Sr Trisnawati Sumampouw OSU : Sukacita dalam Kesetiaan

562
Penuh Syukur: Sr Trisnawati saat merayakan pesta intan hidup membiara.
[NN/Dok.OSU]

HIDUPKATOLIK.com – Usia senja tak menghalanginya untuk terus melayani. Ia memutar haluan dari mimpi menjadi dokter ke arah panggilan selibat demi totalitas pengabdian pada sesama. Alasannya pun polos, ia ingin masuk surga.

Sayup-sayup terdengar lantunan lagu berbahasa Inggris dari Kapel St Angela Bandung, Jawa Barat. “I will never forget you my people. I have carved you on the palm of My hand. I will never forget you. I will not leave you orphaned. I will never forget my own…”, demikianlah penggalan lirik lagu berjudul I Will Never Forget You My People.

Lagu itu dikidungkan Sr Trisnawati Sumampouw OSU sebagai penutup sambutannya dalam Pesta Intan hidup membiara yang telah ia lakoni pada 27 Januari 2014. Seolah biarawati Ursulin ini ingin mengundang umat yang hadir untuk mengamini bahwa tiap pribadi sungguh berharga di mata Sang Khalik dan takkan pernah ditinggalkan-Nya.

Kisah kesetiaannya dimulai pada 27 Januari 1954. Bersama dua rekannya, Sr Trisnawati mengikrarkan kaul pertama mengikuti jejak St Angela Merici. Hatinya seolah berlumur sukacita. Kini, 60 tahun kemudian, kebahagiaan itu pun kembali melingkupi hatinya. Didampingi Pimpinan Komunitas, Sr Irena Handayani OSU, ia memperbarui ikrar setianya sebagai Ursulin, yang dibalut dalam Ekaristi. Misa Konselebrasi lima imam itu dipimpin RP Christophorus Harimanto Suryanugraha OSC.

Sukacita Sr Trisnawati kian berlipat tatkala menyaksikan anak-anak TK-B St Angela Bandung mempersembahkan tari balet usai Misa. Pun demikian saat mendengar anak-anak SD St Angela berdendang ria dengan lantunan lagu, sukacitanya tak terbendung lagi.

Pindah Haluan
Sr Trisnawati terlahir dari keluarga bukan Katolik. “Saya dibaptis saat zaman Jepang,” ungkapnya. Sebagai anak sulung dari empat bersaudara, ia pun dijadikan panutan bagi adik-adiknya serta tumpuan harapan keluarga.

Lulus SMA di Manado, Sulawesi Utara pada 1942-an, Trisnawati hijrah ke Jakarta. Ia ingin melanjutkan studi dan merenda mimpi menjadi seorang dokter. Kelahiran Manado, 5 Agustus 1924 ini pun mendaftarkan diri ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta dan diterima. Kuliah kedokteran ternyata tak semudah yang dibayangkannya, apalagi rasa takut yang mendekapnya jika harus melihat jenazah.

Memasuki semester tiga, bimbang perlahan merayapi relung hatinya. Ia bingung untuk menentukan pilihan. Rasa takutnya menghadapi jenazah bermuara pada keraguan: lanjutkan studi kedokteran atau tidak.

Di sisi lain, benih-benih panggilan hidup menjadi biarawati mulai tumbuh di ladang hatinya. Saat itu Trisnawati tinggal di asrama St Ursula, Jalan Pos, Jakarta yang dikelola para Suster Ursulin. Di tengah badai kegamangan yang menghempas, ia memberanikan diri untuk menumpahkan kebimbangan dan kesulitannya pada Suster Kepala Asrama. Ia berharap, suster pendamping ini bisa merumuskan formula sebagai solusi atas keruwetan pikiran yang menderanya.

Alih-alih menganjurkan sesuatu, sang suster justru menerjangnya dengan satu pertanyaan. “Apakah kamu serius?” ujar Sekretaris Eksekutif Koptari (1989) ini menirukan pertanyaan Suster Kepala Asrama. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Trisnawati. Ia bergeming, kian terombang- ambing dan larut dalam bimbang hatinya. Meski tak mendapat satu saran pun dari Suster Kepala Asrama, Trisnawati tetap harus menentukan pilihan dan mengambil langkah. Ia tak ingin terus berkubang dalam kebimbangan.

Kemudian Trisnawati pulang ke Manado untuk bertemu dengan keluarganya. “Sesampainya di rumah, saya tidak mengatakan tentang keinginan saya menjadi suster. Lalu saya kembali ke Jakarta. Dalam perjalanan dengan menumpang pesawat, saya menulis sepucuk surat untuk orangtua,” kisahnya. Surat itu berisi ungkapan hatinya, ingin berhenti kuliah dan menjadi suster.

Kala menerima dan membaca surat itu, orangtuanya terkejut mengetahui keinginan Trisnawati. Akan tetapi mereka mendukung ungkapan isi hati putri sulungnya itu. Trisnawati pun memutar haluan. Ia tak lagi menggenggam mimpi menjadi seorang dokter, melainkan melayani dan berkarya sebagai biarawati. Saat ditanya mengapa ingin menjadi biarawati, Kepala Sekolah Guru Taman Kanak-kanak (SGTK) Yuwati Bhakti Sukabumi, Jawa Barat (1960-1963) ini menjawab sambil tersenyum, “Ya, saya ingin masuk surga saja.”

Tekadnya bulat, pilihan dijatuhkan. Trisnawati bergabung dengan Ordo St Ursula (OSU). Ia merelakan diri agar hidupnya dipakai menjadi alat-Nya, meski tak luput dari kerapuhannya. Semangat sang pendiri St Angela Merici dan kecintaannya pada anak-anak menjadi bekal dan kekuatan dalam tiap langkah pelayanannya. Dengan sukacita ia menjalankan setiap tugas kerasulan yang dipercayakan padanya.

Sederet pelayanan dalam bidang pendidikan pernah diletakkan dibahunya dan ia pikul dengan kemerdekaan hati. Tanggung jawab sebagai insan pendidik dan pelayanan manajerial sekolah hilir mudik dalam sejarah kerasulannya, antara lain: Kepala SMA Theresia Jakarta (1963-1966), Kepala SPG St Bernardus Madiun, Jawa Timur (1967- 1970), Kepala SPG St Maria Jakarta (1971-1973), Kepala SMA Cor Jesu Malang, Jawa Timur (1973-1978), Kepala SMA St Angela Bandung (1979-1982), dll.

Berbagi Kasih
Tahun 2002, Sr Trisnawati membuka lembaran masa pensiun. Masa ini tak berarti ia berhenti melayani dan berbagi kasih. Ia memilih untuk tetap berkarya sebagai Guidance & Conseling orangtua murid Sekolah St Angela Bandung. Ia dikenal sebagai suster yang gemar membagikan barang dan makanan pada orang lain.

Kini memasuki usia 90 tahun, Sr Trisnawati tetap setia mengikuti Ekaristi harian. Ia pun tak absen dari kegiatan komunitas. Menonton berita di televisi menjadi salah satu kegemarannya. “Berita-berita di televisi membuat saya mengetahui situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Dan itulah bahan doa yang up to date,” ungkap suster yang sudah memakai alat bantu dengar dalam mengarungi hari-harinya.

Semangat melayani dan berbagi kasih masih terus memancar dalam dirinya hingga usia senja. Usai sarapan Sr Trisnawati punya kebiasaan menemui anak-anak dari bangku TK hingga SMA St Angela Bandung. Pun demikian dengan para orangtua mereka.

Biasanya anak-anak akan menggandeng tangan Sr Trisnawati dan menuntunnya menuju pintu gerbang. Di sana ia menyapa siswa- siswi yang lain dan berbincang- bincang dengan orangtua mereka. Sesekali ia memberi nasihat dengan penuh kasih keibuan.

“Biarlah orang berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi,” katanya. Ungkapan ini menjadi motto hidup yang ia hayati di setiap karyanya. “Berpikirlah positif! Biarlah orang berkembang sesuai dengan yang Tuhan beri,” lanjutnya. Dari motto hidup itu, Sr Trisnawati ingin mengajak semua orang agar masuk dalam refleksi panggilan untuk lebih mengutamakan orang lain daripada diri sendiri.

Kutipan ayat Kitab Suci “Engkau Berharga di Mata-Ku” (Yes 43:4), merupakan Roh yang menjadi sandarannya dalam tiap pernik karya pelayanan yang ia libati. “Saya merasa Tuhan menghargai diri saya apa adanya. Oleh karena itu, saya juga ingin perlakukan orang lain demikian,” tandasnya. Melalui cara hidupnya, Sr Trisnawati memberi kesaksian dan mengajak semua orang untuk lebih menghargai dan menghormati sesamanya.

Sr Marta OSU

HIDUP NO.08 2014, 23 Februari 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini