Kitab Apokrip

2730

HIDUPKATOLIK.com – Gereja Katolik memiliki kekayaan dan khazanah Kitab Suci yang diakui otoritas Gereja. Akan tetapi tidak bisa dielakkan dalam sejarah Gereja terdapat Kitab yang tidak diakui (apokrip)? Bagaimana itu bisa terjadi?

Andy, Jakarta

Pertama, perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan istilah apokrip, karena kata yang sama merujuk dan mempunyai arti yang berbeda dalam Gereja Katolik dan dalam Gereja Protestan. Kata apokrip (artinya: tersembunyi, rahasia) digunakan oleh Gereja Katolik untuk merujuk kepada buku-buku yang tidak termasuk dalam kanon resmi Gereja Katolik. Misalnya Injil Thomas, Kisah Pilatus, Wasiat Musa, Wasiat Yeremia, dll. Gereja Katolik menilai bahwa buku-buku itu tidak diilhami oleh Allah, dan karena itu ditolak untuk dimasukkan ke dalam daftar Kitab Suci. Kebanyakan buku-buku itu berasal dari abad II dan dipengarahui oleh aliran Gnostisisme. Gereja Protestan merujuk kepada buku-buku ini sebagai pseudepigrapa (artinya tiruan, palsu).

Kedua, Gereja Protestan menggunakan kata apokrip (tersembunyi) untuk merujuk buku-buku Deuterokanonika atau Kanon kedua. Sejak munculnya gerakan Reformasi pada abad XVI, Gereja-gereja Protestan menolak mengakui 7 buku yang termasuk dalam Deuterokanonika itu. Martin Luther mempersoalkan tambahan-tambahan yang terdapat dalam Septuaginta (Kitab Suci Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani). Hanya kitab-kitab yang tertulis dalam bahasa Ibrani diakui Luther sebagai Kitab Suci. Semua tambahan, yang nota bene tertulis dalam bahasa Yunani, ditolak! Oleh Gereja Protestan, Kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Ibrani dimasukkan ke dalam Kanon pertama (proto-kanonika), sedangkan kitab-kitab tambahan yang ditulis dalam bahasa Yunani, dimasukkan ke dalam kanon kedua (deutero-kanonika). Ungkapan pertama dan kedua di sini haruslah dimengerti sebagai urutan semata, bukan soal kelas, kualitas atau kebenaran. Ada 7 kitab yaitu Yudith, Tobit, 1 dan 2 Makabae, Kitab Kebijaksanaan, Putera Sirakh, Barukh + surat Yeremia dan tambahan kitab Ester dan Daniel.

Ketiga, keberadaan kitab-kitab Deuterokanonika bukanlah sesuatu yang terpaksa diterima oleh Gereja Katolik, seolah sesuatu yang tidak bisa dielakkan muncul di tengah jalan. Kesannya, seolah kitab-kitab Deuterokanonika itu adalah tambahan kemudian. Ini tidak benar. Yang benar ialah bahwa sudah sejak Gereja perdana, kitab-kitab itu sudah digunakan, yaitu Kitab Suci yang dikenal dengan nama Septuaginta. Gereja Katolik mengikuti dan meneruskan apa yang sudah adas dalam Tradisi tersebut. Dan selama 16 abad, Gereja terus-menerus menggunakan kitab-kitab itu sebagai bagian integral dari Kitab Suci. Baru pada abad XVI, kehadiran kitab-kitab itu dipersoalkan dan akhirnya ditolak. Jadi, kehadiran kitab-kitab itu bukanlah sesuatu yang tidak bisa dielakkan, seperti diungkapkan dalam pertanyaan. Pertanyaannya justru adalah sesudah 1600 tahun digunakan, mengapa kitab-kitab itu dipersoalkan. Mengapa pengalaman penggunaannya oleh Gereja selama 1600 tahun tidak membuka hati dan pikiran untuk mengakui kebenaran akan Sabda Allah di dalam kitab-kitab itu?

Keempat, baik jika diketahui juga bahwa semua terjemahan Kitab Suci bahasa Inggris, termasuk King James Version, memuat juga kitab-kitab Deuterokanonika (Gereja Protestan: apokrip), dalam bagian terpisah di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Sampai terbitan tahun 1611, King James Version selalu mengikutsertakannya. Baru pada tahun 1644, karena pengaruh golongan Puritan, King James Version tidak lagi menerbitkan kitab-kitab itu. Dalam perkembangan akhir-akhir ini, beberapa kalangan Protestan juga memakai kitab-kitab Deuterokanonika. Menarik juga diketahui bahwa kitab-kitab Deuterokanonika itu juga dirujuk oleh Gereja Perdana dan juga banyak Gereja. Kitab-kitab itu sudah ikutserta mewarnai penghayatan iman Gereja selama 1600 tahun.

Petrus Maria Handoko CM

HIDUP NO.39 2018, 30 September 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini