Br Roberto Mancini SX : Misionaris Sampai ke Tulang Sumsum

1498
Melayani: Br Roberto Mancini SX saat menggunting tanaman di Wisma Xaverian Bintaro.
[NN/Dok.SX]

HIDUPKATOLIK.com – Br Mancini mengalami jatuh-bangun dalam hidup membiara. Namun ia tetap menghayati panggilannya sebagai seorang misionaris hingga kini.

Bruder Roberto Mancini SX (86) lahir di Subiaco, kota kecil di Italia, dekat Roma. Fratello (Bruder) ini berperawakan kecil. Namun, raga kecil itu tidak bisa menahan semangat yang bergelora dalam dirinya untuk mewartakan kabar gembira kepada semua orang.

Semangat itu memang sudah ada dalam darah dan sumsum tulangnya. Anak bungsu dari keluarga petani ini dibesarkan dengan nilai-nilai Katolik. Meskipun situasi politik di Italia saat ia masih kecil tidak memungkinkan berkembangnya kegiatan keagamaan, ia tetap memegang teguh nilai-nilai tersebut.

Pemerintahan Italia saat itu dipegang kaum fasis yang memerintah dengan tangan besi. Saat itu di dalam Gereja tumbuh gerakan yang disebut azione cattolica, terutama bagi kaum muda. Azione cattolica adalah gerakan awam Katolik untuk mempertahankan eksistensi Gereja Katolik di masyarakat. Roberto Mancini kecil ikut aktif dalam gerakan itu, bahkan menjadi pemimpin kelompok aspiran maupun juniores.

Tahun 1939, Perang Dunia II pecah. Kehidupan politik Italia semakin memanas. Italia pun terlibat dalam kepentingan Jerman dan Sekutu. Untuk membela negara, banyak kaum muda direkrut menjadi tentara. Tak terkecuali anak-anak dari keluarga Mancini. “Dua kakak saya juga direkrut. Satu di angkatan udara, satu di artileri,” kisah Br Mancini.

Perang membawa duka mendalam bagi keluarga Mancini. Salah seorang putranya meninggal dunia saat berada di garis depan untuk membela negara. “Kakak saya meninggal karena kedinginan,” kata Br Mancini.

Panggilan Membiara
Tahun 1945, Perang Dunia II akhirnya usai. Roberto Mancini yang mulai beranjak dewasa tetap bekerja sebagai petani bersama keluarganya. Sementara itu, api semangat untuk mewartakan nilai-nilai Katolik semakin membara dalam dirinya.

Pada usia 32 tahun, api semangat itu menemukan bentuk dalam panggilan hidup membiara. Namun, panggilan itu ternyata tidak mulus. Anak petani yang bersekolah sampai kelas V SD itu mengalami jatuh bangun dalam menjalani panggilannya, sampai-sampai ia mempertanyakan apakah panggilan membiara memang benar-benar pas untuk dirinya.

Selama empat tahun, pergumulan itu mendera hidupnya. Sampai akhirnya, 3 Oktober 1963, ia mantap mengikrarkan kaul pertama di Nizza Monferrato, Italia Utara. Ia mulai menapaki jalan panggilannya. Biara Xaverian di Parma menjadi rumahnya. Ia mulai menjadi murid lagi setelah begitu lama putus hubungan dengan dunia pendidikan. Pelajaran bahasa Latin, bahasa Inggris dan bahasa Italia harus dilahapnya.

Ia pun mengikuti ujian persamaan SMA. Meskipun sempat mengalami kesulitan, ia senang karena banyak konfrater yang membantunya. Salah satu yang dikenangnya adalah mendiang Pastor Bruno Orru SX. “Pastor Bruno menjadi guru saya,” ujarnya.

Suatu saat, Mgr Raimundo Cesare Bergamin SX, Uskup Padang (1961-1983) mengatakan bahwa diperlukan misionaris-misionaris ulet yang siap pergi ke tanah misi, Indonesia. Saat mendengar itu, tubuh Roberto bergetar. Menjadi misionaris? Mewartakan Kabar Baik sampai ke ujung dunia? Bukankah itu yang diajarkan keluarganya? Roberto terkenang kembali foto ayah-ibunya yang mengenakan emblem azione cattolica di dada mereka. Pada titik ini, ia memutuskan: “Ya, saya mau menjadi misionaris di Indonesia!”

Tenaga “Serba Guna”
Akhirnya Br Mancini menjadi misionaris Xaverian. Ia, bersama sejumlah Xaverian, mendarat di Padang, Sumatra Barat, pada 1969. Tugas pertamanya di Sipora, Kepulauan Mentawai. Ia bertugas untuk membantu pastor yang harus mengunjungi umat di stasi-stasi terpencil, mengurus keperluan asrama anak-anak. Ia juga mengantarkan ratusan anak Mentawai ke Padang untuk sekolah.

Dengan keterbatasannya memahami bahasa Mentawai, Br Mancini mampu menyelesaikan tugasnya di kepulauan itu. Setelah kembali di Padang, Br Mancini mendapat tugas bermisi di Bagansiapiapi, Riau. Saat itu, penduduk Bagansiapiapi berjumlah 70 ribu jiwa. Banyak penduduk yang menderita kusta.

Mancini kembali menjadi tenaga “serba guna” – demikian ia mengistilahkan. Segala pekerjaan ia lakoni: membawa obat, mengurus pasien, membantu para suster, dsb. Pendek kata, ia merawat para penderita kusta, yang bagi sebagian orang disebut kutukan Tuhan. Bersama Romo Otello Casali SX dan Romo Giuliano Varalta SX, ia juga turut membangun rumah bagi para suster dan poliklinik di sana.

Setelah itu, Br Mancini mendapat tugas misi di Pasaman, Sumatra Barat. Kali ini ia berada di antara anggota komunitas transmigran Jawa yang sebagian datang dari Suriname. Selama 23 tahun ia melayani dan bermisi di sana. Sejak 1998, Br Mancini melayani di Wisma Novisiat Xaverian Bintaro, Tangerang Selatan, Banten. Ia berada di tengah para novis dan pranovis/ postulan Xaverian.

Misionaris Sejati
Pengalaman pahit manis hidup sebagai biarawan Xaverian ia lakoni sepenuh hati. Tak terasa sudah 50 tahun ia menghayati panggilannya. Pada Oktober 2013, ia mensyukuri pesta emas hidup membiara tersebut. “Saya sangat bahagia masih menjadi bagian dari mereka yang telah menjalani masa Novisiat bersama saya, dibimbing Pastor Cavallo dan ditemani Pastor Amatore Dagnino, mantan Jenderal Xaverian,” kenangnya.

Selama menjalani panggilan sebagai seorang misionaris, ada kenangan yang masih melekat dalam ingatan Br Mancini, yakni ketika kakaknya, mendiang Antonio Mancini, bersama keponakannya, Pastor Augusto, mengunjunginya awal 1980-an. Ia mengajak mereka ke Mentawai, tempatnya bertugas dulu. “Saat mesin kapal rusak, kakak saya mulai cemas, jangan-jangan kami dibawa jauh oleh ombak lautan. Namun ketika kami sudah berada di Sipora, kakak Antonio dapat melihat sendiri karya-karya yang pernah saya ceritakan. Lalu … percayalah dia!”

Br Mancini juga sempat mengajak saudaranya mengunjungi karya sosial Xaverian di Pasaman. Ketika mereka tiba, umat menyambut dengan ramah. Ia pun diminta memberi sambutan. “Saya ini Bruder, yaitu Saudara, yang telah datang ke Pasaman untuk hidup sebagai Saudara di antara saudari-saudara,” ujarnya.

Kini, Br Mancini menjalani hari-harinya dengan karya dan doa. Dengan tubuh rentanya, ia masih melayani dengan menyiangi dan merawat kebun di Wisma Xaverian Bintaro. Ia tak menghiraukan tulang pahanya yang pernah patah dan dipasangi pen.

Tahun-tahun yang ia jalani sarat dengan karya, kerja dan doa. “Saya mengalami suka cita mendalam sebagai misionaris secara utuh melalui karya misioner seorang Xaverian, yaitu doa. Selama ini, dalam menjalankan karya misi, saya tak pernah merasa sendirian. Sebaliknya, saya merasa disokong dan diteguhkan oleh doa-doa serta teladan dan kasih Anda. Maka saya yakin, Anda juga misionaris bersama saya!” tandas Br Mancini.

Sylvia Marsidi

HIDUP NO.05 2014, 2 Februari 2014

2 KOMENTAR

  1. RIP Br Marcini SX.. Turut mendoakan.. Dalam penyertaanNya.. Puji syukur atas karya misinya untuk masyarakat Bagan SiApi Api.. Kampung kusta.. Diera tsb bersama Pastor Casali.. N Pastor G. Varalta..

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini