Asrama Katolik dan Karakter Pancasila

384

HIDUPKATOLIK.com – Mesti diakui bahwa eksistensi sekolah Katolik layak diperhitungkan di kancah nasional. Ada banyak contoh tentang hal tersebut. Salah satunya adalah prestasi akademik (hasil ujian akhir nasional) dari tahun ke tahun. Namun demikian, kita tidak bisa hanya membatasi diri dan terlampau bangga pada hasil tersebut. Sebagai bagian dari NKRI, kita patut bertanya: sejauh manakah sekolah Katolik mencetak generasi berkarakter Pancasila?

Bagi Gereja, pendidikan adalah dialektika antara semangat Kekristenan dan aspek-aspek kolektif-kebangsaan. Tandas Gravissimum Educationis: “tujuan pendidikan adalah mencapai pembinaan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya dan demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, mengingat bahwa manusia termasuk anggotanya, dan bila sudah dewasa ikut berperan menunaikan tugas kewajibannya” (No.1) serta “mendukung perubahan dunia menurut tata nilai kristen” (No. 2).

Hal ini membuktikan bahwa orientasi pendidikan Katolik tidak ekslusif dan terbatas pada “proyek” Gereja secara internal, tetapi juga terintegrasi dengan “proyek” kolektif kebangsaan. Maka, tepatlah jika selama ini, Gereja mendesain format pendidikan dalam integrasinya dengan tata kelola kebangsaaan. Lembaga pendidikan merupakan tempat efektif bagi manifestasi semangat menjadi “garam dan terang” (Mrk. 5:13-14) bagi bangsa.

Untuk itu, menjadikan cita-cita kebangsaan sebagai bagian dari program pendidikan Kristiani adalah sebuah imperatif. Dengan demikian, problem dan keprihatinan bangsa adalah problem dan keprihatinan Gereja juga (Bdk. GS 1). Problem-problem sosial tidak hanya dikaji dan direfleksikan dari perspektif pendidikan Kristiani, tetapi juga dijawab dengan mengembalikan “nafas” pendidikan itu kepada Pancasila. Di sini, “Pancasila mesti menjadi roh inspirasi bagi kemajuan bersama” (Yudi Latief, 2018).

Tetapi di sinilah letak persoalannya. Pancasila belum secara sungguh “terinternalisasi” dalam diri para peserta didik. Saya takut, lembaga pendidikan Katolik terjebak dalam penilaian yang legalistik – formalistik. Sementara sejauh mana Pancasila dijadikan sebagai “detak nadi” praksis hidup, kurang diperhatikan.

Agar orientasi seperti ini tercapai, maka optimalisasi peran asrama Katolik amatlah dibutuhkan. Asrama Katolik dapat menjadi tempat kondusif untuk mencetak generasi-generasi berkarakter. Hal seperti ini sebenarnya dapat kita telusuri dalam model formasi Yesus. Meskipun tidak “mengasramakan” para murid, tetapi kelompok keduabelasan yang Ia bentuk, dibina dengan cara khusus. Bahkan tatkala mengutus, Ia memberi kuasa, menetapkan segala katentuan (Mrk 6:7-13) sambil terus menerus memberikan doktrin Ilahi kepada mereka. Maka para murid pun “tumbuh” menjadi kelompok berkarakter.

Hal seperti inilah yang dapat diadopsi oleh asrama Katolik untuk menciptakan generasi barkarakter Pancasila. Selain menjadi tempat pengembangan iman dan akademik, asrama Katolik juga harus menjadi tempat efektif untuk internalisasi nilai-nilai Pancasila. Di asrama Katolik, Pancasila tidak hanya dipahami, tetapi dielaborasi secara kualitatif. Dengan itu, anakanak dilatih untuk mengutamakan kepentingan bersama, “bukan kepentingan diri” (Fil 2:3). Oleh karena itu, asrama Katolik mesti merancang pola pembinaan agar menjadi tempat pesemaian dan penghayatan nilai-nilai Pancasila.

Selain itu, asrama Katolik juga mesti menampung anak-anak yang bersekolah di lembaga pendidikan non Katolik. Di sini, dibutuhkan sinergi dengan berbagai pihak (seperti pemerintah). Tujuannya adalah agar anak-anak yang mengenyam pendidikan di sekolah non Katolik juga diasramakan dengan tata kelola Katolik. Hal seperti ini penting, agar mereka tetap menampilkan diri sebagai orang beriman yang bernalar dan berkarakter Pancasila. Dengan demikian, mereka pun terhindar dari aksi-aksi distortif dan cara berpikir eklusif- radikal.

Inosentius Mansur

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini