Tidak Satu Warna

292
Pendeta Albertus Patty.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Pemerintah perlu bersikap netral mengenai masalah pernikahan beda agama. Sebab nikah beda agama merupakan sebuah kenyataan empiris di tanah air.

Persoalan pernikahan lintas agama memang cukup kontroversial dalam masyarakat Indonesia yang memiliki berbagai macam penduduk dengan agama yang berbagai macam pula. Debat seputar nikah beda agama kembali menjadi pemantik bagi kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Tentu saja, layaknya sebuah pro kontra, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju.

Tergantung Kasus
Prof KH. Amin Suma (Penulis buku “Nikah Beda Agama Menurut Hukum Indonesia”)

“Melihat dari sisi hukum formal, pernikahan beda agama tidak bisa mudah dikatakan haram, dikatakan boleh, dikatakan apa, sangat tergantung kasusnya. Terkait kasus ini, saya mencoba melihat dari perspektif Kompilasi Hukum Islam. Tidak ada hitam-putih mengatakan bahwa syarat sah nikah itu harus sama agama. Lalu kemudian kalau begitu tidak tercantum dalam syarat sah nikah, lalu kesamaan agama ini menjadi kajian apa? Ternyata menjadi kajian kafa’ah. Persesuaian atau kecocokan antara calon. Kafa’ah ada beberapa, ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh. Tetapi, lagi-lagi tidak semua kafa’ah itu disetujui. Yang disepakati hanya kafa’ah fiddin (kesamaan agama). Saya hanya dapat menyimpulkan bahwa, pernikahan beda agama ini tidak serta merta menjadi boleh tetapi tidak serta merta juga menjadi haram. Tidak serta merta menjadi wajib, tidak serta merta menjadi sunnah. Sesuai dengan lima kaidah hukum itu. Bergantung sama kasusnya.”

Menolak karena Sakral
I Nengah Dana (Parisada Hindu Dharma Indonesia/PHDI)

“Pernikahan menurut ajaran Hindu adalah yajna, bentuk kewajiban pengabdian kepada Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Mahakuasa). Pernikahan adalah masa awal memasuki kehidupan rumah tangga sebagai dharma (kewajiban suci) dengan rangkaian upacara pernikahan Hindu yang vivaha samskara (sangat sakral) setelah calon kedua memepelai memenuhi syarat agama Hindu dan negara. Berdasarkan Kitab Suci Hindu (Kutawa Manawa) calon pengantin harus memeluk agama Hindu. Jika belum, maka wajib dilaksanakan upacara sudhi vadani untuk bersaksi kepada Hyang Widhi Wasa sebagai penganut Hindu. Itulah alasan kenapa kami menolak pernikahan beda agama.”

Kebebasan Kebablasan
Rahib Jimmu Gunabhadra (Rohaniwan Buddha dari Shangha Mahayana Indonesia)

“Tradisi dan ajaran Budha Dharma mengajarkan penganutnya untuk menikah dengan pasangan yang sedharma atau sekeyakinan. Nikah beda keyakinan tentu akan menimbulkan masalah. Selain berpeluang menimbulkan kemurtadan, pernikahan yang tidak sesuai agama jika disahkan secara legalitas administratif berarti terjadi legalitas perzinaan. Kebebasan berpendapat dan berperilaku ini telah kebablasan mendobrak nilai dan keyakinan agama yang berlaku. Kebebasan yang lahir dari sekularisme ini justru akan membawa manusia pada kerusakan karena mengajak manusia meninggalkan agama untuk mengatur kehidupannya (walubi.or.id).”

Subjektivitas Negara
Pendeta Albertus Patty (Tokoh agama Protestan)

Gereja Kristen Indonesia melihat pernikahan beda agama sebagai hak asasi setiap orang. Walau demikian di kalangan Protestan sendiri ada penolakan terhadap nikah beda agama ini. HKBP pasti tidak akan setuju bahkan bisa langsung kena disiplin dan diputus jemaatnya. Terlepas dari itu saya berpikir pemerintah perlu memahami lebih luas situasi ini. Sangat disayangkan bila ada subjektivitas negara dalam kasus nikah beda agama. Perlu penegakkan hukum tetapi mempertimbangkan hak asasi manusia.”

Dari Tuhan
Harbrinderjit Singh Dillon (Tokoh HAM dan perwakilan Agama Sikh)

“Negara harusnya tidak menghalang-halangi pernikahan karena perbedaan agama. Kalau Tuhan memberikan jodoh kepada seseorang maka tidak ada yang bisa menghalanginya. Pernikahan itu sifatnya kudus maka negara perlu mengatur lebih leluasa (tentu ada batas) bagi calon yang berbeda agama. Di tataran bangsa, negara tidak boleh menghalangi dan membentuk konstitusi pernikahan dengan orang yang berbeda dari kita (icrp.com).”

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.36 2018, 9 September 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini