Leani Ratri Oktila : Tak Mau Sia-Sia

481
Leani Ratri Oktila.

HIDUPKATOLIK.com – Tekad kuat akan mampu mengalahkan halangan sekuat apapun. Meski kecelakaan pernah dialami, ia masih mampu membuktikan, bahwa semangatnya tidak padam.

Sejak usia belia Leani Ratri Oktila sudah berlatih bulutangkis di kampung halamannya di Siabu, Bangkinang, Riau. Di perkampungan yang dikelilingi kebun karet dan sawit itu, ia bermimpi ingin menjadi atlet bulutangkis dunia.

Naas, pada tahun 2011 Ratri mengalami kecelakaan sepeda motor. Kecelakaan itu akhirnya merenggut tangan kanan dan kaki kiri perempuan berdarah Jawa Minang ini. “Sepeda motor yang saya kendarai menabrak mobil saat itu,” kenang Ratri.

Namun mimpi Ratri untuk berprestasi dalam dunia bulutangkis tidak begitu saja padam oleh kecelakaan yang menimpanya. Belum lama ini, ia menerima bonus 2,5 miliar rupiah atas raihan dua emas dan satu perak dalam Asian Para Games 2018 lalu. Dengan uang itu, ia ingin membuka peternakan yang bermitra dengan masyarakat di kampung halamannya dengan sistem sharing profit. “Saya ingin membuka lapangan kerja bagi masyarakat di sana.”

Kecelakaan
Ratri bukan anak kemarin sore. Oleh sang ayah, ia telah diperkenalkan dengan bulutangkis sejak masih kanak-kanak. Meski bukan atlet, ayahnya menaruh minat yang besar pada olahraga “tepok bulu” itu. Di rumahnya bahkan terdapat lapangan bulutangkis. “Saya mengenal dasar-dasar bulutangkis dari Papa,” ujarnya.

Ketertarikan dan keseriusannya dalam berlatih membawa Ratri masuk dalam Tim Bulutangkis Riau. Selama 10 tahun, ia menjadi atlet daerah. Impian sang ayah seakan terwujud dalam kiprahnya ketika itu.

Kecelakaan yang dialaminya jelas sempat menghentikan karier bulutangkisnya. Ratri sadar, saat itu bukan waktunya untuk menyerah. Ia juga mengaku, peristiwa itu tidak sampai membuatnya depresi. “Yang saya pikirkan adalah mungkin Tuhan sedang memberikan saya waktu istirahat,” kenangnya.

Ratri memang berpikiran positif. Namun, ia melihat ada kesedihan yang mendalam justru dalam diri orangtua dan sahabat-sahabatnya. Ayah yang ia kenal sebagai manusia paling tegar, bisa menangis menyaksikan kondisinya, demikian pula sang ibu. Ia mengatakan saat itu ia merasa terpuruk bukan karena keadaan yang dialaminya, tetapi justru karena melihat orang-orang di sekitarnya sedih. “Kesedihan mereka selalu terngiang di benak saya. Padahal saya tidak sesedih dan selemah yang mereka bayangkan,” ungkap anak kedua dari sepuluh bersaudara ini.

Kecelakaan itu nyatanya tidak merenggut tekad Ratri. Kemauan yang kuat masih terlihat darinya. Dalam benaknya, ia ingin kembali bermain bulutangkis. Setelah istirahat total selama tiga bulan, ia mulai belajar berjalan dan menjalani proses pemulihan.

Ketika Ratri sudah merasa kuat dengan kondisi kakinya, ia memilih untuk terjun lagi dalam dunia bulutangkis kelas paralympic.

Lahir Kembali
Setahun setelah proses pemulihan itu, Ratri ikut dalam Indonesia Open 2013 kelas paralympic. Keluarga masih menunjukkan reaksi penolakan atas pilihannya ini. Mereka takut, ini akan berpengaruh pada fisik maupun psikis Ratri. “Atau mungkin adik-adik saya malu karena saya turun di kelas difable tapi bagi saya, semuanya sama. Tuhan juga melihat sama.”

Bergabung kembali ke dunia bulutangkis adalah salah satu caranya untuk menyampaikan bahwa dia tak selemah yang mereka bayangkan. Ratri ingin menunjukkan semangat olahraga masih berkobar dalam dirinya. “Kalau orang memandang para penyandang disabilitas sebelah mata, itu karena dia hanya melihat perbedaannya. Tapi kita bisa menggali potensi kita, menunjukkan kelebihan kita.”

Ratri kemudian terpilih untuk masuk Pelatihan Nasional (Pelatnas) National Paralympic Committee di Solo, Jawa Tengah pada tahun 2014. Ajang pembuktian pertamanya adalah Asian Para Games 2014, Incheon, Korea Selatan. Ratri mengatakan, meski telah menjadi atlet bulutangkis sejak kecil, tapi ini adalah pertama kalinya ia sampai ke Pelatnas. “Mungkin di nonpara saya tidak bisa, jalan saya memang di sini,” ucapnya.

Awal masuk Pelatnas, Ratri masih menggunakan tongkat. Namun, ia tekun berlatih agar bisa berjalan dan akhirnya bisa berlari. Pertandingan di Incheon baginya adalah kejuaraan tersusah. Untuk pertama kalinya, ia turun di level Asia. Parahnya lagi, saat itu sedang musim dingin.

Namun, tantangan cuaca dapat juga ditaklukkan Ratri. Turun di tiga kategori tunggal putri, ganda putri, ganda campuran – ia berhasil menyumbangkan satu emas melalui nomor ganda campuran. Ia juga menggondo satu perak dan satu perunggu. “Tidak pernah terbayangkan sebelumnya saya bisa mewakili Indonesia dan meraih emas,” ungkapnya.

Dari Asian Para Games 2014 itu, ia mulai sering tampil di pertandingan level internasional. Selama ini, ia selalu tampil dalam tiga nomor, tunggal putri, ganda putri dan ganda campuran.

Persiapan Ekstra
Bagi Ratri, kesedihan yang dialami pasca kecelekaan membuatnya selalu berusaha keras agar pulang membawa hasil. Dalam perhelatan Asian Para Games 2018 lalu, Ratri memang menargetkan tiga emas. Sebagai atlet negara tuan rumah, ia ingin mengharumkan nama bangsa di tanah sendiri. Apalagi di ajang ini, untuk pertama kalinya kedua orangtuanya menyaksikan saat ia bertanding. Alhasil, ia melakukan persiapan ekstra dan berlatih lebih dahulu dari atlet lainnya. “Saya tidak mau sia-sia, saya harus membuat orang tua saya bangga.”

Untuk menjadi juara, usaha Ratri tidaklah ringan. Karena tidak bisa latihan lari di stadion ia menggantinya dengan treadmill. Dengan latihan ini, tumpuan kakinya pun semakin kuat. Ia juga selalu memenuhi program latihan yang diberikan pelatih.

Ratri sadar, saat berlaga di Istora Senayan, ada ayah yang sedih melihatnya susah berjalan dan ibu yang tidak tega melihatnya berlari. Saat ia terjatuh dalam pertandingan final itu, orang tuanya sempat meneteskan air mata, namun baginya jatuh adalah hal biasa. Selama pertandingan berlangsung, rasa nyeri yang kerap ia rasakan di tubuhnya seakan hilang. “Kalau sakit pasti saya akan berhenti. Selagi saya bisa melakukannya berarti saya tidak sakit. Saya merasa kuat karena saya berlatih.”

Meski sudah mendapat dua emas pada Asian Para Games 2018, Ratri sebenarnya sangat ingin menjuarai nomor tunggal. Sayang usahanya kandas di tangan Pebulutangkis Tiongkok Cheng Hefang. “Padahal saya ingin sekali menjadi juara untuk single putri. Karena ini bermain di rumah sendiri dan saya pernah kalah dari Hefang di kejuaraan dunia, akhir 2017 lalu,” akunya.

Meski awalnya cukup berat menerima kekalahan ini, namun kemudian ia memaknai ini sebagai penyemangatnya untuk pertandingan selanjutnya. “Dalam hati kecil saya, ada perasaan takut bila kalah. Saya tidak ingin membuat mereka kecewa,” ungkap umat Stasi St Cicilia Siabu, Paroki St Paulus Pekan baru Labuh baru ini.

Leani Ratri Oktila

Lahir : Siabu, 6 Mei 1991

Peringkat Badminton World Federation:
– Peringkat I Men and Women SL3-SU5 Mixed
– Peringkat I Women SL4 Single

Hermina Wulohering

HIDUP NO.43 2018, 28 Oktober 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini