Berharap Pemilu 2014

54

HIDUPKATOLIK.com – Di tengah semarak poster, spanduk, dan baliho yang mengotori pemandangan umum di jalanan, sepertinya pemilihan umum (Pemilu) yang akan berlangsung sebulan lagi tak begitu meriah dibanding dengan tiga Pemilu sebelumnya. Masyarakat menghadapi Pemilu 2014 tanpa gairah.

Apatisme ini tampak sejalan bila kita melihat tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu di berbagai daerah yang rata-rata hanya berkisar 60 persen. Bahkan di beberapa daerah ada yang hanya diikuti 55 persen dari warga yang memiliki hak suara.

Apakah ini lambang kebangkrutan Pemilu? Atau tanda ketidakpercayaan masyarakat kepada sistem pemerintahan yang telah digerogoti praktik korupsi yang parah? Di Indonesia, ada yang mengatakan Trias Politica telah menjelma menjadi Trias Corruptica, di mana lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif digerogoti praktik korupsi. Demokrasi telah menjelma sebagai sebuah transaksional semata, yang diidiomkan sebagai “wani piro?”

Pemilu 2014 adalah sebuah momen penting bagi bangsa ini. Pada Pemilu bisa dipastikan akan muncul sosok pemimpin baru. Hal ini mengingat Presiden SBY tak akan ikut lagi dalam pencalonan presiden.

Ada beberapa isu penting yang perlu dicatat dalam Pemilu 2014. Antara lain persoalan ekonomi, sosial, hak asasi manusia, dan demokrasi di tengah berbagai bencana yang sedang melanda negeri ini. Dalam pesta demokrasi 2014 juga berkembang fenomena “moghul-isme” media yang masuk ke partai dan ikut memperebutkan kekuasaan. Namun isu yang paling penting adalah fenomena “roving bandits”, di mana Pemilu membuka kesempatan kemunculan wajah baru dan lama yang merupakan kombinasi dari kekuatan politikus busuk, pengusaha hitam, dan preman.

Pemilu mendatang mungkin menarik bagi para pengamat politik, periset dan media massa. Ada kemungkinan akan muncul wajah baru yang sangat piawai membuat komentar politik “ini” dan “itu” serta membuat ramalan ke depan. Mungkin orang memang tertarik dan membicarakan hasil survei terhadap figur-figur calon presiden dan wakilnya, tapi tak lama. Orang lebih tertarik dan sibuk membicarakan tentang kehebatan bencana alam seperti letusan Gunung Kelud, daripada membicarakan konvensi calon presiden dari partai tertentu.

Pertanyaan yang muncul, apakah melalui Pemilu kita bisa mengharap ada konsolidasi demokrasi? Ataukah akan muncul kabinet pelangi yang menjadi alasan permisif terhadap keburukan kinerja pemerintah mendatang?

Bukan tak mungkin, di tengah ketidakmenarikan suasana Pemilu 2014 orang akan menjadi apatis dan tak memiliki harapan kepada pemimpin yang bakal terpilih menjadi presiden. Media akan marak memberitakan kampanye presiden, namun pada hari pencoblosan orang akan dihadapkan pada suasana hati yang kosong, bersikap tidak peduli. Dan lebih suka berkata, “terserah”.

Jangan-jangan sejarah memang harus berulang seperti lingkaran. Pertikaian dan manajemen buruk partai, kekerdilan para politisi dan agenda demokrasi yang tidak berjalan, akan mengulang kebangkrutan partai. Partai yang kuat dalam konsep dan program tak akan pernah menang, sebab rakyat masih terpesona pada bayangan romantisme masa lalu tentang kebesaran para tokoh yang dijadikan banch mark sejumlah partai.

Partai yang nanti berkuasa akan sibuk dengan program pengamanan dan kekuasaan, antara lain dengan bekerja sama dan mengandalkan kekuatan militer. Partai lama yang telah memiliki pengalaman, jaringan, menguasai dana dan birokrasi, akan tetap muncul sebagai bayang-bayang pemenang Pemilu 2014.

Betapa mengkhawatirkan Indonesia. Bukan tak mungkin multi krisis yang berkepanjangan dan membuat rakyat frustasi dan apatis ini akan membuat orang tak percaya lagi pada proses demokrasi. Rakyat akan mengalihkan dukungan kepada figur kuat yang bisa menjamin ketentraman, keamanan, dan mencukupi kebutuhan. Sikap seperti ini, hanya akan melapangkan jalan bagi kemunculan penguasa baru dengan watak lama, yaitu seorang diktator populis.

Stanley Adi Prasetyo

HIDUP NO.10 2014, 9 Maret 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini