RP Antonius Harnoko CICM : Berjalan Bersama Korban Tsunami Jepang

484
Berbela Rasa: Romo Harnoko bersama para relawan yang membantu korban tsunami.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Ia mendapat tugas perutusan sebagai misionaris di Jepang. Tragedi tsunami yang menghantam Negeri Sakura memanggilnya untuk berjuang dan berjalan bersama korban. Pengalaman itu memberikan pelajaran tersendiri dalam peziarahannya.

Tsunami ini tidak hanya menghancurkan seluruh tembok bangunan yang ada, tapi juga telah menghancurkan tembok-tembok di dalam hati sehingga kita semua menjadi teman satu sama lain,” ungkap seorang perempuan Jepang di kota kecil Ofunato, Provinsi Iwate, setelah tsunami menghantam tiga tahun silam. Ucapan itu selalu terngiang di benak misionaris asal Yogyakarta, RP Antonius Harnoko CICM. Di Jepang, ia akrab disapa Father Haru.

Jumat, 11 Maret 2011, Romo Harnoko akan melakukan kunjungan umat di Shinjuku, Tokyo. Ia menumpang kereta dari Matsubara ke Shinjuku. Kala turun dari kereta di stasiun Shinjuku, ia menyaksikan pemandangan menge rikan: langit menjadi gelap dan udara menjadi dingin. Seolah kecerahan hari itu terhapus. Gedung-gedung tinggi bergoyang. Kaki Romo Harnoko pun goyah, tak kuasa menumpu beban tubuhnya. Ia memilih untuk berjongkok sambil merasakan goncangan selama beberapa menit.

Hari itu, gempa 8,9 Skala Richter meluluhlantakkan kemegahan bagian pantai Timur Negeri Sakura, serta menyebabkan jaringan komunikasi dan transportasi lumpuh. Romo Harnoko memutuskan kembali ke Paroki Matsu bara, tempatnya bertugas (2008-2011) dengan berjalan kaki. Dua jam ia tempuh untuk sampai pastoran. Dalam kondisi normal, perjalanan Shinjuku-Matsubara sekitar tujuh menit dengan kereta dan sekitar 15-20 menit bila mengendarai mobil.

Melalui siaran berita televisi, ia mengetahui bahwa gempa bumi itu memicu gelombang tsunami dahsyat yang menyapu bersih pantai laut Timur Sendai dan sekitarnya. Lebih dari 10 ribu jiwa meninggal dan ribuan orang kehi langan tempat tinggal. Jutaan orang pun kehilangan akses air bersih, listrik, gas, komunikasi dan transportasi. Bahkan, bencana itu mengakibatkan kebocoran dua reaktor nuklir, Fukushima Daiichi dan Daini.

Merasa Terpanggil
Di sela syukur atas keselamatannya, Romo Harnoko merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu bagi para korban. Segera ia mengumpulkan sumbangan, pakaian dan makanan di parokinya. Bantuan yang terkumpul lalu disalurkan lewat Caritas Jepang.

Tekad hatinya untuk terjun membantu di daerah bencana sudah bulat. Namun, kehendak Tuhan mengatakan lain. Sebulan setelah bencana, Romo Harnoko justru dipindah ke Osaka. Sebagai misionaris Congregatio Immaculati Cordis Mariae (CICM), nyala panggilannya tak pudar. Ia tetap bertekad berada di garda depan untuk membantu korban dalam situasi apapun.

Provinsialnya kala itu menyarankan agar Romo Harnoko menunggu hingga relawan dan Lembaga Swadaya Masyarakat selesai dengan tugas darurat mereka, baru ia bergerak. “Ternyata menunggu menjadi sebuah proses per lambatan demi mempersiapkan yang terbaik,” kenang Romo yang enam bulan bertugas di Osaka sebelum berangkat ke daerah bencana.

Sementara Konferensi Para Uskup Jepang memutuskan untuk menggalang kekuatan bersama demi membantu Keuskupan Sendai yang tertimpa musibah. Proyek itu disebut All-Japan. Dalam menanggapi panggilan Konferensi Para Uskup, Keuskupan Regio Osaka yang terdiri dari Keuskupan Agung Osaka, Kyoto, Hiroshima, Nagoya dan Takamatsu, membuka help center atau base camp di Provinsi Iwate, Keuskupan Sendai.

Kala itu, kebetulan Regio Osaka butuh bantuan sumber daya manusia. Romo Harnokopun bergegas menuju ke sana Imam yang menjalani tahun orientasi pastoral sekaligus belajar Bahasa Jepang di Keuskupan Agung Osaka (1998-2001) ini mulai bekerja di Ofunato, Provinsi Iwate salah satu kota terparah akibat bencana sejak 11 November 2011.

“Saya ditunjuk Uskup Sendai sebagai imam yang mendampingi orang asing yang menjadi korban tsunami di Keuskupan Sendai. Tugas saya terutama un tuk membina para staf dan kolaborator yang berkecimpung dalam proses pembangunan kembali daerah bencana alam dalam Komisi untuk Imigran, Pengungsi dan Pelaut,” kata pastor yang menempuh studi Lisensiat di Nanzan Catholic University (2005-2008) ini. Di wilayah bencana, banyak perempuan asal Filipina yang bersuamikan nelayan Jepang. Romo Harnoko dianggap pas berada di tengah mereka, karena kemampuannya berbahasa Jepang, Tagalog dan Inggris.

Seiring waktu, bersama masyarakat, Romo Harnoko membangun sebuah kantor atau basecamp, termasuk sebagai support center for foreigners. Tempat itu disebut Caritas Ofunato Base “Ikoi no Ie” (Rumah Istirahat). Ia pun mendapat tugas sebagai Base-camp Coordinator, Support Center for Foreigners priest in charge, serta Pastor Paroki Ofunato dan Kamaishi (2011-2014).

Di tengah medan porak poranda berbau amis, gelap, dingin dan tanpa listrik, Romo Harnoko mengunjungi tenda-tenda pengungsi, rumah singgah yang terbuat dari kontainer, serta bertemu para pengungsi sembari membagikan makanan, pakaian, selimut dan kebutuhan sehari-hari yang sulit didapat. Ia pun mendampingi para korban tsunami secara rohani. “Kita tidak mau menjadi seperti sinterklas. Kita ingin memberi dukungan dan pemberdayaan pada masyarakat yang terkena dampak bencana ini,” tuturnya.

Banyak relawan ikut bergabung dengan misi Caritas Ofunato ini. Tiap pagi, mereka dikumpulkan untuk menerima penjelasan tentang apa yang harus dilakukan hari itu. Lalu sore harinya, mereka mensharingkan pekerjaan mereka dan menyusun dokumen secara rapi.

Menjadi Teman
Bagi Romo Harnoko, pelayanannya selama tiga tahun bersama para relawan di Caritas Ofunato Base “Ikoi no Ie” adalah panggilan Tuhan.

“Banyak tantangannya. Tidak gampang untuk berjalan bersama mereka yang selalu menangis dan putus asa. Kami membina hati mereka dengan berdoa bersama, tersenyum bersama dan mengenal hidup dalam Gereja lagi,” ungkap bungsu dari tujuh bersaudara ini. Selain melayani sebagai relawan, ia juga menjadi penghubung agar umat asli Jepang mau membaur dengan orang asing.

Bencana tsunami yang melanda Jepang mengakibatkan banyak orang ke hilangan semangat hidup. Mereka merasa tidak tahu mau ke mana dan mau melakukan apa. Menurut Romo Harnoko, menyediakan waktu untuk men dengarkan kisah mereka menjadi satu langkah konkret dalam proses penyembuhan mental mereka. Selain itu, kerjasama dengan berbagai pihak dan membangun tim yang solid ialah kunci dalam menghadapi situasi bencana.

“Dukungan yang paling berarti adalah bagaimana mengalami hidup seperti yang mereka alami, berjalan dan menapaki hidup bersama mereka,” tandas Romo yang membungkus pengalaman penggembalaannya dalam satu album CD berjudul “Shiawase No Hoshi” (Bintang Kebahagiaan). Album ini merupakan ungkapan peziarahan seorang misionaris di daerah bencana tsunami Jepang.

Tahun ini, Romo Harnoko akan melanjutkan studi di Catholic Theological Union Chicago, Amerika Serikat. Untuk menjalani tugas baru ini, ia telah belajar banyak dari situasi nyata. Kelahiran Yogyakarta, 21 April 1970 ini berefleksi, para korban bencana menjadi teman yang juga memberi dukungan padanya. Tegasnya, “Mereka yang membuat saya menjadi baru. Saya belajar menjadi orang yang lebih rendah hati, lebih berpengharapan dan berbela rasa.”

Leo Wahyudi S.

HIDUP NO.28, 13 Juli 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini