Berakar dalam Iman Katolik

786
Beberapa anak dalam sebuah acara Sekami di Stasi St Yohanes Tau Lumbis, Paroki Maria Bunda Karmel, Mansalong.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Di tengah gempuran godaan duniawi, umat Katolik asal suku Dayak Agabag pun kian gencar merawat iman.

Suara dua mesin kapal motor yang bersandar di tepi Sungai Desa Tau Lumbis seketika mengubah suasana siang itu. Suara itu menjadi tanda bahwa kapal sebentar lagi akan melepas sauh. Benar saja, tak berselang lama, kapal bertolak ke arah hulu. Aliran sungai yang tadinya tenang, sontak menjadi bergelombang saat ujung kapal mulai membelah aliran sungai.

Kapal itu membawa rombongan dari Paroki Maria Bunda Karmel Mansalong Keuskupan Tanjung Selor. Evarista menjadi salah satu penumpang kapal itu. Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Mansalong ini ikut dalam rombongan kunjungan pastoral paroki ke stasi-stasi di daerah hulu Sungai Lumbis.

Setelah, empat jam di atas perahu, rombongan sampai di Desa Sumen Tobol. Hijau bentangan hutan Kalimantan tak henti-hentinya membuat mata Evarista terpesona. Boleh jadi ia kagum akan keindahan alam Kalimantan. Namun, kadang hatinya trenyuh, ketika sadar bahwa keindahan alam itu kini terancam penebangan hutan dan semakin luasnya perkebunan sawit.

Kesempatan Berbagi
Di desa ini terdapat Stasi Sumen Tobol. Kunjungan semacam itu menjadi kesempatan bagi Evarista untuk membagikan pengalamannya kepada beberapa anak muda yang tinggal di stasi itu. Semangatnya tak surut, meski kadang hanya beberapa anak saja yang dapat ia kumpulkan. “Saya senang dapat membagikan iman dan pengetahuan yang saya punya kepada mereka,” ungkap Evarista.

Evarista mengungkapkan, kunjungan seperti yang ia lakukan ke Stasi St Yakobus Sumen Tobol, beberapa kali juga ia lakukan ke stasi yang lain di Paroki Mansalong. Dalam kunjungan ini, kadang ia menjumpai beragam permasalahan dalam organisasi OMK maupun dalam Serikat Kepausan Anak dan Remaja Misioner (Sekami). Berhadapan dengan aneka masalah itu, ia berusaha memberi masukan, meski sadar kadang masukan itu tak bertahan lama. “Tujuannya tidak hanya ikut-ikutan, tapi saat itu aku bisa sharing tentang iman. Meski aku juga sadar, kadang apa yang kami bagikan tidak sepenuhnya mereka ikuti.”

Sebagai OMK dengan latar belakang Suku Dayak Agabag, Evarista bangga dapat terlibat dalam karya pastoral di parokinya. Ia bangga ketika bisa membagikan pengalaman dengan OMK atau umat di stasi.

Perkembangan iman anak-anak juga menjadi perhatian saat Evarista berkunjung ke stasi. Di banyak kesempatan, ia mengajarkan anak-anak untuk membuat tanda salib. Sesuatu yang bagi dia sederhana, ternyata tidak bagi anak-anak di stasi. Ia melihat, ini juga tanggung jawabnya untuk bisa membagikan iman kepada anak-anak. “Menurut kita membuat tanda salip itu hal biasa, tapi bagi anak-anak di stasi hal itu kadang tidak pernah diajarkan,” ujar lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Dharma Husada Bandung, Jawa Barat ini.

Evarista prihatin pada semangat umat yang masih kurang. Namun, ia memiliki keprihatinan yang lebih dalam lagi. Kadang, hatinya pilu saat melihat beberapa teman atau anak-anak remaja yang harus berhenti mengejar impiannya karena harus menikah di usia dini. Sayang, kasus semacam ini banyak terjadi di dalam masyarakat dimana ia tinggal. “Banyak teman saya yang sudah menikah, saya merasa sedih karena tak bisa berbuat banyak, paling hanya memberi mereka sedikit nasihat.”

Iman Katolik memang telah banyak berjasa menyumbangkan pemikiran bagi masyarakat di daerah Mansalong, Nunukan, Kalimantan Utara. Evarista yakin, bahwa kedepan akan lebih baik. Ia memimpikan anak-anak di kampung halamannya akan semakin bersemangat dalam mengejar impian mereka. “Saya akan kembali lagi ke kampung halaman, di sana saya akan mengabdikan hidup saya,” ungkap Evarista.

Pasangan Seiman
Berbeda dengan kisah Evarista, Fanni Lestari merupakan anak muda Dayak yang baru menetapkan pilihan imannya memeluk iman Katolik pada saat berumur 13 tahun. Ia bergabung bersama Gereja Katolik pada tahun 2008. Keputusannya ini disadarinya sebagai panggilan kerinduan dari hatinya. “Memang awalnya dimulai ketika mendaftar sekolah harus menentukan agama apa dan hati saya secara bebas memilih untuk memeluk iman Katolik kala itu,” tuturnya.

Fanni mengakui, perjalanan imannya tidak selalu berjalan mulus. Masa awal menjadi umat Katolik, dalam rentang tahun 2008-2013 Fanni masih sering beribadah ke Gerejanya yang terdahulu. Ia belum menemukan komunitas yang tepat untuk membangun iman Katoliknya. Namun, semenjak ia aktif di dalam kegiatan OMK paroki, perlahan-lahan ia dikuatkan. “Aku akui memang banyak godaan dan tantangan tersendiri mengikuti keyakinan Katolik yang kupilih sendiri, tetapi aku percaya, Tuhan Yesus akan selalu menguatkanku,” ucap penyuka doa Angelus ini.

Kelahiran 12 Februari 1995 ini juga merasakan kebaikan Tuhan yang ia rasakan. Ia diberikan kebahagiaan karena mendapatkan pasangan seiman. Baginya, pasangan seiman sangat penting dalam rangka membangun serta merawat iman yang ia miliki. Di tengah fenomena maraknya pacaran lintas kepercayaan dan pernikahan dini, Fanni menyadari memperoleh pasangan seiman merupakan rahmat tersendiri baginya.

Memiliki pasangan seiman membantunya meniti jalan perkawinan dengan lebih mantap beriman kepada Kristus melalui Gereja-Nya. “Karena seiman kami tidak harus ribut akan memilih apa agama kami kelak. Selain itu, merawat iman anak-anak akan berada di dalam satu harmoni, sehingga pengajaran iman akan memiliki fondasi dasar yang kuat,” katanya menjelaskan dengan mantap.

Melka, sahabat OMK Fanni juga memiliki pandangannya yang sama dengan Fanni. Gadis dari suku Dayak Agabag asal Desa Labang ini hampir pernah terjun dalam pernikahan dini akibat desakan lingkungan. Dengan teguh, ia mengingat pengajaran yang diberikan para pastor. Muara perkawinan tidak hanya berasal karena tuntutan keluarga tetapi lebih atas pemikiran matang yang dibangun atas dasar iman. Remaja yang senang mengikuti turne ini bersyukur diberi rahmat memperoleh pasangan seiman, “Selagi masih muda berilah kesempatan untuk mencari pasangan yang seiman. Hal ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan karena ini menyangkut kehidupan yang mendasar yaitu dasar pandangan hidup, perbedaan komunikasi dan penerimaan satu sama lain. Bagaimana cara memelihara iman dimulai dari keluarga.

”Selain itu, keduanya juga giat melestarikan budaya peninggalan nenek moyang mereka. Saat ini, Fanni tengah menekuni pelajaran menjahit pakaian adat. Ia menungkapkan, budaya adalah salah satu rahmat Tuhan. “Budaya adalah pemberian Tuhan, jadi sebagai anak muda adalah suatu panggilan untuk merawatnya.”

Beriman Teguh
Robertus, pria berdarah campuran Dayak dan Flores yang tinggal di Patal, Mansalong mengisahkankan, bahwa mempertahankan iman pada zaman ini memang sulit. Apalagi bagi kaum adam. Ini ia alami saat duduk di bangku kuliah. Saat itu, sebagai anak muda ia mudah terpesona untuk dekat dengan teman perempuan meski berbeda agama. “Banyak perempuan ayu luar biasa berseliweran dihadapan mata saya. Tetapi saya ingat, saya punya iman, jangan sampai iman saya diperjualbelikan hanya demi seorang gadis cantik yang tidak seiman. Itu tantangan luar biasa.”

Godaan yang sama ia lihat dihadapi juga oleh pemuda yang lain. Robertus melihat, beberapa pemuda akhirnya meninggalkan iman Katolik, bahkan iman Kristen dan akhirnya memilih meninggalkan imannya. Ia berpendapat, jalan stau-satunya untuk bertahan dalam iman adalah mendekatkan diri pada Allah.

Setiap minggu, kelahiran 19 April 1983 ini tidak pernah alfa ke gereja. Ia melihat 10 Perintah Allah pada poin ketiga untuk menguduskan Hari Tuhan. Pemilik moto “rencana manusia bukanlah rencana Tuhan, tetapi terjadilah padaku menurut rencana-Mu” ini bertekat untuk tetap setia dalam iman Katolik. “Senin-Jumat sudah diberikan Tuhan untuk bekerja, kini sudah sepantasnya hari Minggu kita mempersembahkan apa yang sudah diterima selama satu minggu kepada Allah.”

Felicia Permata Hanggu/Antonius E. Sugiyanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini