St Romaric : Bangsawan Jadi Pertapa

384

HIDUPKATOLIK.com – Sebagai bangsawan, ia melakoni masa mudanya dalam kegetiran hingga berhasil memulihkan martabat darah birunya. Tak lama berada di puncak kesuksesan, ia memilih menjadi pertapa hingga akhir hayatnya.

Seorang Abbas yang sudah uzur memilih melakukan perjalanan turun gunung dari Biara Remiremont, Vosges menuju Metz, ibukota Austrasia. Austrasia ialah nama salah satu wilayah dalam yurisdiksi Kekaisaran Merovingia (kini: Eropa Barat), yang terletak di Timur Laut, sekitar awal abad IV hingga pertengahan abad III. Sekarang wilayah itu meliputi sebagian Perancis, Jerman, Belgia, Luxembourg dan Belanda. Ia bersusah payah untuk menemui penguasa Austrasia, yakni Raja Grimoald I, putra salah seorang sahabat pada masa mudanya, Peppin de Landen.

Sang Abbas ini mengemban misi perdamaian ke Metz. Ia mendengar kabar bahwa keluarga bangsawan Landen itu ingin menggulingkan Takhta Merovingia yang dikuasai oleh Kaisar Dagobert I. Dengan tegas, Abbas itu memperingatkan Grimoald I atas rencana jahatnya pada Kaisar Dagobert I.

Tak disangka, pangeran keturunan bangsawan Landen itu pun tunduk pada perintah Sang Abbas. Ia menerima dan menjamu sahabat mendiang ayahnya itu dengan sangat baik, serta mendengarkan nasihat-nasihatnya. Ia memperlakukan Sang Abbas seperti layaknya seorang bangsawan agung yang sedang bertandang. Selain itu, Grimoald I menunjukkan rasa hormatnya pada Sang Abbas dengan mengantarkannya kembali ke Biara Remiremont.

Selang tiga hari setibanya di biara, Sang Abbas menghembuskan nafas terakhirnya. Banyak orang mengira, ia kelelahan saat menempuh perjalanan ke Metz dalam usia yang sudah lanjut sehingga berakibat pada kematiannya. Peristiwa ini terjadi pada 653.

Sepenggal cerita itu merupakan salah satu kisah heroik St Romaric, yang diperingati Gereja tiap 8 Desember. Ia mengabdikan diri sebagai Abbas Biara Remiremont selama 30 tahun.

Perjuangan Darah Biru
Romaric sebenarnya berdarah bangsawan Franks yang tinggal di Austrasia. Informasi tentang kehidupan masa kecilnya tidak banyak diketahui. Ia lahir pada paruh kedua abad VI di Austrasia. Namun, putra bangsawan Franks ini tak lama menikmati privilese dan kemewahan hidup dalam jajaran kaum darah biru.

Konon ayahnya sempat berseteru dengan Ratu Brunehilda, yakni permaisuri Raja Austrasia, Sigebert I. Akibatnya, keluarga Romaric ditumpas. Ayahnya wafat di tangan Sang Ratu dan tanah serta seluruh harta kekayaannya dirampas. Romaric pun dibiarkan tetap hidup terlunta-lunta. Ia menjalani hidup seperti layaknya ‘gembel’: tak punya tempat tinggal dan harus mencucurkan keringat untuk bisa makan.

Berkat perjuangan keras, Romaric akhirnya berhasil menjadi orang sukses. Setelah mengalami lima kali pergantian penguasa Austrasia, ia pun dapat mengembalikan status kebangsawanannya pada awal abad VII, masa pemerintahan Raja Clotaire II. Raja Austrasia ini menjadikannya sebagai salah satu punggawa kerajaan. Ia diberi kekuasaan sebagai bangsawan lantaran mampu menarik hati Sang Raja. Bahkan, sebagai salah satu orang kepercayaan raja, namanya cukup disegani di kalangan para bangsawan.

Romaric dianugerahi sebuah istana megah di Habendum, Vosges (kini: Vosges, Lorraine, Prancis). Di sana, ia memiliki banyak pelayan dan hidup bergelimang harta. Loyalitas dan dedikasi pada Kerajaan Austrasia menempatkannya sebagai salah satu orang penting di kalangan para punggawa raja. Kegetiran hidup pada masa kecilnya seolah terobati, dan martabat kebangsawanannya dipulihkan.

Pertobatan Radikal
Pada suatu ketika, Romaric sempat bertemu dengan Amatus, pertapa dari Biara Agaunum, Burgundy (kini: Saint-Mauriceen Valais, Swiss). Amatus saat itu sudah menetap di Biara Luxeuil, Burgundy (kini: Haute-Saône, Franche-Comté, Perancis). Kala itu, ia singgah di Kastil Habendum dan bertemu Romaric. Pertemuan singkat itu berbuah pada pertobatan sejati Romaric. Ia bertekad meninggalkan hidup keduniawian dan membaktikan diri bagi Tuhan dengan mengikuti jalan hidup Amatus, yang kemudian hari juga dinyatakan suci dan dianugerahi gelar Santo.

Romaric kemudian memutuskan untuk hidup sebagai rahib dan bergabung bersama Amatus di Biara Luxeuil. Biara yang berlindung pada St Petrus ini didirikan tahun 585 oleh seorang misionaris Irlandia, St Kolumbanus. Lantaran masuk biara, ia menjual seluruh harta kekayaannya, lalu hasilnya dibagikan pada orang miskin dan disumbangkan bagi Gereja. Satu-satunya yang ia sisakan adalah Kastil Habendum. Dengan besar hati, para pelayannya pun ia bebaskan sebagai orang merdeka.

Di Biara Luxeuil, Romaric menerima tahbisan tonsura: upacara penerimaan seseorang masuk dalam golongan rohaniwan dengan pemotongan rambut yang berbentuk lingkaran di atas kepala. Konon, saat itu sebagian pelayannya yang telah ia bebaskan datang dan menyerahkan diri pada Abbas Luxeuil. Mereka bergabung untuk menjadi rahib bersama dengan Romaric, mantan majikan mereka.

Penghayatan kesalehan dan keutamaan kristiani lainnya ia praktikkan sepenuh hati. Di samping olah rohani dalam doa yang tak kunjung putus, Romaric juga menghayati hidup saleh dalam puasa dan matiraga dengan begitu keras. Persahabatannya dengan Amatus pun terasa semakin erat dan menuai berlimpah buah keteladanan bagi banyak rahib yang lain. Amatus berperan sebagai guru sekaligus sahabat bagi Romaric.

Bukit Romaric
Tahun 620, Romaric dan Amatus bergandeng tangan untuk mendirikan dua biara secara terpisah, yakni bagi pertama laki-laki (rahib) dan perempuan (rubiah). Biara ini diberi nama Remiremont, dengan menyulap bekas Kastil Habendum dan memanfaatkan tanah milik Romaric yang masih tersisa. Nama “Remiremont” sebenarnya berasal dari nama dalam Bahasa Latin: “Romarici Mons” –yang berarti “Bukit Romaric”. Amatus menjadi Abbas pertama biara ini. Ide pendirian biara ini dipengaruhi oleh warisan tradisi St Kolumbanus. Selain itu, usaha Romaric dan Amatus juga telah mendapat persetujuan dari St Eustasius –Abbas Biara Luxeuil dan murid St Kolumbanus yang mengajak Amatus pindah dari Agaunum ke Luxeuil.

Selang tiga tahun kemudian, Romaric dipercaya oleh Amatus untuk menggantikan tampuk kepemimpinan Biara Remiremont. Sebagai Abbas, Romaric memberlakukan suatu bentuk ibadat laus perennis (Latin: pujian abadi), yakni pujian yang harus didaraskan terus menerus tanpa henti secara bergantian oleh para rahib dalam biara itu. Mereka dibagi menjadi tujuh kelompok yang secara bergiliran memanjatkan doa puji-pujian pada Tuhan. Model berdoa seperti ini telah diperkenalkan oleh Amatus dengan mencontoh tradisi yang dilakukan di Biara Agaunum. Romaric juga mewajibkan agar setiap Ibadat Harian harus dinyanyikan secara bersama-sama. Praktik-praktik kesalehan dan devosi yang diwariskan oleh Amatus ia terapkan secara sangat ketat bagi setiap rahib di biaranya.

Teladan Kesucian
Selain Amatus, sahabat Romaric yang ikut membangun Biara Remiremont ialah St Arnulfus, yang tertarik pada praktik hidup sebagai pertapa. Rahib berdarah bangsawan Franks ini merupakan mantan penasihat Theudebert II, yang kemudian menjadi Uskup Metz dan akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya untuk bergabung bersama Romaric di Biara Remiremont.

Selama 30 tahun masa keabbasannya, Romaric berperan besar sebagai teladan kesucian dalam keluarganya. Ia secara langsung membimbing anak cucunya untuk memeluk hidup religius. Dua putrinya, Azeltruda dan Zeberga, serta dua cucunya, Gebetruda dan Adelphus terpikat oleh kesalehan hidup Romaric, lalu mengikuti
jejaknya.

Dalam perjalanan roda sejarah, kesucian hidup Romaric melegenda. Pasca wafatnya pada 653, banyak orang berdevosi dan berdoa melalui perantaraannya. Akhirnya pada 3 Desember 1049, Paus Leo IX menggelarinya Santo bersama Amatus dan Adelphus. Paus yang juga menjadi salah satu benefaktor besar bagi Biara Remiremont selama masa kepausannya itu pernah menggelar suatu upacara penghormatan besar-besaran pada relikuwi St Romaric pada 1051.

R.B.E. Agung Nugroho

HIDUP NO.11 2014, 16 Maret 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini