinodal pada 5-14 November 2018 di Bandung. Berkaitan dengan ini, HIDUP mewawancarai Ketua Presidium dan Sekretaris Jenderal KWI, Mgr. Ignatius Suharyo dan Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC, yang dilakukan jelang Misa Penutupan di Katedral St. Perawan Maria Diangkat ke Surga Keuskupan Agung Jakarta, Rabu, 14/11.

Sejarah mencatat beberapa tragedi HAM yang melanda Gereja Katolik terjadi pada bulan November. Apakah ini melatarbelakangi KWI mengambil tema tentang HAM?

Mgr Suharyo: Dalam Injil Matius 5:48 dikatakan: “Hendaklah kamu sempurna seperti Bapamu yang di surga sempurna adanya.” Jelas sekali bahwa manusia diminta sempurna supaya seperti Allah Bapa sempurna seperti citra Allah. Lalu, dalam Injil Lukas, kata-kata yang sama itu dirumuskan dengan cara yang berbeda. Hendaklah kamu berbelarasa seperti Bapamu sendiri berbelarasa.

Hakikat manusia, martabat manusia ada di situ. Tanpa pangkat, tanpa kedudukan sosial, tanpa latar belakang apapun, setiap manusia adalah pribadi yang mencerminkan Allah sendiri, wajah Allah. Itulah martabat manusia.

Mgr Anton: Itu hanya kebetulan saja. Isu hak asasi manusia (HAM) adalah isu yang mendunia. Di Indonesia masih ada masalah-masalah HAM yang belum terselesaikan secara tuntas. Kita berusaha untuk mendorong umat Katolik bukan hanya menghargai HAM, tetapi terlibat dalam pembelaan dan penghargaan HAM. Kalau boleh, turut berkontribusi dalam tugas masing-masing untuk memulihkan HAM. Karena itu juga merupakan bagian dari kewajiban asasi kita; menghormati sesama kita sebagai ciptaan dan citra Allah. Gereja berkewajiban untuk menghargai HAM dengan membangun persaudaraan yang inklusif dan bijak di tengah masyarakat yang majemuk.

Dalam salah satu sesi, pemateri berasal dari Komisi Nasional (Komnas) HAM Perwakilan Papua. Apakah ini mau menunjukkan perhatian serius Gereja pada penegakan HAM di Papua?

Mgr Anton: Banyak masalah terkait HAM yang terdengar dari tanah Papua. Tidak sedikit yang belum terselesaikan dari tahun ke tahun. Kita mau mendengar sharing dari mereka, bagaimana kisah dan perjuangan untuk mengatasinya.

Lalu bagaimana pandangan Gereja sendiri terhadap penegakan HAM di Indonesia saat ini?

Mgr Suharyo: Nah, itulah yang menjadi pertanyaan besar bagi sidang. Dari lain pihak, usaha penegakan HAM tampak sangat jelas. Misalnya, asuransi BPJS itu sebenarnya kalau ditarik-tarik ya mengarah kepada penghargaan atas martabat manusia. Pendidikan diberi porsi anggaran yang sangat besar juga dana desa untuk mengangkat martabat manusia.

Tetapi, di lain pihak tidak dapat disangkal bahwa yang namanya penghormatan terhadap HAM tetap saja kelihatan. Misalnya, kalau martabat manusia sungguh-sungguh dihormati, maka hukuman mati pasti dihapus dari undang-undang. Lalu, pastilah masalah-masalah yang lalu, yang diistilahkan dengan pelanggaran HAM berat, akan diselesaikan entah
bagaimanapun caranya. Namun, tetap dengan mengakan keadilan dan kebenaran.

Mgr Anton: Pemerintah sebetulnya sudah berusaha dengan baik dengan adanya perubahan-perubahan, penyempurnaan (Undang-Undang) tentang HAM, mulai dari tahun 1999, lalu 2008 dan 2012. Melalui penyempurnaan-penyempurnaan, terlihat wewenang dari Komnas HAM terus ditambah. Ini menunjukkan bahwa pemerintah semakin serius dalam menangani masalah HAM. Tetapi, masalah HAM itu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Ada banyak hal yang berkaitan. Maka, sekalipun mereka sudah berusaha, namun soal HAM belum terselesaikan secara tuntas.

Sepanjang tahun 2017 dan 2018, intimidasi dan persekusi mengatasnamakan agama masih terus terjadi. Bagaimana Gereja menyikapi hal tersebut?

Mgr Suharyo: Tidak ada agama yang mendorong intimidasi. Agama-agama apapun mewartakan kasih dan damai, menghormati kemanusiaan. Mengatasnamakan agama untuk melakukan kekerasan pasti salah. Apa dan di manapun kesalahannya, itu pasti bukan pesan agama.

Mgr Anton: Kita jangan menggeneralisasi bahwa itu adalah agama tertentu. Kita tahu ada kelompok-kelompok atau oknum-oknum tertentu yang mengatasnamakan agama untuk melegalisasi perbuatannya yang sebetulnya kita pahami. Kita semua harus semakin dewasa untuk mencermati secara proporsional; siapa yang mengatakan, siapa yang melakukan. Sehingga kita tidak terpancing, dan kita jangan sampai terpancing atau terbawa.

Bagaimana dengan isu SARA jelang Pemilu 2019 yang terkesan sudah sangat mengabaikan aspek moral dan etika?

Mgr Suharyo: Itu sama dengan menjadikan agama sebagai alat politik. Perbedaan suku dijadikan alat politik untuk mencapai kekuasaan. Padahal, dulu, yang namanya persatuan adalah konsensus satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Semestinya, apapun yang dilakukan tujuannya ke sana. Bukan malah sebaliknya. Dan dalam rangka meraih kekuasaan tidak boleh seperti itu; harus fair. Jadi, kalaupun nanti akhirnya dilakukan voting, maka demokrasi kita sebatas pemungutan suara. Baru prosedurnya yang demokratis, tetapi nilai demokrasinya belum dikemukaan. Kita belum sampai ke sana, masih jauh. Prosedurnya sudah ada, di DPR, namun tertinggal jauh.

Bagaimana Gereja menggugah umat untuk ikut mengambil bagian dalam penghargaan martabat manusia?

Mgr Anton: Bahwa mengahargai martabat manusia itu adalah panggilan Gereja, panggilan kita semua. Maka dari itu, bukan sesuatu yang istimewa sebetulnya menghargai dan membela HAM. Karena itu adalah bagian dari panggilan kita sebagai murid-murid Tuhan, di mana kehadiran Yesus sendiri adalah memulihkan martabat manusia. Sejak zaman dahulu ketika para nabi dipanggil, begitu juga pesan Amos, adalah dalam kerangka untuk keadilan sosial.

Keadilan sosial selalu berhubungan dengan HAM. Ada HAM yang terganggu, yang diinjak-injak. Para nabi diutus oleh Yahwe, Allah, untuk memulihkan martabat ini. Dan Yesus meneruskannya. Dengan sangat jelas Yesus menyatakan: “Roh Allah ada pada-Ku, Ia telah mengurapi Aku untuk mewartakan kabar gembira dan membebaskan orang yang tertawan.” Itu semua perbuatan-perbuatan belas kasih, perbuatan yang memulihkan HAM.

Mgr Suharyo: Pesan Natal tahun ini juga mengambil tema “Kristus adalah Hikmat Allah bagi Kita.” Hikmat Allah artinya Dia adalah sang manusia. Jadi, kalau mau tahu manusia yang sesungguhnya seperti citra Allah, itu Yesus. Yesus juga anti-kekerasan dan Ia menunjukkan hikmat-Nya melalui pewartaan Injil dan tindakan belas kasih untuk menguduskan dan menebus kita. Kristus yang menjadi hikmat Allah datang ke dunia, melaksanakan kehendak Allah dengan merendahkan diri, mengorbankan diri-Nya di kayu salib. Maka, kita berharap para pemimpin Gereja dan negara, memimpin dengan hikmat Allah bukan dengan hikmat dunia.

Apa yang bisa umat Katolik lakukan dalam rangka menjunjung dan menegakkan HAM?

Mgr Suharyo: Banyak sekali. Sebagai contoh kecil, beberapa lembaga Katolik, dari WKRI juga banyak susteran, mendirikan tempat penitipan anak di daerah pabrik misalnya. Ini konkret sekali. Karena merupakan keluarga muda, kedua orang tua pergi bekerja. Siapa yang mengasuh anaknya? Siapa yang memberi perhatian kepada orang miskin, yang setiap malam bisa kita jumpai di kolong jembatan?

Tidak sekadar memberi mereka makanan lalu ditinggal. Duduk bersama mereka, ajak mereka berbicara tentang hari dan keluarga mereka. Tidak memandang mereka sebagai orang miskin yang harus diberi makan. Tetapi dimanusiakan, duduk makan bersama.

Mgr Anton: Menghargai HAM, pertama-tama dimulai dari kehidupan keluarga masing-masing. Kalau di dalam keluarga saja kita tidak bisa menghargai hak-hak anak dan orang tua, bagaimana kita bisa menghargai hak orang lain di luar, yang tidak dekat, tidak ada hubungan darah? Maka langkah pertama kita adalah menghargai dan mewujudkan HAM di dalam keluarga, lalu dalam lingkungan, Gereja, tempat kerja, masyarakat, dan negara.

Mgr. Suharyo kembali terpilih sebagai Ketua KWI. Apa yang akan Bapa Uskup tuntaskan dalam tiga tahun ke depan?

Mgr Suharyo: Ya, meneruskan semua yang sudah baik. Sebetulnya ketua tidak begitu berpengaruh karena segala sesuatu sudah diputuskan di dalam sidang. Ketua hanya menjalankan amanat yang sudah dihasilkan oleh sidang. Dan amanat-amanat itu dirumuskan dalam satu nota pastoral. Ada seruan sesudah sidang, pesan Natal bersama, nota pastoral. Itulah yang mesti dijabarkan khususnya oleh komisi-komisi yang ada dalam konferensi. Kalau ketua kan fungsinya representasi.

Hermina Wulohering

HIDUP NO.47 2018, 25 November 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini