Perjumpaan Iman dan Budaya

2741

HIDUPKATOLIK.com – Jika diijinkan ada Misa Imlek, tentu juga diijinkan Misa Suroan. Lalu apakah Misa Jumat Legi dan juga Misa Ruwatan juga diijinkan? Kalau semua ini terjadi, apakah tidak terjadi sinkretisme dalam Gereja Katolik? Di mana kemurnian ajaran Gereja?

Supriyadi Wisaksana, Malang

Pertama, semua contoh yang disebutkan dalam pertanyaan di atas harus dilihat dalam kerangka hubungan antara iman dan budaya. Prinsip-prinsip tentang hubungan antara iman dan budaya berlaku sama untuk semua budaya (bdk. IDUP, no. 32, 5 Agustus 2012; no. 04, 26 Januari 2014). Iman Katolik tidak terikat secara eksklusif pada satu budaya, tapi bisa diungkapkan dalam aneka budaya. Gereja mampu menjalin persekutuan dengan pelbagai pola kebudayaan (GS 58).

Teori di atas nampak sederhana dan mudah, namun pelaksanaan teori tersebut sungguh penuh tantangan dan kesulitan, karena makna yang terkait erat dengan unsur-unsur budaya itu tak selalu cocok dan selaras dengan pengertian Kristiani tentang Allah, manusia, dan keselamatan. Maka tugas Gereja adalah “membaptis” unsur-unsur budaya itu agar dapat digunakan sebagai ungkapan iman Katolik. “Gereja memajukan dan menampung segala kemampuan, kekayaan dan adat-istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik; tetapi dengan menampungnya juga memurnikan, menguatkan serta mengangkatnya” (LG 13). Persenyawaan iman dan budaya adalah proses yang dinamis dan terus-menerus. Sejarah Gereja menunjukkan, bahwa proses inkulturasi seperti ini harus melalui jatuh bangun pemurnian dalam bimbingan Roh Kudus.

Kedua, sinkretisme ialah mencampuradukkan aneka ajaran atau praktik keagamaan yang berbeda dan bahkan bertolak-belakang asal-usul dan maknanya. Dalam sinkretisme tidak terjadi persenyawaan yang total antara iman dan budaya, tetapi masing-masing tetap mempertahankan makna. Proses pemurnian budaya tidak terjadi. Sinkretisme sering terjadi ketika iman dipertemukan dengan budaya baru tanpa sikap kritis tentang makna yang terkait dengan unsur-unsur budaya itu.

Persenyawaan antara iman dan budaya pasti selalu akan berhadapan dengan bahaya sinkretisme karena persenyawaan ini pasti melalui usaha trial and error, tidak sekali jadi. Usaha inkulturasi harus terus-menerus direfleksikan secara kritis. Inilah risiko nyata yang harus dihadapi jika kita ingin agar iman kita sungguh mengakar dalam budaya dan meresapi budaya. Kesadaran kita yang ingin menghindari sinkretisme dan sungguh-sungguh menjadi 100% Katolik dan 100% Indonesia, maka kita harus berani mencoba, dan kemudian merefleksikan secara kritis. Inilah proses pertimbangan bersama dalam Gereja, common discernment. Perlu terjadi proses timbal-balik, praktik menjabarkan dan memperjelas ajaran, dan ajaran merumuskan serta memurnikan praktik. Praktik yang tidak direfleksikan cenderung jatuh pada sinkretisme.

Jika kita tidak berani menghadapi bahaya sinkretisme dengan tetap mempertahankan penghayatan iman di luar budaya, maka iman akan terasing dari lubuk hati penghayatnya, tidak bisa dimengerti dan tidak meyakinkan. Seolah iman menikmati kemewahan dan keterasingan di menara gading.

Paus Paulus VI dalam ensiklik Evangelii Nuntiandi no.20 menegaskan, “Pembangunan Kerajaan Allah tak dapat tidak harus meminjam unsur-unsur dari kebudayaan manusia atau kebudayaan-kebudayaan. Meskipun tidak tergantung pada kebudayaan, Injil dan penginjilan tidak harus bertentangan dengan kebudayaan. Malahan dapat merasuki kebudayaan tanpa menjadi tunduk terhadapnya. Perpisahan antara Injil dan kebudayaan tak dapat diragukan lagi merupakan suatu drama untuk zaman kita, seperti juga untuk zaman-zaman lain. Maka, setiap usaha harus dilakukan demi menjamin penginjilan kebudayaan sepenuhnya, atau lebih tepat kebudayaan-kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan harus dilahirkan kembali dalam suatu pertemuan dengan Injil. Namun pertemuan itu tidak akan terjadi bila Injil tidak diwartakan.”.

Dr Petrus Maria Handoko CM

HIDUP NO.05 2014, 2 Februari 2014

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini