Pupuk Iman

341

HIDUPKATOLIK.com – Menjelang perayaan Natal tahun ini, pada tanggal 20 Desember 2018, Gereja Katolik Indonesia akan mengenang 70 tahun meninggalnya Pastor Richardus Sandjaja atau lebih dikenal dengan panggilan Romo Sandjaja. Sosok Romo Sandjaja bukan nama asing bagi kebanyakan orang Katolik di Indonesia. Namanya sudah dipatrikan untuk nama lingkungan, institusi, yayasan, dan lain-lain. Romo Sandjaja dikenal sebagai martir pertama Gereja Katolik di Indonesia. Kendati proses menuju pengangkatan resminya sebagai salah satu orang kudus dalam litani para kudus Gereja Katolik mungkin masih sangat panjang dan lama, Romo Sandjaja sudah menjadi martir sejati di hati umat Katolik Indonesia.

Semasa hidupnya, Romo Sandjaja, oleh banyak orang yang sempat bersentuhan dengannya, dikenal sebagai imam yang sederhana, peduli, dan bijaksana. Juga seorang pekerja keras dan pantang menyerah menghadapi situasi genting masa pendudukan Jepang. Tak jarang ia harus bersembunyi di pelosok-pelosok sekitar Muntilan asalkan ia bisa memberikan pelayanan kepada umat di Paroki Muntilan, Paroki Magelang, dan tugas tugas lain yang diberikan oleh Gereja kepadanya. Dapat dibayangkan tantangan dan kesulitan yang ia hadapi pada masa-masa darurat tersebut.

Peristiwa kematian Romo Sandjaja, hingga saat ini, memang masih menyisakan tabir gelap. Namun umat atau Gereja yakin bahwa ia menghembuskan nafas terakhirnya karena ia mempertahankan imannya. Darahnya tumpah bersama dengan darah Frater Herman Bouwens SJ adalah demi iman kepada Kristus yang mereka cintai. Ada sumber yang menyebut bahwa sebelum dibunuh, keduanya mengalami penyiksaan yang keji.

Maka, memperingati 70 meninggalnya Romo Sandjaja dan Frater Bouwens ini adalah masa rahmat umat Katolik Indonesia. Romo Sandjaja telah memberikan teladan bagaimana ia menyerahkan diri menyerupai teladan Yesus Kristus. Dokumen Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja mengatakan, “Sudah sejak masa permulaan ada orang-orang Kristiani yang telah dipanggil, dan selalu masih akan dipanggil, untuk memberi kesaksian cinta kasih yang tertinggi itu di hadapan semua orang, khususnya di muka para penganiaya. Maka Gereja memandang sebagai karunia luar biasa dan bukti cinta kasih tertinggi kematian sebagai martir yang menjadikan murid serupa dengan Guru yang dengan rela menerima wafat-Nya demi keselamatan dunia, serupa dengan Dia dalam menumpahkan darah.”

Sekali lagi, masa (menjelang) Natal ini merupakan momen merenungkan esensi panggilan suci kita. Darah-darah para murid Kristus sampai sekarang masih tumbah di sejumlah tempat berkonflik di Benua Afrika atau pun Asia. Darah yang tentu tidak sia-sia. Tertulianus mengatakan, “Darah para martir menyuburkan Gereja.” Tidak semua dipanggil untuk menjadi seperti Romo Sandjaja dkk. Namun, di tengahdunia modern ini, setiap murid Kristus dipanggil menjadi lilin-lilin kecil di tengah kegelapan.

HIDUP NO.49 2018, 9 Desember 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini