HIDUPKATOLIK.com – Aneka pertanyaan tentang Maria kerap dilontarkan para katekumen berlatar Protestan. Para katekis pun berjuang mendampingi dengan kasih proses inisiasi calon baptis dari Gereja lain ini. Harapannya, mereka punya pemahaman yang benar dan menjadi devosan Maria sejati.
Hampir dua tahun, seorang gadis asal Sumatra Utara menjalani katekumenat di Paroki St Stefanus Cilandak, Jakarta Selatan. Salah satu alasannya, ia ingin mengikuti keyakinan calon suaminya. Gadis yang sejak kecil tumbuh dalam ajaran Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) ini butuh refleksi dan belajar ekstra keras. Ia tak bisa begitu saja menerima seluruh ajaran Gereja Katolik –termasuk dogma Maria.
Selain itu, gadis ini ialah anak salah satu penatua jemaat Gereja HKBP. Ia berpendapat, Maria hidup seperti perempuan biasa dan punya anak lagi setelah melahirkan Yesus. Maka Yesus punya saudara-saudari kandung. Lalu mengapa Gereja Katolik mengajarkan Maria yang tetap perawan?
Ia pun mendasarkan pertanyaan itu pada sejumlah ayat Kitab Suci, seperti: Mat 12:46, 13:55-56, Luk 8:19, Mrk 3:31, Yoh 7:1-10, Kis 1:14, dan Gal 1:19. Dalam ayat-ayat itu dikatakan, Maria (Ibu Yesus) bertemu dengan Putranya bersama saudara-saudara-Nya.
Menjawab pertanyaan gadis itu, sang katekis membuka jawaban dengan sebuah pengalaman. Katekis itu mulai bercerita satu pengalaman di tempat kerjanya. Seorang karyawan asal Medan, Sumatra Utara pernah mengajukan izin cuti padanya. “Apa alasanmu cuti?” tanyanya. Karyawan itu menjawab, “Menikahkan anak saya.”
“Lho bukannya anak-anakmu masih kecil?” tanyanya keheranan.
“Maaf Pak, maksud saya, anak saudara. Kami di sana sudah biasa menganggap anak saudara seperti anak kandung sendiri,” jelas si karyawan.
Kisah itu lalu dianalogikan oleh sang katekis untuk menjelaskan pertanyaan katekumen yang ia dampinginya. Ia mengatakan, kebudayaan berpengaruh dalam penulisan Kitab Suci. “Dalam konteks pertanyaanmu,” terang katekis, “tak bisa langsung dipastikan bahwa saudara dan saudari yang menemui Yesus ialah keluarga kandung-Nya. Mungkin mereka ini sepupu-Nya. Kitab Suci perlu dipahami secara menyeluruh, termasuk latar budayanya. Jangan hanya per bagian,” tandasnya.
Sepenggal cerita itu menjadi pengalaman berkesan bagi Yudas Swikanto, katekis yang sudah lebih dari seperempat abad mendampingi katekumen di Paroki Cilandak. Aneka pergulatan katekumen dalam bentuk pertanyaan seperti itu menjadi bunga-bunga yang kerap mewarnai proses pendampingan para katekumen dari Gereja lain yang ingin bersatu dalam Gereja Katolik.
Memahami Maria
Pengalaman disodori aneka pertanyaan soal Maria juga dialami C.B. Sedyanto, katekis Paroki St Mikael Kranji, Bekasi, Jawa Barat. Menurutnya, wajar jika para katekumen yang berlatar Protestan menanyakannya. Dalam Gereja Protestan, informasi tentang Maria begitu sedikit dan berbeda dengan praksis ajaran Katolik. Maria hanya disebut sebagai Ibu Yesus. Sementara katekumen dengan latar Islam banyak mengetahui Maria dari Surat Siti Mariyam (Maria). Dalam surat itu, Mariyam di kenal sebagai pribadi yang saleh dan setia.
Sekitar 2004-2006, Sedyanto pernah mendampingi seorang katekumen perempuan dari Gereja Bethani. Dalam suatu pertemuan, katekumen ini melontarkan beberapa pertanyaan padanya. Katekumen ini menanyakan soal keberadaan patung, penghormatan Katolik pada Maria, dan beberapa gelar Maria, seperti: Bunda Allah, Mempelai Roh Kudus, serta Bunda Perantara. “Patung-patung itu berhala! Kalau Anda berdoa di depan patung, berarti Anda menyembah berhala kan?” ungkap Sedyanto meniru pertanyaan katekumen itu.
Sedyanto tak langsung menjawab. Ia justru meminta foto orangtua si katekumen, tapi saat itu tidak dibawa. Lalu ia berpesan pada si katekumen agar membawanya minggu berikutnya. Permintaan sang katekis pun dipenuhi oleh si katekumen. Menerima foto orang tua si katekumen, Sedyanto berkomentar, “Wah orangtuamu cakep ya. Bagaimana kalau foto ini saya taruh di lantai dan saya injak-injak? Apakah kamu marah?”.
“Jangan!” sahut si katekumen, “Foto itulah yang selalu saya pandang saat saya rindu mereka. Bahkan saya sering mencium foto itu. Memandang foto itu, saya seolah berada di dekat mereka, meski mereka jauh.”
Dengan adegan itu, Sedyanto melihat, si katekumen memahami maksudnya. Ia menegaskan, foto dan patung bisa menciptakan kedekatan dengan figur yang kita pikirkan! Ia pun kembali bertanya pada si katekumen, “Mengapa kamu meng hormati ibumu?”
“Ibulah orang yang melahirkan, membesarkan, merawat dan mendidik saya,” jawabnya.
“Itulah yang disebut keutamaan seorang ibu! Jika kamu bisa melihat keutamaan itu, pasti kamu menghormati ibu,” tandas Sedyanto, “Lantas keutamaan apa yang kamu lihat dari Maria?”
“Maria adalah Ibu Yesus,” jawabnya singkat.
“Lalu siapakah Yesus itu?” Sedyanto mengejar dengan pertanyaan lagi.
“Yesus adalah Allah Putra,” pungkas di katekumen.
“Jika Yesus adalah Allah Putra, Maria adalah Bunda Allah. Bila kamu menghormati Yesus, kenapa kamu tidak menghormati Maria sebagai Ibu Yesus? Gereja Katolik menghormati Bunda Maria, bukan menyembahnya! Sebab hanya Allah yang kita sembah,” jelas katekis yang sudah mengabdi sejak 1992 itu.
Menurut Sedyanto, umat Katolik menyebut Maria sebagai Mempelai Roh Kudus karena ia mengandung atas kuasa Roh kudus (bdk. Luk 1:26-38). Selain itu, Maria juga disebut Bunda Perantara. Gelar ini berdasarkan kisah Perkawinan di Kana (Yoh 2:1-11). Maria yang tahu tuan pesta kehabisan anggur, mohon pada Putranya agar membantu. Tanpa perantaraan permohonan Maria, tak ada mukjizat Kana. “Inilah sebabnya mengapa Gereja Katolik amat dekat dengan Maria. Ibu Yesus ini setia ikut dalam proses keselamatan,” paparnya.
Pendampingan sang katekis kian memantapkan niat perempuan itu untuk dibaptis. Menjelang upacara permandian, calon baptis itu menghampiri Sedyanto dengan membawa benda-benda rohani: patung Maria, salib dan rosario. Ia minta tolong padanya agar benda-benda itu diberkati Pastor. “Saat itu, saya memberinya nama baptis Magdalena,” kenang Sedyanto. Sejak dibaptis hingga kini, Sedyanto kerap melihat mantan katekumennya itu berdoa di depan Gua Maria di Paroki tiap usai Misa.
Yesus Nomor Satu
Lain halnya dengan Susana Sungarpi dan Antonius Sukirdi, katekis Paroki St Yohanes Bosco, Danau Sunter, Jakarta Utara. Mereka kerap menemui, katekumen berlatar Protestan mengajukan pertanyaan “Mengapa orang Katolik berdoa pada Bunda Maria, dan bukan pada Allah? Lalu, Doa Rosario yang populer mengesankan orang Katolik lebih menghormati Maria ketimbang Yesus!”
Fenomena lain ialah maraknya umat Katolik yang berziarah ke Gua Maria, baik di dalam maupun luar negeri. Menurut beberapa biro jasa perjalanan rohani, seperti: Stella Kwarta, Christour, SC Holiday, perjalanan ziarah ke Gua Maria biasa dilakukan umat Katolik. Umat Kristen Protestan biasanya pergi ke Tanah Suci, situs-situs petilasan Yesus. Meski sangat jarang, ada juga umat Kristen yang ikut berziarah ke Gua Maria, misal: Fatima di Portugal, Lourdes di Perancis. Namun umat Kristen ini pasti akan tergabung dalam kelompok umat Katolik yang menempuh perjalanan keliling Eropa. Artinya, tak hanya mengunjungi Gua Maria. Bagi umat Kristen, fenomena ini seolah kian mengafirmasi bahwa orang Katolik berdoa pada Maria dan bukan Allah, serta Maria lebih dihormati ketimbang Yesus.
Menanggapi hal ini, Anton menjelaskan, tidak benar jika umat Katolik berdoa pada Maria. Menurutnya, kita selalu berdoa hanya pada Allah dengan peran taraan Maria. Sebagai Bunda Allah, Maria menjadi perantara pada Yesus Putranya. Permohonan seorang Ibu tentu saja punya nilai relasi yang pasti sangat dekat dengan Sang Putra. Jadi jika punya permohonan pada Yesus, mintalah pada Ibu-Nya!
Tentang Doa Rosario, Susan mengupas kebenaran: umat Katolik tak pernah menomorsatukan Maria. Yesuslah nomor satu sepanjang segala abad! Dalam peristiwa Rosario, umat Katolik justru diajak mendalami berbagai misteri hidup Yesus. Sebagai Ibu, Maria selalu hadir dalam proses keselamatan yang menjadi visi-misi Yesus di tengah umat- Nya. Yang ingin ditegaskan ialah Maria menjadi Ibu yang sangat dekat dengan Putranya dan keteladanan hidup umat beriman.
Pendampingan Kasih
Pengalaman empat katekis yang mendampingi para katekumen berlatar Protestan itu menjadi potret pergumulan memahami latar belakang ajaran Gereja lain dan proses menerima ajaran baru dalam Gereja Katolik –terutama tentang Maria. Model pendampingan yang reflektif menjadi modal merangkul dan memahami saudara-saudari calon baptis dari Gereja lain. Para katekis ini biasanya mulai dengan mengapresiasi keseriusan para katekumen belajar memahami ajaran baru. Mereka pun berusaha mendorong para katekumen untuk bertanya dan memperdalam materi yang diajarkan.
Dalam proses pendampingan, para katekis ini juga merasa diteguhkan dan diperkaya wawasan tentang kekatolikannya. Di sisi lain, mereka terus berusaha memperluas khazanah pengetahuan mereka tentang Gereja Katolik. Apalagi di era teknologi informasi ini, para katekumen sudah terbiasa mencari informasi sendiri tentang kekatolikan dalam dunia maya. Inilah yang menjadi tantangan sekaligus peluang pendewasaan iman dan tumbuh menjadi katekis handal.
Dalam katekese tentang Maria, para katekis ini merasa lebih mudah menjelaskan dogma melalui refleksi dari pengalaman keseharian. Pernik-pernik pengalaman konkrit itu lebih mudah ditangkap dan dipahami karena langsung bersentuhan dengan yang bersangkutan. Setelah para katekumen paham, barulah diberi landasan biblis dan ajaran resmi Gereja. Ketika katekese tentang Maria dapat dipahami dengan baik dan mendalam, benih devosi dalam anggota baru Gereja Katolikpun seolah telah disemai. Oleh karena itu, tak heran jika banyak umat Katolik yang berasal dari Gereja lain menjadi devosan Maria yang militan.
Yanuari Marwanto
Laporan: Maria Pertiwi
HIDUP NO.21, 25 Mei 2014