Ignatius Alex Ngadiran : Makin Beriman, Makin Manusiawi

502
Gemar menyanyi: Ignatius Alex Ngadiran memeriahkan salah satu acara di Paroki Bidaracina dengan bernyanyi.
[HIDUP/R.B.E. Agung Nugroho]

HIDUPKATOLIK.com – Latar belakang militer mewarnai hidupnya sebagai anggota Gereja. Jiwa pejuangnya ditangkap Tuhan dan dirinya dijadikan laskar bagi Gereja-Nya. Ia melibati panggilan sebagai rasul awam.

Hari Ulang Tahun Kavaleri, 9 Februari 1967, terlihat konvoi tentara Angkatan Darat (AD) melintas di sepanjang Ie Straat (kini Jl. Otista III) menuju Cililitan, Jakarta Timur. Tak hanya jeep terbuka, tiga tank AMX buatan Perancis seberat 18 ton tampak dalam konvoi itu. Warga memadati tepi jalanan yang dilewati. Uniknya, terlihat seorang lelaki Belanda berjubah putih di atas salah satu tank. Itulah RP Petrus Kijm SJ.

Jesuit ini bertugas di Paroki St Antonius Padua Bidaracina pada 1965-1968. Ia diajak berkeliling dengan tank AMX oleh seorang tentara yang saat itu menjalani masa katekumenat. “Sayang sekali, pada waktu itu tidak kami foto. Padahal, Romo Kijm dengan memakai jubah terlihat senang sekali saya ajak naik tank,” ujar Ignatius Alex Ngadiran, mengisahkan kembali peristiwa itu.

Ngadiran sudah berusia 84 tahun. Ketika ditemui di daerah Kampung Melayu, Jakarta Timur, Kamis, 10/7, suaranya terdengar jelas dan lantang saat mengisahkan pengalaman hidupnya sebagai orang Katolik. Gurat keriput wajahnya seolah menyisakan bara ketegasan sebagai purnawirawan AD.

Jadi Katolik
Peziarahan Ngadiran menjadi Katolik berangkat dari kegemarannya membaca. Sejak masuk militer, hobinya membaca. Ia selalu berbekal buku ke manapun ditugaskan. Ketika bertugas piket di kesatuan, ia memanfaatkan waktu luangnya untuk membaca.

Suatu ketika, Ngadiran berkenalan dengan Gereja Katolik. Hari demi hari, rasa ingin tahunya tentang kekatolikan kian membuncah. Banyak buku seputar kekatolikan ia lahap di sela tugas dinasnya. Rasa ingin tahu dan kegemaran membaca itu membuka hati dan budinya pada Yesus Kristus sebagai sandaran imannya. Ia bernazar ingin menjadi laskar Kristus, siap menjalankan perintah Yesus dalam hidupnya.

Ngadiran lalu mendaftarkan diri sebagai katekumen pada Romo Kijm. Pada 9 Juli 1967, ia dibaptis oleh RP Yodpol OSC di Gereja St Odilia Cicadas, Bandung. Meski bertugas dan tinggal di Jakarta sejak 1965, pasukan induknya bermarkas di Bandung. Ia terdaftar sebagai serdadu Yon Kav VIII Tank Brigadir I Kostrad, yang dikirim dalam Pasukan Penumpasan Gerakan 30 September (G30S) di Jakarta. Itulah sebabnya ia dipermandikan di Bandung.

Selang lima bulan, 27 Desember 1967, Ngadiran mengakhiri masa lajangnya. Ia melabuhkan hatinya pada Reina Maria Pattie. Mereka saling berucap janji suci sehidup semati di hadapan Pastor Paroki Bidaracina, RP Josephus van Niekerk SJ. Pada 20 September 1968, ia menerima Sakramen Krisma di paroki yang sama.

Habitus kutu buku berlanjut hingga usia senjanya. Putra kesembilan dari 13 bersaudara ini banyak mengisi waktu dengan membaca–terutama soal kekatolikan. “Kita harus tahu tentang apa yang kita imani secara benar. Pengetahuan iman itu pun bisa kita bagikan pada orang lain sebagai modal pelayanan kita di lingkungan atau paroki,” tegasnya. Selain itu, ia mendedikasikan masa tuanya untuk bertekun dalam doa: menjadi pendoa bagi anak-cucu dan siapapun yang butuh didoakan.

Rasul Awam
Sejak resmi menjadi anggota Gereja, lelaki kelahiran Prayak, Ampenan, Lombok, NTB, 6 Mei 1930 ini segera berkiprah dalam pelbagai reksa pastoral di Paroki Bidaracina. Di Kampung Melayu, veteran pejuang Angkatan 45 ini berinisiatif membentuk lingkungan. Militansinya membuat umat Katolik di sekitarnya bermufakat menjadikannya Ketua Lingkungan. Pada 31 Juli 1972, RP Gerardus A.M. Elling SCJ meresmikan Lingkungan St Ignatius Kampung Melayu dan Ngadiran sebagai ketuanya.

Sepak terjangnya sebagai Ketua Lingkungan dan aktivis paroki terus mengemuka. Ia rajin mengunjungi keluarga Katolik dan merangkul mereka untuk terlibat dalam kegiatan Gereja. Lelaki yang dikaruniai dua putri dan empat putra –satu di antaranya telah meninggal– ini, berhasil mengembangkan lingkungan barunya. Teritorinya segera meluas hingga ke daerah Gudang Peluru, Tebet, Jakarta Selatan. Pun jumlah anggota di lingkungannya meningkat.

Tahun 1973, Ngadiran berinisiatif membentuk koor “Teratai Putih”. “Saya paling senang dalam kegiatan paduan suara. Kegiatan koor menjadi kenangan terindah yang pernah saya rasakan. Padahal, dulu pada waktu sekolah, saya pasti akan selalu menangis kalau disuruh menyanyi. Tidak tahu mengapa, ketika sudah besar saya malah senang bernyanyi. Waktu itu saya memperkuat tenor,” kenang mantan anggota Kompi Pasukan Komando (Kipasko) Batalyon 118 Melati Terr 1 Bukit Barisan, Sumatra Utara ini (1952).

Selain mengembangkan lingkungannya, veteran anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) ini konsen pada pendampingan Muda-Mudi Katolik (Mudika) –kini Orang Muda Katolik (OMK). Ia membentuk vocal group Mudika dan memotivasi orang muda dalam aneka kegiatan.

Di tingkat paroki, Ngadiran berkontribusi besar dalam pelayanan di bidang liturgi. Ia termasuk pemazmur, dan menjadi langganan tugas passio. Melatih bernyanyi ia tekuni dengan setia. Tiap kali diminta menjadi pemazmur, mantan Ketua Lingkungan tiga periode ini pasti menyanggupinya. Ia pun sempat didapuk sebagai pendamping Mudika dan lektorlektris. Bahkan ia kerap diminta menjadi saksi perkawinan karena dianggap layak sebagai teladan membina hidup keluarga kristiani. Kiprahnya dalam kegiatan Gereja mencerminkan semangat rasul awam, penggiat kehidupan iman di komunitas basis terkecil umat.

Kritis Bertanggung Jawab
Selama bergiat sebagai rasul awam, Ngadiran tak lepas dari konflik dengan Pastor Paroki. Beberapa kali ia mengalami ketegangan cukup serius. Jika ada sesuatu yang menurutnya benar, ia mengungkapkannya dengan lugas. Tak segan ia melontarkan kritik, baik pada sesama umat maupun kaum berjubah. “Jika penilaian saya salah, saya sangat terbuka pada masukan yang lebih baik. Sangat jarang umat berani melawan pastornya. Tapi saya, jika punya argumentasi masuk akal, tetap akan mengungkapkannya –entah itu pada pastor ataupun umat,” tegasnya.

Ngadiran mengaku, pernah bersitegang dengan beberapa Pastor Paroki Bidaracina, misalnya RP Gerardus A.M. Elling SCJ (1971-1987), RP H.J. Sondermeijer SCJ (1977-1989) dan RP Herbert Henslock SCJ (1988-2001). Meski demikian, relasinya dengan ketiga pastor itu tetap baik. Persoalanpun teratasi hingga tuntas. Keberaniannya beradu argumentasi menjadikan perannya sebagai rasul awam kian terasah dan didewasakan. Jiwa pengabdiannya pada Gereja tak luntur hanya gara-gara friksi seperti itu. Justru ia merasa terpacu berbuat lebih baik bagi Gereja. Ia tetap konsisten pada nazarnya sebagai laskar Kristus.

Mantan anggota pasukan yang pernah bertugas dalam penumpasan pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat ini, mengaku prihatin melihat peran generasi muda saat ini. “Sekarang kita bisa melihat betapa sulitnya mencari bapak- bapak dan ibu-ibu muda yang mau menjadi Ketua Lingkungan. Dulu, hal ini bisa digerakkan dan maju. Mengapa sekarang tidak bisa?” ujarnya. Jika kegiatan rohani dan komunitas menggereja kian terkikis, mungkin juga hidup doanya demikian. Baginya, jika hidup rohaninya berkembang, jiwa pelayanannya pasti juga bertumbuh. Semakin mendalam spiritualitas seseorang, ia tentu akan menjadi lebih manusiawi.

R.B.E. Agung Nugroho

HIDUP NO.29, 20 Juli 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini