Paulus Krisantono : Kejujuran di Jalan Politik

580
Paulus Krisantono dan istri di Gereja St Mikael Kranji, Bekasi, Jawa Barat.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Sempat ingin dikeluarkan dari DPR, Kris akhirnya dapat bertahan. Berada di posisi menguntungkan dan kedekatan dengan penguasa, tidak membuat ia tergoda materi duniawi.

Rumah di daerah Pondok Indah Jakarta Selatan itu bernilai sekitar 25 miliar. “Istana” itu bisa langsung menjadi milik Paulus Krisantono, dengan catatan, ia bersedia menuruti keinginan salah satu pengusaha bioskop di Jakarta. Duduk sebagai ketua sebuah komisi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), Kris, demikian ia akrab dipanggil, hanya diminta mengganti salah satu pasal dalam Rencana Undang-undang yang ketika itu sedang ia godog.

Di posisi itu, sebenarnya mudah saja bagi Kris untuk menuruti keinginan sang pengusaha. Ketika itu, sang pengusaha meminta Kris untuk mengganti pasal yang mengatur distribusi film-film impor di Indonesia. Sang pengusaha ingin agar distribusi film impor dapat langsung ke bioskop-bioskop di tingkat kecamatan, tanpa melalui rantai distribusi yang panjang.

Namun, Kris melihat infiltrasi budaya barat yang dibawa film-film itu akan mudah masuk ke masyarakat, kalau ia mengikuti keinginan sang pengusaha. Padahal, materi film-film itu banyak yang membawa budaya-budaya negatif, termasuk materi-materi porno grafi dan kekerasan. Kris pun akhirnya tak tergoda, ia menolak tawaran rumah di kawasan paling elite di Jakarta itu.

CSIS dan CLC
Tahun 1964, sebelum akhirnya masuk dalam dunia politik, Kris sempat bekerja sebagai loper koran dan kerja serabutan di Jakarta. Saat itu, ia tinggal di daerah Pasar Senen. Selain itu, ia juga sempat bekerja menjadi kuli angkut pasir. Anehnya, ketika itu, ia menjadi salah satu yang mengirim pasir saat pembangunan Gedung Conference of the New Emerging Forces (CONEFO), yang kini dikenal dengan Gedung MPR DPR Republik Indonesia ini. “Saya tidak menyangka sepuluh tahun setelahnya saya akan bekerja di tempat itu sebagai anggota dewan,” ungkap Kris.

Sebagai anggota dewan, Kris tidak mendapatkan segala pengetahuan tentang dunia sosial politik dari pendidikan formal. Alumni Seminari Menengah St Petrus Kanisius Magelang Jawa Tengah ini justru belajar tentang politik di Yayasan Cipta Loka Caraka (CLC). Kris sendiri diajak Pastor Adolf Hueken SJ untuk merintis lembaga penerbitan ini. Dari perpustakaan di CLC, Kris belajar istilah-istilah politik dan belajar bagaimana sebuah negara harus dijalankan. Di CLC, Kris ikut menyusun sebuah buku tentang dasar-dasar politik yang pada zaman itu masih jarang. “Di CLC ini saya belajar semuanya dan bukan dari pendidikan formal seperti di universitas atau sekolah tinggi.”

Selama bekerja di CLC inilah, Kris aktif menjadi aktivis di Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMRI). Di tempat ini, ia berjumpa dengan aktivis lain seperti Harry Than Silalahi dan Cosmas Batubara. Di kemudian hari, bersama beberapa alumni PMKRI, ia ikut merintis berdirinya Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Di lembaga ini, pengetahuan Kris dalam ilmu politik semakin terasah. Ia sadar, sebagai orang Katolik ia melihat kekayaan nilai-nilai kemanusiaan yang tersimpan di dalam ajaran sosial Gereja. Untuk itu, selama di CSIS, beberapa pandangan tentang politiknya pun bersumber dari relasinya dengan Gereja.

Setelah dari CSIS, Kris terpilih menjadi anggota DPR-RI tahun 1977. Ia menjadi anggota dewan dari Partai Golkar, partai yang oleh masyarakat dikenal sebagai alat politik Presiden Soeharto. Atas pilihan politiknya ini, Kris pun sempat ditegur oleh salah seorang uskup di Indonesia. “Mengapa di Golkar, dan bukan di PDI yang di dalamnya tergabung Partai Katolik” demikian Kris menirukan ucapan sang uskup.

Namun, untuk menjadi garam, Kris sadar, ia harus berada di lingkungan yang masih membutuhkan semangat-semangat kemanusiaan, yang selama ini ditimbanya dari Gereja Katolik. Ia sadar, di Golkar nilai dan ide yang ia bawa masih menjadi “barang baru”. Ia melihat, di partai ini nilai kemanusiaan pun harus dikembangkan. “Dulu saya melihat, di Golkar masih kurang kader-kader dari Katolik yang membawa ide-ide baru tentang politik dan kemanusiaan, maka saya memutuskan bergabung di Golkar.”

Presiden Soeharto
Dua dasawarsa dihabiskan Kris mengabdi sebagai anggota dewan di “Gedung Kura-Kura”. Ia menganggap aktivitasnya di dunia politik ini sebagai sebuah panggilan. Di tempat ini, ia berusaha memberi sumbangan pemikiran bagi kebijakan yang dijalankan di Indonesia. “Sebagai seorang politisi saya berusaha menyumbangkan pemikiran bagi kebijakan-kebijakan yang ada di Indonesia,” tutur umat Paroki St Mikael Kranji Keuskupan Agung Jakarta ini.

Karena sangat kuat memegang idealisme, Kris sempat ingin dikeluarkan menjadi anggota DPR oleh saingan politiknya. Suatu kali, ia terlibat perdebatan alot dengan salah seorang petinggi partai yang juga seorang menteri. Perdebatan itu seputar hari lahir Pancasila apakah tanggal 1 Juni 1945 atau tanggal 18 Agustus 1945. Kris berpegang, kelahiran Pancasila adalah 5 Juni sedangkan lawan debatnya beranggapan kelahiran itu terjadi 18 Agustus.

Keputusan untuk mengeluarkan Kris dari jajaran DPR sudah sampai di hadapan Presiden Soeharto. Pada suatu kesempatan, Kris pun berjumpa dengan Presiden Soeharto. Dalam perjumpaan itu, Kris menceritakan asal-usul keluarganya. Ternyata, kakek dari Kris pernah membantu Suharto pada zaman perang gerilya. Sejak itu, relasi Kris dengan Presiden Soeharto terjalin baik. “Kalau berbicara dengan Pak Harto, beliau selalu menggunakan bahasa Jawa, ini menunjukkan kedekatan kami berdua,” ujar Kris.

Meski dekat dengan penguasa, namun sebagai pengikut Kristus, Kris selalu berpegang pada nilai-nilai yang ia pegang. Hal ini terbukti pada saat Kris berhasil mengumpulkan pandangan-pandangan Presiden Suharto tentang Pancasila menjadi sebuah buku berjudul Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila. Kelak, buku inilah yang menjadi bahan untuk pelajaran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang di masa orde baru diwajibkan dipelajari setiap siswa sekolah.

Kris menceritakan, ada seorang yang menawarkan uang dalam jumlah besar kepada Kris. Syaratnya, Kris harus menulis rekomendasi bagi orang itu, agar dia mendapat hak untuk menerbitkan buku itu dan menjualnya secara luas. “Orang itu sudah menawarkan sebuah mobil kalau saya mau membuat rekomendasi itu,” kenang Kris.

Kris menilai, menjadi seorang politisi, seseorang haru punya nilai atau ide yang dibawa. Jangan sampai, berkecimpung dalam politik dianggap sebagai profesi untuk meraih keuntungan pribadi.

Emas Pernikahan
Meski sibuk dalam beragam aktivitas politik, Kris berusaha menyeimbangkan perhatiannya kepada keluarga. Ia menuturkan, selama ini keluarga yang selalu berdoa dan mendorong agar ia berhasil dalam setiap tugas. Sejauh ada kesempatan, ia akan berusaha menghabiskan waktu bersama seluruh anggota keluarga. “Setiap kali rapat meski sampai malam saya selalu pulang ke rumah, meski sebenarnya panitia menyediakan tempat menginap,” ujar Kris.

Seminggu lalu, Kris merayakan emas pernikahannya dengan Christina Hastuti. Belahan hatinya ini adalah sahabatnya sesama aktivis dulu. Dari pernikahan ini, Kris dikaruniai seorang putri Catharina Miranda. Setelah 50 tahun menjalin kehidupan keluarga, saat ini menjadi kesempatan untuk mensyukuri rahmat Tuhan atas hidupnya. “Saya bersyukur, selama ini diberi banyak berkat, baik bagi hidup saya sendiri ataupun bagi keluarga.”

Kris bersyukur sang buat hati Catharina juga dapat hidup mandiri. Sejak di bangku sekolah menengah sampai di perguruan tinggi, sang anak dapat hidup mandiri. Kris melihat, boleh jadi hal ini juga karena teladan kemandirian darinya. “Kemungkinan ia menerima basis dari saya yang cukup kuat,” tutur Kris.

Antonius E. Sugiyanto

HIDUP NO.35 2018, 2 September 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini