Pelukan Danau Toba

324

HIDUPKATOLIK.com RUMAHKU, waktu masih anak-anak di Simanindo, adalah sebuah rumah mungil bertangga, berada di tengah hutan bayon yang sepi dan mencekam. Daun-daun bayon yang lurus memanjang itu, adalah surga bagi Mamak karena akan diolahnya menjadi berbagai jenis anyaman.

Sampai malam, Mamak masih terus mangaletek, dan aku akan meminta Mamak menceritakan kisah memilukan itu. Kisah, yang terus menari-nari di batinku, apakah mitos atau fakta? Kisah yang bak cerita rakyat itu, membuatku berhalusinasi, sedalam apakah dukanya seorang Ibu yang terpaksa memberikan anaknya “dimakan” Danau Toba?

“Ceritakan lagi kisah sedih itu, Mak,” kataku dulu. Aneh, aku benci kisah itu, tapi hampir tiap malam aku meminta Mamak menceritakannya. Mamak mulai menceritakan kisah itu…

Langit sedang berawan tebal senja itu. Sebuah kapal, ada di tengah Danau Toba, lebih tepatnya berada di kawasan kekuasaan Pulo Malau. Pulo Malau adalah sebuah kawasan di Danau Toba yang disakralkan penduduk setempat.

Siapa pun yang melewati daerah itu harus bersikap sopan. Tak boleh apa pun terjatuh ke daerah kekuasaannya. Kalau itu terjadi, maka gantinya adalah nyawa!

Seorang ibu dan anak perempuannya berumur kurang lebih tiga tahun, ada dalam kapal itu. Sejak masuk ke kapal, gadis kecil itu menangis terus.
“Tolong diamkan anaknya, Inang!” Seru petugas kapal. “Kita sedang berada di kawasan Pulo Malau.”

Ibu itu, panik. Ia berusaha mendiamkan anaknya, tapi tangisnya semakin kencang.
Tak sengaja, anaknya melemparkan kulit pisang, dan jatuh tepat ke daerah kekuasaan Pulo Malau!

Tak lama, kapal mulai oleng dihantam angin dan hujan yang semakin kencang. Dari dalam danau seperti terdengar perintah supaya menjatuhkan anak itu ke danau!
“Tak ada jalan lain, anakmu harus dikorbankan karena telah membuat Pulo Malau marah,” kata petugas kapal.

Gadis kecil malang itu menangis melengking-lengking, saat petugas kapal menarik paksa dari gendongan ibunya, lalu, pelan-pelan, menjatuhkannya ke tengah danau.

Aneh, angin ribut mulai berhenti. Hujan juga reda, dan kapal tidak lagi oleng. Ibu malang itu, tak terdefinisikan sedalam apa dukanya.

***

Kisah tentang anak kecil malang itu, masih saja terus mengusikku sampai remaja. Sampai akhirnya kutinggalkan Danau Toba karena Bapak memutuskan merantau ke Jakarta. Sekarang aku sudah bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah wanita.
Kesempatan bagus datang untukku.

Pimpinanku menugaskanku meliput keindahan Danau Toba karena dalam beberapa tahun ke depan, diperkirakan Danau Toba akan menjadi daerah kunjungan wisata dunia.
“Tulis juga dalam laporanmu, apakah masyarakat di sana sudah siap Danau Toba go internasional, Tiur,” kata Bu Lita, pimpinanku.

“Saya juga ingin menulis tentang sebuah mitos yang berkembang di sana.”
“Tentang apa, Tiur?”
“Tentang Pulo Malau, yang diyakini penduduk setempat selalu minta korban jika ada yang berbuat salah.”
“Oke, bagus! Kau akan dikawal fotografer kita, Cagar. Jangan bilang kau tidak suka.”

Aku tertawa, antara senang dan prihatin. Cagar adalah fotografer kami, yang kadang memberi harapan padaku, tapi lain waktu dia akan seperti angin.

***

Perjalanan ini, sungguh melelahkan tapi nikmat. Sekarang aku dan Cagar ada di atas kapal menuju ke Simanindo, ke kampung halaman yang sudah belasan tahun tak kuinjak.
“Apa yang kau cari ke Pulo Malau? Mendingan kita pulang ke Jakarta karena tugas kita sudah rampung,” kata Cagar.
“Aku ingin membuat tulisan tentang Pulo Malau, sebagai indeks tulisanku.”

Perasaan sedih dan ngilu segera menukik hatiku. Sebentar lagi kapal akan melewati kawasan Pulo Malau. Terbayang lagi, kisah memilukan itu. “Sebentar lagi kita akan melewati kawasan Pulo Malau. Harap tenang, jangan membuang apa pun ke danau, jangan mengeluarkan kata-kata kotor!” kata petugas kapal.

Kulihat, di kapal ini ada seorang anak perempuan berumur tiga tahun, riang di samping ibunya. Ia sedang sibuk memainkankan game di android Mamanya. Tak jauh dari anak kecil itu, sekelompok anak muda, sedang bernyanyi sangat kencang, disertai tawa yang sangat kencang. Mereka juga meneguk minuman keras, dan botolnya dilemparkan ke danau!

“Jangan ribut!” Seru petugas kapal kesal. Anak-anak muda itu, tidak peduli. Suara gitar semakin kencang!
“Aku lapar, Mami!” Anak kecil itu, tiba-tiba cengeng.
“Sabarlah, sebentar juga kita sampai di rumah Ompung. Sini handphone Mami, Mami mau menelepon Ompung supaya menjemput kita.”
“Nggak mau! Torang lapar! Nggak enak di kapal ini! Ribut! Bau! Jelek! Mami jahat, kenapa naik kapal jelek ini?”
“Sini, sayang,” Mamanya berusaha merebut handphone-nya, tapi anaknya dengan sengit berusaha mem pertahankannya.
Dan…, handphone mahal itu terlepas, menari di udara, dan akhirnya terpelanting ke danau!!!

Ya Tuhan, langit tiba-tiba gelap. Pertanda apakah ini? Refleks, kugenggam Rosario yang tergantung di leherku.
“Ibu, sudah saya peringatkan tadi, berhati- hatilah dalam melewati kawasan ini! Sebentar lagi kapal kita tenggelam!”
“Tapi.., tapi.., anak saya tidak sengaja!”
“Sengaja atau tidak, anak Ibu telah membuat Pulo Malau marah!”

Langit, tiba-tiba bergemuruh. Gelombang tenang berubah jadi ganas. Kapal seperti dicengkram tangan raksasa.
Tiba-tiba, Cagar memelukku kuat-kuat. Kurasakan tangannya yang dingin dan gemetaran.
Harapankah ini? Tapi apa artinya harapan, karena sebentar lagi kami akan mati.

Ibu itu menggigil, dan tangisnya melengking-lengking. Begitu memilukan.
Tak sengaja mata kami bertabrakan, seperti memohon pertolonganku. Aku merinding! Kekuatan apa yang kupunya untuk menolongnya, Yesus?
“Tidak, tidak! Ini anak saya satu-satunya.
Saya mohon, jangan, Amang, ampunilah anak saya!”
Kapal mulai miring.

“Selamatkan anak itu, Tiur!” seru Cagar.
“Aku?!”
“Kita bisa berenang, jangan takut!”
Aku gemetaran membuat tanda salib.
Sebentar lagi, kapal akan karam. Ya Yesus, aku hanya gadis penakut di masa kecil, dan cerita memilukan itu akan terulang kembali?

“Tunggu!” Seruku marah, mengaum seperti singa. “Hentikan perbuatan itu!”
Petugas kapal memandangku tidak percaya. “Nggak adil mengorbankan anak ini! Sekelompok anak muda itu yang harus disalahkan! Lihat, berapa botol minuman keras yang dibuang ke laut? Bapak bisa dengar kan, dari tadi mereka teriak-teriak, menyanyi sekencang-kencangnya?!

Dan Bapak akhirnya diam saja, tak berani menegur mereka?”
Petugas kapal terdiam.
“Mari mohon ampun kepada Bapa di surga! Kita sesali dosa-dosa kita!
Buang semua kotoran dari hati kita! Peluk, peluk, peluk kaki Tuhan, meratap, meratap, mengemis, mengemis mohon pertolongan-Nya, menyesali semua kesombongan dan keserakahan kita! Ayo, berdoa semua!”

Kututup mataku. Tanganku gemetaran memohon pertolongan-Nya. Kudengar berbagai suara ratapan, merintih, menangis, menjerit pilu memanggil Yesus, histeris memanggil nama Bapa! Semua menangis penuh penyesalan.

Kurasakan air mata Cagar dan air mataku jatuh menyentuh tanganku yang gemetaran.
Lima menit telah berlalu. Pelan, kubuka mataku. Keajaibankah ini, Tuhan?
Kapal tidak karam! Angin dan hujan mulai reda!

“Tuhan!” jerit anak muda itu hampir bersamaan. “Terima kasih, Tuhan, terima kasih atas pengampunan-Mu…”
Penumpang berpeluk-pelukan dan bertangis-tangisan. Teriakan terima kasih yang tulus kepada Tuhan dari semua penumpang, berkumandang malam ini, memecah kesunyian danau.

Ibu anak itu,  menghambur memelukku sampai aku sulit bergerak. Kupandangi langit yang tidak lagi hitam. Aku mengerti sekarang, tidak ada mitos.  Ini adalah fakta!

Angin dan hujan badai itu datang dari Tuhan, sebagai teguran supaya umat-Nya menjaga dan mencintai alam ciptaan-Nya.

Ah, tak sabar aku menulis pengalaman menghebohkan ini. Akan kutambahkan di tulisanku, betapa gemetarnya Cagar waktu mengatakan, “Tiur, sebelum kapal ini karam, aku tidak malu lagi mengakui bahwa aku mencintaimu! Aku Mencintaimu!”

 

Wita Alamanda Simbolon

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini