Tubuh dan Jiwa

957

HIDUPKATOLIK.com – Kamu tidak memiliki jiwa. Kamulah jiwa itu. Dan kamu memiliki tubuh. Demikian diungkapkan sastrawan C.S. Lewis mengenai supremasi jiwa atas daging. Lewis menggemakan keyakinan pemikir Gereja abad ke-13, St Thomas Aquinas, bahwa jiwa mampu tetap eksis di luar tubuh sesudah tubuh mengalami kematian.

Jauh sebelumnya, St Agustinus sudah mengemukakan bahwa jiwa adalah kehidupan itu sendiri, sehingga mustahil bisa kehilangan hidup. Pandangan tentang tubuh dan jiwa yang juga tersohor adalah dari filsuf René Descartes, “Dubito ergo cogito, cogito ergo sum” (aku ragu maka aku berpikir, aku berpikir maka aku ada), yang menempatkan jiwa sebagai titik sentral, sebab melalui jiwalah keberadaan diri kita dikukuhkan.

Sebaliknya, para pakar evolusi yang skeptis akan ada jiwa di luar tubuh berargumen bahwa jiwa cuma imaji yang diciptakan otak berdasarkan persepsi otak atas tubuh. Jadi, tidak ada jiwa yang mandiri dan bebas terbang ke mana-mana sesudah tubuh mati. Segudang pembuktian diberikan melalui berbagai eksperimen di bidang neurobiologi. Kepercayaan akan ada jiwa sebagaimana kita pahami selama ini pun mendapatkan tantangan serius.

Terjadi benturan antara pemikiran Gereja bahwa kehidupan telah hadir semenjak konsepsi dan pandangan sains: kehidupan baru ada sesudah gen mereplikasi diri dan menghasilkan molekul kehidupan pembentuk tubuh kita. Benturan ini mewujud, misal dalam perdebatan tentang apakah aborsi yang dilakukan pada awal konsepsi adalah tindak pembunuhan atau bukan?

Penolakan kubu kaum beriman terhadap “kebenaran ilmiah” bahwa jiwa hanyalah sebuah konsepsi didasari kekhawatiran akan dampaknya. Jika kehidupan hanyalah wujud dari kerja satu milyar neuron yang saling interaksinya menghasilkan satu trilyun tautan syaraf, maka jiwa kehilangan arti dan nilai.

Mungkin hanya kebetulan saja bahwa proses ketersisihan penghargaan terhadap jiwa ini sejalan dengan semakin menguat gejala yang oleh Paus Yohanes Paulus II disebut budaya kematian, dan kini marak merambah dunia Barat dalam wujud aborsi, bunuh diri, hukuman mati, dan sterilisasi. Budaya kematian mengintervensi proses kehidupan yang dimulai sejak konsepsi hingga tiba kematian alami.

Bagi Paus Yohanes Paulus II, tubuh adalah bukti nyata bagi keberadaan jiwa dan Sang Ilahi; tubuh mengungkapkan misteri kehidupan. Inilah gagasan dasar ajaran aus Yohanes Paulus II yang dijabarkan dalam ajaran “teologi tubuh”. Jadi, sejak tubuh masih berupa sel tunggal hingga membelah diri dan menjadi tak terhitung jumlahnya, ia harus dihormati dan dikuduskan, sebab menjadi tanda dari kehidupan itu sendiri, dan terlebih lagi, tanda dari kehadiran Yang Ilahi.

Seorang ayah yang fanatik pada evolusi pun mungkin masih sulit menerima fakta bahwa anaknya yang mungil, manis, serta menggemaskan hanyalah sekumpulan organ yang dikendalikan penuh oleh segumpal benda di balik tempurung kepala yang disebut otak, atau dengan kata lain, seonggok mesin semata. Maka, tak habis pikir jika orang mampu menyeret tubuh manusia lain dengan motor sambil menghujani dengan bacokan parang, menyiksa tubuh orang lain sambil menyumpal mulutnya dengan koran hingga tewas, atau menyunduti tubuh balita dengan rokok, seperti kita cermati dalam laporan media massa akhir ini.

Budaya kematian ada di mana-mana. Kita hanya dapat melawan selama kita menghargai tubuh, bukan karena ia adalah sebuah mesin super canggih, melainkan karena ia identik dengan hidup itu sendiri. Bagi orang beriman, tubuh adalah ekstensi Tuhan. Richard Dawkins, nabi kaum atheis modern, pun harus mengakui bahwa Tuhan adalah sebuah gagasan anti-evolusi yang ironisnya mampu bertahan dari kepunahan dalam proses evolusi, karena berguna membantu manusia dalam menghadapi ketidakpastian hidupnya. Selama gagasan akan Tuhan masih hidup, selama itu juga tubuh tetap menjadi saksi keberadaan-Nya, dan efek destruktif budaya kematian semoga dapat diredam..

Manneke Budiman

HIDUP NO.14 2014, 6 April 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini