Awal Gereja Katolik Jawa

2506
Baptisan pertama: Relief baptisan pertama di Sendangsono.
[sendangsono.info]

HIDUPKATOLIK.com – Paus Yohanes Paulus II, dalam khotbah saat berkunjung ke Yogyakarta pada 10 Oktober 1989, mengatakan bahwa hari itu ia berada di jantung Pulau Jawa. Secara khusus, ia mengenang mereka yang telah meletakkan dasar bagi umat-Nya, yaitu Romo Van Lith SJ dan dua muridnya, Mgr Soegijopranata serta IJ Kasimo.

Tanpa Romo Van Lith, Bapa Suci belum tentu bisa mengucapkan kata-kata seperti itu. Bahkan mungkin ia tidak bisa berkhotbah di tengah puluhan ribu umat di Yogyakarta. Romo Van Lith, selama ini memang disebut-sebut sebagai peletak dasar misi Katolik di Jawa. Tonggak sejarah Gereja Katolik di Jawa itu mengacu pada baptisan 171 orang oleh Romo Van Lith di Desa Semagung, Kalibawang, Kulonprogo, DI Yogyakarta, di sebuah sendang (mata air) di bawah pohon angsana.

Misionaris dari Belanda yang mendarat di Semarang 1896 itu ditempatkan di Muntilan setahun kemudian. Ia tinggal di Desa Semampir, di pinggir Kali Lamat. Rekannya, RP Hoovenaar SJ ditugaskan di Mendut, Magelang, Jawa Tengah.

Di antara kedua imam Jesuit itu, ada perbedaan pandangan dalam hal bermisi. Menurut Romo Hoovenaar, keberhasilan misinya adalah dengan penambahan baptisan. Sementara Romo Van Lith yang idealis berpandangan bahwa Kabar Gembira tak mungkin dilakukan dalam ketertindasan dan situasi yang tidak bermartabat. Melalui pendidikan, ia ingin menyejahterakan orang Jawa. Bagi Romo Van Lith menghidupi kekatolikan itu lebih pen ting daripada sekadar memeluk agama Katolik.

Apalagi Romo Van Lith juga menemukan pengalaman pahit. Misi di Jawa pernah mempunyai 30 orang baptisan oleh pendahulunya, Romo Van Hout. Empat orang di antaranya menjadi katekis untuk Muntilan, Magelang, Bedono, dan Ambarawa. Apa yang terjadi? Di antara katekis itu ada yang menilap uang pembelian tanah dan penebusan tanah rakyat dari lintah darat. Dua orang bahkan beristri dua. Selain korupsi yang dilakukan “orang terdekatnya”, iman mereka dangkal sekali. Bahkan terkesan mereka hanya mengincar uang dari karya misionaris itu.

Maka, 1903 Romo Van Lith membuka sekolah guru dengan asrama di Muntilan, mulai dari Normalschool, sekolah guru berbahasa Belanda, pada 1990 atau Kweekschool pada 1904, dan kemudian pendidikan guru-guru kepala pada 1906. Sepuluh tahun kemudian, 1915, ia baru mendirikan sekolah guru putri berasrama di Mendut.

Namun, laiknya karya misionaris, baptisan menjadi salah satu tolok ukur. Sampai akhirnya, karena tak menghasilkan baptisan, Romo Van Lith dianggap gagal. Misi pendidikan di Muntilan akan ditutup dan Romo Van Lith akan ditarik.

Tanpa diduga, suatu sore Sarikromo dari Kalibawang datang kepada Romo Van Lith di Muntilan. Dalam film Kasih Sang Ibu di Perbukitan Menoreh (SAV Puskat, 2004), Sarikromo dilukiskan menderita luka parah di kaki sehingga tak bisa berjalan. Anaknya bertutur dalam film itu, ia sempat “mengasingkan diri” di luar rumah karena bau lukanya tak sedap. Juga digambarkan, Sarikromo berjalan ke Muntilan dengan ngesot, berjalan dengan tangan dan pantat, untuk mencari obat. Sesampai di Muntilan, ia bersua dengan Romo Van Lith. Lukanya dirawat dan bisa sembuh.

Sarikromo tertarik mendengarkan ajaran agama Katolik. Setiba di rumahnya di Kajoran -kini desa di Paroki Promasan- banyak orang berdatangan. Mereka menanyakan ikhwal “mukjizat” penyembuhan kakinya. Sarikromo pun menceritakan apa yang diajarkan Romo Van Lith tentang kekatolikan. Sampai suatu ketika, pada hari Pentakosta, 20 Mei 1904, ia dan tiga orang lainnya – termasuk mertuanya Suratirta dibaptis Romo Van Lith di Muntilan. Keempatnya kemudian keluar masuk kampung di pegunungan Menoreh untuk mewartakan Kabar Gembira. Barnabas Sari kromo pernah bernadar, jika kakinya sembuh ia akan berkeliling ke mana-mana demi “yang menyembuhkan”.

Puncaknya, 14 Desember 1904, Romo Van Lith membaptis 171 orang setempat di Sendangsono. Peristiwa itu dipandang sebagai “kelahiran” Gereja Katolik di antara orang Jawa. Baptisan itu juga menjadi berkat bagi karya Romo Van Lith. Ia diijinkan meneruskan sekolah yang didirikan di Muntilan. Dari sekolah itu lahirlah ratusan guru dan tokoh masyarakat yang beragama Katolik maupun tidak, yang kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Di antaranya adalah Mgr Albertus Soegijapranata, IJ Kasimo, serta perintis kamus bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta.

Berkat jasa dan kegigihan Barnabas Sari kromo mendampingi karya misi Romo Van Lith, Paus Pius XI menganugerahkan penghargaan Pro Ecclesia et Pontifice atas jasanya mengembangkan misi Katolik di Sendangsono dan sekitarnya. Bintang penghargaan itu diserahkan bertepatan dengan ulang tahun ke-25 baptisan Sendangsono, 8 Desember 1929. Ketika itu, RP JB. Prennthaler SJ juga meresmikan Sendangsono sebagai tempat peziarahan.

A. Margana

HIDUP NO.24, 15 Juni 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini