Mgr Julianus Sunarka SJ : Pesan Uskup Blankon untuk Si Unyil

769
Mgr Julianus Sunarka SJ.
[HIDUP/Felicia Permata Hanggu]

HIDUPKATOLIK.com – Gereja Puwokerto perlu menyadari diri dalam kebersamaannya dengan umat lain terpanggil untuk mewujudkan harmoni.

Seperti seorang ayah membekali anaknya dengan pengalaman kehidupan yang telah diarungi. Demikianlah Mgr Julianus Sunarka SJ menghantarkan Mgr Christophorus Tri Harsono ke depan gerbang pintu pengembalaan Keuskupan Purwokerto melalui kisah pengalamannya selama 20 tahun menjadi gembala utama. Berikut petikan wawancara dengan Mgr Sunarka:

Bagaimana Bapak Uskup melihat peristiwa penunjukkan Mgr Tri menjadi uskup Purwokerto?

Penujukkan Mgr Tri sebagai Uskup Purwokerto merupakan peristiwa sukacita. Terhitung semenjak saya mengirimkan surat pengunduran diri pada 15 November 2016 kemudian berdasarkan pengumuman resmi yang diumumkan berdasarkan surat Vikaris Jenderal tertanggal 29 Desember 2016. Bapa Suci mengabulkan dan mengapresiasi pelayanan dan pengembalaan saya. Sejak itu Takhta Uskup Purwokerto kosong hampir selama dua tahun.

Mgr Tri adalah pemula sejarah Keuskupan Purwokerto sebab beliau merupakan imam diosesan pertama yang menjadi seorang uskup di Purwokerto. Ketika bertatap muka dengan beliau, saya baru mengetahui ternyata Mgr Tri ini berorangtua semuanya asli dari Keuskupan Agung Semarang: sang ayah, Almarhum Bapa Pitoyo merupakan anggota Paskhas TNI-AU berasal dari Paroki Kotabaru Yogyakarta dan Ibu Pitoyo berasal dari Salatiga–termasuk Karesidenan Semarang.

Selama empat tahun bertugas sebagai Vikaris Jenderal Keuskupan Bogor, Romo Tri selalu mengikuti rapat tahunan para uskup beserta staf kuria keuskupan Regio Jawa (Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Purwokerto, Surabaya, dan Malang). Dalam rapat seperti ini setiap Keuskupan menyampaikan laporan pelaksanaan visi, misi, strategi pastoral “program kerja” masing-masing keuskupan.

Selama Romo Tri mengikuti rapat seperti itu beliau tentu sudah mendengar tentang kiprah visi, misi, strategi pastoral Keuskupan Purwokerto. Dengan demikian bagi Mgr Tri, Keuskupan Purwokerto sebetulnya bukan merupakan daerah yang sama sekali asing. Hanya sekarang ini diperlukan suatu taraf pengetahuan yang lebih mendekat dan mendalam, dengan menerjuni situasi nyata setempat. Kiprah pendalaman ini pun sudah ditangani sebelum beliau ditahbiskan sebagai Uskup Keuskupan Purwokerto pada 16 Oktober 2018 nanti.

Saya pribadi menghaturkan profisiat dan mendoakan Monsinyur, agar paduka: selalu menghayati sugeng “waras waris wiris serta tata tentrem kartaraharja” dalam tugas perutusan menggembalakan umat Keuskupan Purwokerto dalam berkat kasih Tuhan Yang Maha Penggasih dan Penyayang : Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus.

Apa prioritas pastoral bagi Mgr Tri yang harus menjadi perhatian utama?

Jika melihat arah haluan dan rencana strategis Keuskupan Purwokerto periode 2012-2016, Keuskupan Purwokerto adalah persekutuan umat beriman Katolik, yang dalam kesatuannya dengan Gereja Katolik sedunia, khususnya Indonesia. Dalam kerjasama dengan umat setempat yang berkeyakinan lain Keuskupan Purwokerto terpanggil memelopori berdirinya Kerajaan Allah dengan memperjuangkan dan menghayati nilai-nilai luhur kemanusiaan. Oleh karena itu, seorang Gembala Purwokerto harus memperhatikan aspek penggembalaan iman imam dan umat dan sebagai bagian dari Gereja Indonesia, umat Katolik Keuskupan Purwokerto didorong ikut terlibat dalam kiprah hidup menggereja di Indonesia untuk berdialog dengan keragaman budaya, agama dan situasi kemiskinan (SAGKI 2010). Gereja harus mendorong umat berkerjasama dengan umat berkeyakinan lain.

Seperti apa langkah pastoral yang dapat dikembangkan?

Ada enam kerangka gerak misi dalam usaha mewujudkan visi Gereja Kerajaan Allah, yakni: memperkuat iman umat Katolik, mengembangkan Komunitas Basis Gerejawi di kota dan desa, menyelenggarakan pendidikan kaum muda yang manusiawi dan Kristiani, memperhatikan dan memberdayakan kelompok miskin serta tersingkir, melakukan dialog antar umat beriman, serta mengembangkan Komunitas Basis Kemanusiaan. Guna mewujudkan iman yang berakar, hidup, dan dewasa, Gereja Purwokerto harus memiliki gerak keluar umat Katolik bersama dengan jemaat lain melalui kinerja menjalin hubungan Gereja dengan jemaat lain. Sedangkan pembinaan ke dalam berjalan dengan geraknya umat sendiri, yang menyangkut hubungan non-fungsional, katekis, prodiakon, pastor, uskup.

Pastoral pedesaan masih relevankah untuk zaman sekarang?

Masih sangat relevan khususnya bagi umat Keuskupan Purwokerto. Ide pastoral ini muncul dari latar belakang Keuskupan Purwokerto yang sebagian besar wilayahnya merupakan pedesaan. Pastoral pedesaan memiliki dimensi misioner di mana Gereja memperhatikan konteks di mana Gereja berada.

Pastoral pedesaan yang dilakukan keuskupan Purwokerto dibawa sesuai dengan amanat sidang Federasi Konferensi Para Uskup se-Asia (FABC) yang diselenggarakan pada tahun 1992-1995. Gereja Asia di dorong untuk berorientasi pada dialog yang berkaitan dengan ragam agama, kebudayaan, dan masalah kemiskinan. Saya suka bilang ayo “blusukan” berkelana masuk sana masuk sini untuk sekadar mengenal suatu tempat secara alami atau kultural.

Pastoral pedesaan itu adalah langkah nyata seorang imam dalam menggembalakan umat dengan masuk desa sana masuk desa sini untuk mengenal alam dan masyarakatnya sebagai suatu proses pengudusan, pelayanan, dan bina paguyuban. Dengan laku “blusukan” ini, gembala dapat merasakan keadaan sebenar-benarnya dari domba-dombanya. Semboyan saya “blusukan” itu 3G (Guyub, Gumregah, dan Gemrayah).

Bagaimana seharusnya uskup baru melihat mendampingi umat dalam usaha mengembangkan iman Katolik agar selaras dengan nilai-nilai budaya Jawa?

Sudah sepuluhan tahun akhir-akhir ini secara rutin tahunan ada acara temu umat yang mempunyai keprihatinan terhadap langkah inkulturasi iman Katolik ke dalam budaya kejawen. Dalam jumpa umat Katolik yang merasuki budaya kejawen, pendamping rohani sepantasnya mengajak umat untuk mengenal sedalam-dalamnya budaya lahir dan budaya batin kejawen yang de facto ada.

Dari pengenalan yang sungguh dalam, orang diajak melihat kebudayaan kejawen dalam wawasan terang wahyu-iman Katolik: pewahyuan dalam Kitab Suci, butir-butir iman Katolik, kejemaatan, sakramen dan simbol, tata nilai (moral), hidup mistik, dan hidup doa. Dengan demikian mau dicapai sikap mempertahankan dan mengembangkan budaya kejawen dalam perspektif iman Katolik, sehingga orang menghayati iman Kekatolikannya secara mengakar dan tumbuh berkembang selaras dengan dinamika olah budayanya sendiri secara sehat.

Dengan dilaksanakannya pendampingan pastoral secara profesional kepada umat Katolik yang berminat pada budaya kejawen, mereka yang merasakan kekeringan dan kehausan dalam imannya. Mereka ingin mendapat aliran air sejuk untuk hidup dengan gambira. Kalau proses ini berjalan baik, rasanya tidak mendesak adanya surat gembala tentang laku inkulturasi iman yang menyangkut budaya kejawen. Yang lebih penting adalah katekese umat mengenai hal itu.

Apa harapan untuk Gereja di Purwokerto?

Gereja yang terus berdialog dengan keberagaman karena melalui dialog gereja terus mengkomunikasikan Kerajaan Allah kepada semua orang. Untuk itu, Gereja Purwokerto harus terus mempertahankan nilai-nilai luhur kemanusiaan, di mana Allah menghendaki manusia hidup dalam persaudaraan sejati. Gereja Purwokerto harus terus menyadari diri dalam kebersamaannya dengan umat lain terpanggil untuk mewujudkan harmoni.

Felicia Permata Hanggu

HIDUP NO.40 2018, 7 Oktober 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini