Terus Menumbuhkan Harapan

447
Lidia Laksana Hidajat.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Bunuh diri adalah sebuah tindakan sengaja yang menyebabkan kematian diri sendiri. Ada orang bunuh diri agar meninggal dengan segera atas dasar impuls yang muncul seketika. Ada pula yang melakukannya secara terencana. Dalam psikologi, hal ini dijelaskan oleh ciri sifat kepribadian orang yang bunuh diri.

Pengalaman akan kekerasan, pelecehan seksual, kegagalan beruntun, musibah dan bencana yang tiba-tiba atau peristiwa traumatik lain dapat menimbulkan keinginan untuk mengakhiri hidup. Merasa ditolak, kehilangan dan perpisahan, perceraian dan kematian mendadak, juga dapat diperhitungkan sebagai faktor kerentanan. “Tidak selalu memang, tetapi keinginan bunuh diri umumnya muncul ketika peristiwa yang terjadi dirasa menghancurkan harga diri dan memicu perasaan kesia-siaan untuk terus hidup. Namun, faktor kepribadian sangat menentukan,” ujar Dosen Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta, Lidia Laksana Hidajat.

Dia mengatakan, sangat penting untuk peka melihat perubahan orang-orang di sekitar, terutama ketika mereka mulai berubah menjadi lebih pendiam dan tertutup. “Dalam sesi-sesi support group untuk pencegahan bunuh diri, selalu ditekankan untuk mengenali dan memahami orang-orang terdekat, sehingga peka terhadap perubahan yang terjadi,” katanya.

Dari sisi orang terdekat yang ditinggalkan, Lidia mengatakan mereka kerap depresi, dihantui rasa bersalah, dan menyesal. Menurutnya, yang terpenting untuk tidak dilakukan, namun justru sering terjadi, adalah menanyakan kembali apakah ada firasat sebelum almarhum bunuh diri; pesan yang ditinggalkan; atau peristiwa pemicu. Meski bermaksud menunjukkan empati, namun seringkali justru memperpanjang duka cita dan mengorek kesedihan yang sudah ada.

Menghibur keluarga yang ditinggalkan lebih baik dilakukan dengan menemani dan mengajak keluarga menjalani kehidupannya kembali. “Tidak perlu berkata banyak, apalagi menasehati, cukup pastikan bahwa mereka tidak sendirian. Mungkin mereka butuh waktu untuk didengarkan, maka biarkan mereka bercerita hingga selesai.”

Beberapa imam kerap menolak Misa Requiem bagi orang yang bunuh diri, mungkin untuk mengedukasi umat bahwa perbuatan ini tidak bisa dibenarkan. Namun, banyak umat yang mengharapkan imam, sebagai perwakilan Gereja –yang merupakan sumber cinta kasih– memberikan pengampunan atas apa yang sudah dilakukan seseorang yang mengakhiri hidupnya sendiri. Apalagi, jika hal tersebut dilakukan karena adanya mood disorder seperti depresi berat. “Sangat dimengerti bahwa keluarga menginginkan anggota keluarganya tetap memperoleh berkat, pengampunan, dan kedamaian, terlepas dari cara dia pergi untuk selamanya,” ungkap Lidia.

Ia menambahkan, penolakan Misa Requiemini dapat memicu rasa bersalah baru pada anggota keluarga lain. Tidak hanya itu, labelling dan stigmatisasi dari umat dan masyarakat sekitar mungkin muncul, bahwa keluarga ini ‘berbeda’. Dari sisi kondisi nyata “anggota keluarganya ada yang bunuh diri” dan dari sisi kehidupan Gereja “mereka tidak layak menerima Misa Requiem karena anggota keluarganya bunuh diri”.

Lidia menambahkan, jalan keluar lain perlu dipikirkan untuk mengatasi pelayanan pastoral bagi keluarga dengan mempertimbangkan kesejahteraan psikologis umatnya. “Masalah bunuh diri sebagian besar adalah masalah kehilangan harapan, maka Gereja diharapkan dapat lebih menggalakkan program-program dengan pendekatan dari sisi kebutuhan rohani bagi mereka yang bermasalah dan rentan melakukan bunuh diri, di samping edukasi dan upaya bela rasa yang berkesinambungan terhadap masalah bunuh diri.”

Hermina Wulohering

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini