Gerakan Layanan Prima KAJ

194
Butuh komitmen: Para pengurus dewan paroki dan beberapa imam juga turut belajar bersama melayani umat.
[NN/Dok.Panitia]

HIDUPKATOLIK.com – Para pegawai sekretariat paroki diajak turut serta dalam gerakan menghadirkan wajah Gereja yang ramah dan penuh pelayanan. Gerakan ini juga membutuhkan komitmen kuat para pemimpin serta seluruh umat.

Sebanyak 123 pegawai sekretariat paroki se-Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) berhimpun dan belajar bersama di aula  Jakarta, Selasa, 29/4. Di antara mereka, juga ada para pengurus dewan paroki dan beberapa pastor paroki yang turut serta belajar dan mengasah keterampilan bersama. Selama satu hari penuh, mereka bergumul dalam tema “Pelayanan Sepenuh Hati”. Dari 63 paroki di KAJ, hanya lima paroki yang tidak mengirimkan perwakilannya.

Acara ini menghadirkan fasilitator dan trainer dari komunitas Sumber Daya Rasuli (Sudara) yang tahun ini merayakan ulang tahun ke-20. Sudara adalah komunitas umat Katolik yang berkarya sebagai praktisi, konsultan, dan trainer dalam bidang pemberdayaan manusia dari berbagai perusahaan. Kegiatan ini juga menggandeng anggota Forum Sekretariat Paroki se-Dekenat Jakarta Barat II sebagai panitia pelaksana.

Dalam seminar dan pelatihan ini, para pegawai sekretariat dibekali dengan pola pikir untuk melayani. Selain itu, mereka juga mengasah keterampilan melayani umat, seperti menerima panggilan telepon, menyapa umat, meng hadapi keluhan umat, dan yang lain. Menurut seorang trainer dari Tim Sudara, Andreas Hengky Gosyanto, dalam melayani umat, ada prinsip yang sederhana. “Kita harus mencoba keluar dari diri kita, dan menempatkan diri kita sebagai orang yang akan dilayani. Dengan begitu, kita bisa melayani sesuai keinginan mereka yang dilayani.”

Proses ini memang barulah awal mula. Ada sebuah gerakan yang hendak digulirkan melalui acara semacam ini, yakni gerakan untuk menghadirkan wajah Gereja yang semakin ramah dan melayani dengan prima.

Komitmen bersama
Pelayanan yang tepat, cepat, dan tuntas, telah dipakai banyak perusahaan sebagai strategi bersaing. Pelayanan prima, menurut Andreas Hengky, menjadi keunggulan bersaing bagi banyak perusahaan. Gereja memang bukan perusahaan. Tetapi, Gereja sejatinya adalah lembaga pelayanan. Namun, kerapkali umat merasa tidak puas dengan pelayanan yang diberikan Gereja. “Ini kan sesuatu yang menyesakkan dada,” ucap Andreas Hengky.

Sementara Yohanes Rengka, yang juga tim fasilitator dari komunitas Sudara mengatakan, Gereja Katolik tertinggal jauh. Banyak lembaga keagamaan di luar Gereja Katolik yang telah menyadari bahwa pelayanan terhadap umat merupakan hal yang amat penting. “Kita sering bicara tentang spiritualitas pelayanan, tapi dalam praktik keseharian kita melupakan hal itu,” tegasnya.

Menurut Andreas Hengky, melayani umat tidak cukup dengan setulus hati. Melayani juga membutuhkan kemampuan dan keterampilan. “Nah, inilah yang harus dikelola. Apakah cukup hanya melatih dan membekali mereka yang berada di sekretariat paroki? Tentu saja tidak. Seluruh jajaran dalam paroki harus belajar dan dibekali cara melayani umat,” papar Andreas Hengky. Yohanes Rengka menimpali, gerakan pelayanan prima ini tidak mungkin berkelanjutan, jika tanpa komitmen dari para pemimpin lembaga Gereja.

Butuh teladan
Dalam pelatihan sehari ini, para pegawai sekretariat memberikan rekomendasi, bahwa mereka juga membutuhkan role model, orang yang bisa menjadi teladan. “Dan role model itu bisa dimulai dari para pastor paroki. Para pastor paroki sebenarnya tanpa harus dilatih bisa menunjukkan tindakan dan ucapan sebagai pelayan. Karena, jati diri mereka kan seorang gembala yang melayani,” ucap Sekretaris Tim Karya Pastoral KAJ, Felix Iwan Wijayanto.

Yohanes Rengka pun mengamini hal ini. Gerakan untuk membudayakan layanan prima membutuhkan pemimpin yang kuat. Para pemimpin ini akan sangat menentukan gerakan ini terus bergulir. “Jika tidak ada role model yang bisa dilihat dengan nyata, akan sulit terwujud,” tegas Yohanes Rengka.

Fase gerakan
Gerakan ini, menurut Andreas Hengky, menggunakan metode atau pendekatan total quality service. Dalam metode ini ada lima fase. Fase pertama adalah survei “konsumen”. Yang dimaksud “konsumen” di sini adalah umat dan sesama rekan kerja, termasuk para pengurus dewan paroki, para ketua wilayah dan lingkungan, serta para pastor paroki. Hasil survei ini akan menentukan indeks kepuasan umat di setiap paroki yang disurvei. “Penilaian terhadap pelayanan yang paling valid adalah dari konsumen atau dalam hal ini adalah umat,” tegas Andreas Hengky.

Fase kedua adalah menformulasikan strategi pelayanan. Dari hasil survei itu, kata Andreas Hengky, bisa dibuat sebuah formulasi strategi pelayanan yang terukur, beserta indikator-indikator penilaian atas implementasi dari strategi tersebut.

Kemudian pada fase ketiga diadakan pelatihan dan pembekalan sumber daya manusia. Ini dibuat untuk mendukung formulasi strategi pelayanan yang telah dibuat, agar sungguh bisa dilaksanakan. “Rencana, kami juga akan mengadakan training for trainer yang bisa diikuti anggota dewan paroki, sehingga mereka bisa membuat pelatihan sendiri di paroki-paroki,” urai Andreas Hengky.

Pada fase keempat dilakukan analisa proses. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi beberapa prosedur kerja yang mungkin bisa membuat kerumitan. Maka, perlu membuat prosedur-prosedur yang lebih memudahkan dalam memberikan pelayanan kepada umat. “Pada fase ini, juga dibuat standarisasi dalam melayani umat,” ujar Andreas Hengky.

Dan, pada fase kelima, diadakan penilaian-penilaian terhadap strategi pelayanan berdasarkan indikator-indikator yang telah ditetapkan. Setelah mencapai fase kelima ini, perlu dilakukan survei “konsumen” lagi atau kembali ke proses fase pertama.

Kelima fase ini akan bergulir selama satu tahun kedepan. “Satu tahun kedepan, kami akan pantau terus gerakan ini. Gerakan ini butuh monitoring yang ketat,” imbuh Yohanes Rengka.

Kehadiran wajah Gereja yang ramah dan penuh pelayanan tentu menjadi dambaan seluruh umat. Keterlibatan seluruh umat dalam gerakan ini tentu sangat diharapkan. Karena, melayani dengan sungguh, sejatinya juga panggilan setiap anggota Gereja.

Y. Prayogo

HIDUP NO.22, 1 Juni 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini