Mengasihi Musuhmu

562

HIDUPKATOLIK.com – Yesus mengajarkan agar kita mengasihi musuh (Mat 5:44). Tentu itu juga berarti mengampuni dan melupakan perbuatan jahatnya. Kalau demikian, apakah kita boleh mengingat “rekam jejak” orang itu dan memperlakukan orang itu dalam bayangan “rekam jejak” itu?

Pieter Kumaunang, Jakarta

Pertama, kata “kasih” yang digunakan Yesus dalam perintah “mengasihi musuh” ialah agape (Yunani), yang berarti menghendaki apa yang baik, berbuat baik, bahkan memohonkan berkat dan mendoakan dia. Penginjil Lukas mengungkapkan hal ini, “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu” (Luk 6:27-28). Jadi, mengasihi musuh berarti menghendaki kebaikan orang itu, baik kini maupun saat mendatang. Tujuan ajaran Yesus ialah agar kita memutuskan rantai kejahatan dan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan.

Kedua, mengasihi musuh pasti juga mencakup mengampuni. Pengampunan diarahkan pada perbuatan salah yang dilakukan, artinya perbuatan salah itu tidak diperhitungkan. Memang seringkali “mengampuni” digandengkan dengan “melupakan” (Inggris: forgive and forget). “Melupakan” di sini berarti tidak lagi memperhitungkan ‘perbuatan salah’ seseorang sebagai sesuatu yang harus mendatangkan hukuman terhadap orang itu. Dalam perlakuan kita terhadap orang itu, perbuatan salah itu seolah tidak ada. Tak ada keinginan untuk membalas, tak ada keinginan untuk memperlakukan secara berbeda, dan tak ada perlakuan negatif yang lain.

Kata “melupakan” tentu tidak bisa diartikan sebagai tidak mengingat-ingat lagi, sejauh menyangkut memory. Harus ditegaskan bahwa mengampuni tidak harus mencakup tindakan menghapus memory. Kemampuan memory berfungsi secara bebas, tak tergantung pada kehendak. Bisa saja seseorang sudah sungguh mengampuni, tapi kenangan pahit dan menyakitkan dari tindakan jahat itu belum hilang dalam memory-nya. Seringkali memory semacam ini kita harus mohon kepada Tuhan agar dihapuskan. Kita sudah sungguh mengampuni, jika memory itu tidak lagi mempengaruhi tindakan kita, baik untuk membalas dendam, memberikan perlakuan yang berbeda, dan yang lain.

Ketiga, perlu kita ingat bahwa mengasihi dan mengampuni perbuatan jahat mempunyai tujuan positif, yaitu kebaikan orang yang berbuat salah itu. Mengasihi dan mengampuni mempunyai sifat edukatif, bukan permisif. Artinya, kita tidak ingin orang itu jatuh lagi dalam kelemahan yang sama, tapi agar orang itu dimampukan mengatasi kelemahannya. Pasti kita tidak ingin meletakkan orang yang lemah itu dalam pencobaan yang berat. Misal, seorang satpam yang berkali-kali menyalahgunakan wewenang untuk melakukan tindak kekerasan, tentu tak boleh kita biarkan tanpa kontrol atau malah diberi wewenang yang lebih tinggi, dengan pengandaian kita sudah mengampuni kesalahannya. Sikap mengampuni, tetapi tetap tegas menuntut yang benar ditunjukkan Yesus kepada perempuan yang tertangkap basah berzinah, “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” (Yoh 8:11b). Sikap tegas Yesus itu diarahkan bukan pada perbuatan salah perempuan itu, tetapi pada kelemahan (karakter)-nya.

Keempat, “rekam jejak” merujuk bukan pada satu perbuatan, tetapi pada rentetan perbuatan pada masa lalu. Rekam jejak menunjukkan karakter seseorang dan mencerminkan integritas moralnya. Karena mengasihi dan mengampuni berarti menghendaki sesuatu yang baik, tentu ini juga berarti kita tak ingin menjerumuskan orang itu, atau meletakkan orang itu dalam situasi yang sangat menggoda untuk jatuh dalam kelemahan yang sama, kecuali orang itu sudah sungguh bertobat dan melepaskan kelekatan pada daya tarik dosa itu. Mengasihi tak bertentangan dengan mengingat rekam jejak dan mempertimbangkan integritas moral, asalkan hal ini dilakukan untuk kebaikan orang yang bersangkutan, dan juga kebaikan umum.

Petrus Maria Handoko CM

HIDUP NO.27, 6 Juli 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini