HIDUPKATOLIK.com – Pesparani akan menjadi sumbangan Maluku bagi Indonesia. Tak hanya umat Katolik, Pesparani akan melibatkan semua agama.
SORE itu, kelip lampu di Jembatan Merah Putih Ambon sudah mulai terlihat, menandakan siang sudah mulai berganti malam di Ibu Kota Provinsi Maluku itu. Meski begitu, aktivitas di Teluk Ambon belum mau berhenti. Setidaknya hal itu terlihat dari beberapa kapal yang masih berlalu lalang di bawah jembatan itu.
Namun, ada lirih suara tak biasa terdengar dari arah Gereja St Yoseph Rumatiga, Poka, Ambon, saat beberapa anak muda membawakan “Adoremus te Christe”. Di gereja itulah, beberapa anak sedang berlatih paduan suara sebagai persiapan mengikuti Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) yang akan diadakan di Ambon pada 27 Oktober–2 November 2018.
Lantunan karya Giovanni Pierluigi da Palestrina itu seakan ingin mengembalikan waktu ke masa sekitar abad XVI. Di masa itulah terletak salah satu dasar musik liturgi. Semangat untuk menggali lagi kekayaan musik litugi Gereja inilah, yang salah satu ingin digali pada edisi pertama Pesparani.
Selain musik liturgi dari abad pertengahan, Pesparani kali ini juga ingin menggali lagi kekayaan Musik Gregorian yang sejak lama telah menjadi harta karun Gereja.
Kembali ke Akar
Musik liturgi pada urutan pertama adalah Gregorian. Sedangkan dari segi musik umum, Gregorian juga menjadi yang lahir pertama dengan notasi dibandingkan musik lain mana pun di dunia.
Pastor Bernard Antonius Rahawarin menjelaskan kecintaan umat pada Musik Gregorian masih kurang. Hal ini patut disayangkan mengingat musik ini sebenarnya memiliki tempat penting dalam liturgi.
Nama “Gregorian” mengacu pada Paus Gregorius Agung (540-604). Paus inilah yang menemukan Notasi Gregorian tahun 590. Notasi ini berupa balok not dengan empat garis. Paus Gregorius semasa hidupnya telah mencatat lagu-lagu Gereja dengan Notasi Gregorian sebelum tahun 590.
Sayang tidak ada peninggalan tertulis yang masih tersisa dari zaman ini. Pada masa awal penemuan notasi ini, komposisi yang dihasilkan masih berupa lagu tunggal atau monofoni. Sejak saat itu, Notasi Gregorian biasa digunakan sebagai notasi untuk memainkan lagu liturgi Gereja.
Dalam konteks Pesparani, tujuan utamanya adalah meningkatkan iman umat. Lebih jauh, implikasi pada kegiatan ini adalah kerukunan dengan umat beragama lain. Pastor Bernard mengungkapkan, pada poin liturgi maka tujuan dari Pesparani adalah partisipasi semakin banyak orang untuk terlibat di dalamnya.
Ia menjelaskan lagu Gregorian tidak bisa dilupakan atau dihilangkan. Di Keuskupan Amboina sendiri lanjutnya, Gregorian sudah biasa dan mendapat tempat utama. “Kenapa Gregorian karena kita memakai metode yang tepat sesuai dengan dokumen Gereja,” ujar Vikaris Jenderal Keuskupan Ambon ini.
Dalam Pesparani nanti, Gregorian dilombakan dalam dua kategori, dewasa serta anak dan remaja. Sedangkan untuk kategori dewasa pria, dewasa wanita, dan dewasa campuran akan menyanyikan komposisi yang berasal dari abad pertengahan.
Pastor Bernard menjelaskan, Pesparani menjadi kesempatan untuk menggali lagi kekayaan musik liturgi. Setidaknya lewat pilihan jenis musik yang dilombakan, umat akan semakin sadar untuk menggali lagi kekayaan musik Gereja. Meski begitu, usaha untuk menggali musik-musik liturgi ini harus memakai metode yang benar.
“Jangan asal menyanyi, umat harus mengerti makna dari lagu yang mereka nyanyikan,” kata dosen di Sekolah Tinggi Pendidikan Agama Katolik St Yohanes Penginjil Ambon ini. Meski tergolong musik yang sulit namun ternyata anak-anak muda pun dapat membawakan lagu ini.
Kitarina Esomar mengungkapkan khususnya di Ambon anak-anak muda memiliki potensi yang cukup untuk dapat mempelajari musik yang dilombakan pada Pesparani mendatang. “Potensi dan bakat mereka punya, yang sulit hanya membangkitkan keseriusan mereka untuk belajar,” ujar pendamping peserta Pesparani kategori dewasa pria ini.
Kebiasaan yang telah terbentuk sejak masih SMP atau SMA menjadikan Rina, begitu ia biasa disapa, tidak terlalu sulit menghayati lagu-lagu Gereja dari abad pertengahan. Ia melihat, sejak tahun 2007 Keuskupan Amboina telah konsisten menyanyikan Gregorian.
Dengan dasar-dasar ini, ia merasa tak begitu sulit melatih peserta yang akan berlaga di Pesparani nanti. “Kesulitan yang kami hadapi hanya karena sulit mengumpulkan mereka karena jadwal masing-masing yang kadang sulit disatukan,” ujar dosen di Universitas Pattimura ini.
Sudah Siap
Dua bulan menjelang berlangsungnya Pesparani, kesiapan setiap venue lomba sudah mencapai 80 persen. Persiapan tempat perlombaan saat ini sudah mulai dikerjakan. Hal ini misalnya persiapan pembuatan tribun di Lapangan Merdeka, Ambon. Selain itu di tempat-tempat lain saat ini masih berjalan renovasi.
Sekretaris Panitia Pesparani Nasional Titus F L Renwarin menjelaskan, ada beberapa persiapan yang kini tengah dilakukan panitia. Renovasi tempat pembukaan dan penutupan Pesparani menjadi salah satu prioritas.
Selain Lapangan Merdeka, Pesparani akan menggunakan beberapa lokasi di Kota Ambon, yaitu Islamic Centre, Catholic Centre St Yohanes Paulus II, Christian Centre, Gedung Siwalima, Gedung Xaverius, Gedung Oikumene, Taman Budaya, dan Lapangan Polda Tantui.
Titus menegaskan, sebagai tuan rumah, Ambon ingin memberikan sambutan yang sebaik-baiknya. Belajar dari penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) dan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) yang diadakan juga di Maluku, panitia bertekad menjadikan Pesparani menjadi kesempatan untuk membina kerukunan antar-umat beragama.
Sebelumnya Maluku pernah sukses menyelenggarakan MTQ dan Pesparawi, maka saat menyelenggarakan Pesparani, pemerintah ingin mengulang kesuksesan yang sama. “Kedua kegiatan ini dibuat di Maluku. Saya menyaksikan, keduanya menjadi ajang di mana seluruh umat beragama bersatu menyukseskan sebuah acara.”
Pesparani memang bukan sekadar perlombaan paduan suara. Pastor Agustinus Arbol menjelaskan, masyarakat mengambil bagian dalam kegiatan ini, tidak saja melibatkan umat Katolik, Pesparani dilaksanakan dalam kerja sama dengan semua agama di Maluku.
Hal ini bercermin dari pengalaman Maluku saat MTQ dan Pesparawi. Meski bukan kegiatan dari Katolik, namun umat Katolik juga ikut terlibat. “Jadi Pesparani pun sama, ini akan menjadi kegiatan yang melibatkan semua agama yang ada di Maluku,” ungkap Ketua LP3KD Maluku ini.
Pastor Agus menambahkan, semangat kerukunan inilah yang akan didengungkan secara nasional. Inilah sumbangan Maluku kepada seluruh Indonesia. Pesparani ini adalah pesta rakyat sehingga pemerintah sangat mendukung kegiatan ini. Persaudaraan ini tercipta di antara umat beriman dan juga dengan saudara berlainan agama. “Ini bukan pesta iman umat Katolik saja, tapi pesta rakyat, pesta masyarakat.”
Antonius E. Sugiyanto