Kisah Dua Misionaris di Bumi Borneo

531
Lewat Sungai: Perjalanan kunjungan para pastor SMM ke Stasi Tanjung Lokang pada tahun 2009.
[NN/Dok.SMM]

HIDUPKATOLIK.com – Dua misionaris SMM semula mau bertolak ke Afrika. Namun Tuhan membuka jalan untuk menjadi misionaris di Bumi Borneo. Dua misionaris asal Eropa ini menjadi saksi tumbuh kembang Keuskupan Sintang yang dibangun pendahulunya dari Tarekat SMM. Mereka berdua juga menjadi contoh perjuangan para misonaris yang berjuang membuka “ladang Tuhan” di pedalaman Kalimantan.

Hari sudah malam, rumah komunitas Serikat Maria Montfortan di Sintang, Kalimantan Barat gelap gulita, ketika RP Nicholaas Christiaan Schneiders SMM tiba di tempat itu. Pastor Nicho hanya ingat, waktu itu Selasa dalam masa Pekan Suci, Februari 1969. Kedatangannya di sambut Uskup Sintang waktu itu, Mgr Lambertus van Kessel SMM.

Pastor Nicho hanya sempat istirahat sejenak, karena Mgr Lambertus langsung mengajaknya mengenal medan pelayanan. “Pagi-pagi buta langsung di ajak. Saya sama sekali belum melihat rumah komunitas Sintang karena gelap dan belum ada listrik,” tuturnya. Ia pun mengiringi keberangkatan Uskup yang akan memimpin Misa Krisma di Nanga Pinoh pada Pekan Suci.

Menyusuri sungai, Mgr Lambertus menahkodai sendiri perahu motornya, sembari bercerita tentang kebudayaan Kalimantan dan tugas-tugas yang akan diampu Pastor Nicho. Hanya satu hari berselang, tak lama setelah Misa Krisma, ia kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri sungai. Sabtu sore, menjelang Vigili Paskah, Pastor Nicho tiba di Paroki Nanga Serawai. Di tempat itu, ia disambut dua imam rekannya yang telah lebih dulu berkarya di sana. Pastor Nicho bergabung dalam pelayanan bersama dua imam itu, yakni RP Anton Bernard SMM dan RP Huubert Swerts SMM. Karya di paroki ini dijalani Pastor Nicho selama 23 tahun.

Enam tahun berselang, kondisi medan karya Keuskupan Sintang tidak jauh ber beda. RP Wim Peeters SMM, yang tiba di Sintang pada akhir 1975, juga meng hadapi beratnya medan pelayanan yang sama. Ia ditugaskan di Paroki Bika Nazaret. Paroki ini melayani umat yang tersebar di 80 kampung di sekitar pinggir sungai Kapuas, Manday, Kalis, Bunut, Suruk, Mentebah, Embaloh, dan Suay. Di paroki ini ia biasa berkeliling lewat sungai. Tentu, ia mesti berhati-hati agar perahunya tak terantuk batu. Ia juga harus berjalan berjam-jam melewati rawa-rawa dengan menggunakan tatakan papan yang berfungsi se bagai jalan. perjalanan turne ini bisa memakan waktu tiga minggu hingga sebulan. Dua tahun pertama berkarya Pastor Wim ditemani pemandu jalan dan pengemudi perahu. Pada tahun ketiga setelah paham seluk-beluk sungai dan jalan, ia langsung turne sendiri.

Tak direncanakan
Boleh dibilang, penugasan kedua misionaris SMM ke Bumi Borneo ini tak direncanakan. Pastor Nicho yang ditahbiskan menjadi imam pada 18 Maret 1966 di Negeri Belanda sebenarnya sudah menyiapkan diri untuk berkarya di Kongo, Afrika Tengah. Bahkan, ia sudah mempersiapkan diri dengan belajar bahasa Perancis, Lenggala (bahasa masyarakat Kongo), kursus medis dan misiologi. Rencana itu batal lantaran Revolusi Kongo yang meletus 1964 tak kunjung usai. Banyak imam, biarawan dan biarawati tewas dalam revolusi itu. Provinsial SMM belum bisa memberikan kepastian tugas Pastor Nicho karena situasi politik tanah misi yang mau dituju tak menentu. Maka, untuk sementara, Pastor Nicho ditugaskan mengurus administrasi suatu komunitas SMM di Belanda.

Saat pesta St Monfort, 28 April 1967, Pastor Nicho menemui wakil provinsial. Ia menanyakan kembali tugasnya ke Kongo. Wakil provinsial tidak bisa memastikan ke Kongo. Ia malah menawarkan tugas baru yakni menjadi misionaris di Kalimantan. Kebetulan, ketika itu, Provinsial SMM sedang berada di Kalimantan dan menulis surat tentang kebutuhan misionaris di Bumi Borneo itu. ”Cari secepat dan sebanyak mungkin tenaga untuk Borneo,” demikian bunyi surat yang dibacakan wakil provinsial seperti ditirukan Pastor Nicho kemudian. Pastor Nicho tak berpikir panjang, langsung mengiyakan tawaran itu. Ia berangkat ke Jakarta pada 1968. Selanjutnya ia menuju Yogyakarta untuk belajar bahasa Indonesia selama enam bulan di Pusat Kateketik (Puskat).

Demikian halnya Pastor Wim. Ia sama sekali tak pernah berpikir dan punya keinginan berkarya di Indonesia. Ia menghabiskan tahun diakonat di Portugal. Bahkan ia di siapkan untuk menjadi misionaris di Mozambik, Afrika Timur. Tetapi, pada 1974 meletuslah Revolusi Portugal. Akibatnya, negara-negara jajahan memisahkan diri, termasuk Mozambik, Angola, dan Timor-Timur. Mozambik bahkan menjadi negara komunis yang melarang misionaris masuk.

Pastor Wimpun ditawari berkarya di Indonesia. Ia langsung menjawab “ya”. Ia tahu, medan di Kalimantan sangat berat. Pasti akan menguras tenaganya. Ia pun sadar kondisi fisiknya kurang mendukung. Ia mudah keseleo. Anehnya, hasil pemeriksaan dokter tidak menunjukkan gejala itu. Pastor Wim tiba di Jakarta 3 April 1975. Sama seperti Pastor Nicho, ia pun belajar bahasa Indonesia di Puskat, Yogyakarta.

Awal Mula Gereja Sintang
Akhir April 2014, SMM merayakan 75 tahun berkarya di Indonesia. Perayaan di adakan di Putussibau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Dua misionaris asal Eropa, yakni Pastor Nicho dan Pastor Wim termasuk di antara misionaris SMM yang hadir di acara itu. Keduanya adalah saksi tumbuh-mekarnya kehidupan iman Katolik di Keuskupan Sintang.

Jejak misi di Sintang berawal dari kunjungan RP I.P.N. Sanders pada 1816. Lalu, pada 1861-1862, tercatat ada pastor militer berkunjung kemasyarakat Dayak. Pada 1851-1852, Pastor Sanders datang kembali. Dalam catatanya, Pastor Sanders menegaskan tentang misi di Kalimantan yang harus mendapat perhatian. Pada 7 Agustus 1884, pemerintah Hindia Belanda mengizinkan RP Walterus Staal SJ melayani 200-an umat Katolik di Singkawang. Baru pada tahun berikutnya, Pastor Walterus mengunjungi Sambas, Mempawah, dan Sintang. Pada 1891 dimulai juga karya misi di Sejiram oleh RP Looymans SJ. Dalam laporan terakhir, pada 1897, Pastor Looy mans mencatat ada 467 orang di baptis di Sejiram, Putussibau, dan Nanga Badau.

Pada 1905 Kalimantan ditetapkan sebagai Prefektur Apostolik, pemekaran dari Vikariat Batavia. RP Giovanni Pacificio Bos OFMCap diangkat sebagai Prefek Apsotolik. Karena wilayah pelayanannya terlalu luas, Mgr Pacificio Bos meminta kongregasi lain untuk ambil bagian. Pada 1926 Kalimantan Timur dan Selatan diserahkan kepada Misionaris Keluarga Kudus (MSF). Sepuluh tahun kemudian, Prefek Apostolik Kalimantan Mgr Tarsisius van Valenberg OFMCap menghubungi SMM Belanda. Tetapi, SMM belum menanggapi.

Pada 5 Mei 1938 SMM diminta kembali berkarya di Kalimantan. Kali ini, SMM menyanggupi permintaan ini. Maka, pada 23 September 1938, Propaganda Fide (sekarang Kongregasi Evangelisasi Bangsa-Bangsa) menyerahkan wilayah Karesidenan Sintang menjadi wilayah misi SMM.

SMM mengutus misionarisnya, yakni RP Harry L’Ortye SMM, RP Jan Linsen SMM, dan Br Bruno SMM berangkat ke Sintang. Mereka tiba di Pontianak pada 7 April 1939, dan melanjutkan perjalanan ke Sintang pada 20 April. Dari situ mereka berlayar lagi ke Bika, dan tiba pada 29 April 1939. Bika inilah yang men jadi tempat tinggal pertama SMM di Indonesia dan tanggal kedatangannya itu ditetapkan sebagai awal karya pa ra misonaris SMM. Sejak itu, berdatanganlah para misionaris tarekat SMM ke Sintang.

Berbagai Karya
Menurut Pastor Nicho, tugas yang harus diembannya sungguh makan banyak wak tu. Selain sebagai imam, ia juga mengajar di SMP Katolik Misi. Bahkan, ia juga harus mengobati orang, karena pada 1969 di Nanga Serawai belum ada bidan, dokter, ataupun mantri kesehatan. Paroki membuat semacam poliklinik. Namanya, “Kamar Obat”. Di sebut demikian karena ruangannya sempit penuh dengan obat-obatan.

Di “Kamar Obat” itu berbagai macam penyakit ditangani, kecuali operasi. Jam praktik dibuka setiap hari, pukul 08.00 sampai 13.00. “Kamar Obat” ramai diku njungi. Bahkan sebelum pukul 08.00 pagi, banyak orang — baik Katolik maupun masyarakat umum — sudah antre.

Dalam pelayanan ini, penyakit yang sering ditemukan adalah malaria. Banyak juga pasien luka-luka akibat terkena panah blantik ( jebakan binatang) yang menancap pada paha kaki. Selain itu Pastor Nicho juga melayani cabut gigi dan menjadi bidan. Seringkali ia di panggil untuk membantu persalinan. Ia juga pernah menemukan pasien yang tangannya hampir putus. Kata yang mengantar, pasien itu tidak sengaja menyabet tangannya sendiri dengan parang ketika mabuk.

Karya kesehatan ini hanya berlangsung tujuh tahun, setelah ada mantri kesehatan yang ditugaskan pemerintah daerah hadir di tempat ini. Namun, kenyataannya, masyarakat tetap datang ke “Kamar Obat”. Alasannya, biaya yang ditetapkan mantri kesehatan terbilang mahal. Karena kurang laku, petugas pemda itu melaporkan praktek “Kamar Obat” ke Dinas Kesehatan di Pontianak. Ada surat teguran dua kali. Sampai akhirnya, Mgr Lambertus sendiri menghubungi Dinas Kesehatan untuk minta izin agar diperbolehkan mengobati orang saat turne ke kampung-kampung. Izin diberikan, tetapi “Kamar Obat” harus ditutup.

Turne, bagi Pastor Wim, merupakan aktivitas yang sering dilakukan. Perjalanan turne kadang terkendala bahan bakar. Waktu itu tidak ada orang berjualan bahan bakar di pinggir sungai. “Jadi harus membawa sepuluh jerigen minyak untuk menggerakkan mesin perahu,” katanya.

Suatu kali, ia turne lewat sungai Suay. Sampai di suatu tikungan, terlihat tumpukan kayu yang disebut kapar. Kalau sudah bertemu kapar biasa nya perahu tidak bisa jalan. Untuk melewatinya, kapar itu harus dibongkar. Tidak ada pilihan, Pastor Wimpun meminggirkan perahu dan berenang menuju tikungan sungai untuk membersihkan kapar. Hampir dua jam ia berjuang menyingkirkan kapar itu. Ketika ia mengangkat batang kayu yang cukup besar, tulang punggungnya keseleo. Ia kesakitan. Untung, tidak jauh dari tempat itu ada kampung. Ia berbaring di kampung itu beberapa hari sampai rasa sakitnya reda, sebelum pulang kepastoran.

Pada 1978, Pastor Wim juga terkena penyakit usus, tipes, dan TBC. Ia di minta pulang ke Belanda untuk menjalani operasi tulang punggung. Setelah pulih, pada 1979, ia kembali dan menjadi Pastor Rekan di Putussibau. Pada tahun itu juga mulai ada calon misionaris SMM dari Indonesia. Selain mengajar bahasa Inggris dan agama di sekolah, Pastor Wim juga membimbing para calon anggota SMM tersebut. Maka, pendidikan novisiat SMM di Indonesia dimulai. Pastor Wim mengampu tugas sebagai Magister Novis, yang ia jalani selama 25 tahun.

Pewartaaan dari Sekolah
Menurut Pastor Nicho, pewartaan berjalan efektif ketika SMM menyeleng garakan pendidikan SMP sekaligus asrama putra. Para remaja yang masuk, 95 persen tidak beragama, tetapi ikut pelajaran agama Katolik. Setelah dua tahun ikut pelajaran, mereka boleh menentukan untuk dibaptis atau tidak. Ketika ia turne ke stasi, mereka yang telah di baptis ikut Misa. Orangtua mereka tertarik, dan duduk melihat di ambang pintu bilik Rumah Betang. Akhirnya, mereka pun minta dibaptis. Malahan, ada orangtua yang datang minta di baptis lantaran takut tidak dapat berkumpul di surga. ”Anak cucu saya sudah Katolik, kalau saya tidak dibaptis, bisa jadi tidak masuk surga yang sama,” kata Pastor Nicho mengenang.

Pastor Wim memberi catatan, bahwa umat sungguh memerlukan bimbingan. Oleh karena itu, ia mau datang kekampung, di mana masyarakat masih memeluk animisme. Waktu itu masih banyak umat yang percaya pada dukun, terutama pada saat menemui masalah atau sakit. Karena kewalahan melayani umat, Pastor Wim kemudian mulai mengkader pemimpin umat. Dengan kursus, mereka dilatih untuk memimpin ibadat Minggu, mengajar agama, dan berkhotbah.

Selain itu, Pastor Wim biasanya membawa sound slide yang diperoleh dari Puskat. Karena waktu itu belum ada listrik, sound slide menjadi hiburan pada malam hari. Film yang diputar, antara lain Empat Sehat Lima Sempurna, Betapa Indahnya Indonesia. Pada waktu itu umat pada umumnya sudah bisa berbahasa Indonesia, namun masih berkomunikasi dengan bahasa setempat. Kalau dalam sound slide itu ada kata-kata yang lucu, umat tertawa. Salah satu kata yang membuat mereka tertawa adalah kata “butuh”. Kata “butuh” dalam bahasa Dayak berarti alat kelamin laki-laki. “Jadi kalau mendengar kata-kata itu mereka tertawa terbahak-bahak,” kisah Pastor Wim.

Keesokan harinya, Pastor Wim kadang membaptis bayi dan memberkati pernikah an. Pada saat bertemu umat ini, Pastor Wim juga memanfaatkan waktu untuk mendengarkan laporan dari pemimpin umat tentang kegiatan atau rencana kegiatan mereka.

Menjadi “dokter”
Pengalaman memang segudang. Namun, Pastor Nicho terkesan dengan apa yang dialaminya pada 1970. Suatu ketika, seorang ibu datang dengan anaknya yang berumur setengah tahun. Anak itu kurus sekali. Ia tidak mau menyusu ibunya. Pastor Nicho bingung, karena bayi itu sakit parah. Akhirnya, ia memberikan injeksi larutan garam, dan meminta ibu itu kembali lagi esok harinya. Pastor Nicho memperkirakan, dalam beberapa jam lagi anak ini akan mati. Tetapi, esok paginya ibu itu datang, bayinya tidak mati. Pastor Nicho heran, lalu memberikan lagi suntikan larutan air garam. Pada hari ketiga, ibu itu datang dengan wajah gembira dan berkata, “Anakku sudah mau minum susu lagi.” Setelah hari itu, ibu tersebut tidak kembali lagi.

Pastor Nicho juga pernah kedatangan anak laki-laki berumur 10 tahun, sakit te tanus akut. Orangtuanya menaruh kayu di mulut anak itu agar lidahnya tidak ter gigit. Pastor Nicho tidak bisa berbuat banyak dan hanya memberikan obat peringan rasa sakit dan meminta supaya di rujuk ke Rumah Sakit di Sintang. Perjalanan dari Nanga Serawai sampai Sintang biasa ditempuh dua hari. Menurut kabar yang didengar, sebelum sampai di Sintang anak tersebut meninggal.

Kisah Pastor Wim lain lagi. Sejak kecil ia alergi alkohol. Maka, kalau ia minum tuak biasanya langsung tidak enak badan. Umat tahu, bahwa Pastor Wim akan sakit jika minum tuak. Maka mereka tidak menyediakan tuak untuknya. Sebagai ganti mereka memberikan air kelapa.

Pada saat turne itu juga, karena tidak ada jalan darat jika sudah sampai kampung ia harus tinggal di rumah umat, mandi di sungai. “Kalau buang air besar, saya harus bawa tongkat untuk mengusir babi yang akan mengerumuni,” katanya sambil tertawa.

Saat ini hutan di wilayah Keuskupan Sintang masih luas, tetapi semakin ber kurang karena dijadikan ladang, kebon karet, atau kebon kelapa sawit. Masih banyak stasi-stasi yang hanya bisa dicapai dengan jalan sungai. Stasi stasi ini berada di pedalaman daerah perbukitan. Memang, sudah banyak jalan yang bisa dilewati kendaraan roda empat dan motor untuk mencapai kampung- kampung pelosok. Namun, pada umumnya berupa jalan beraspal kasar, atau hanya hamparan kerikil dan pasir, bahkan jalan tanah liat.

A. Nendro Saputro

HIDUP NO.20, 18 Mei 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini