HIDUPKATOLIK.com – Saat ini, sulit sekali mencari orang yang sukarela melakukan sesuatu. Kepentingan atau keinginan, berada di belakang hampir semua interaksi dan perilaku kita. “Apa untungnya buat saya?” Itulah pertanyaan yang semakin hari terdengar makin wajar dewasa ini. Justru terlihat tidak wajar, jika orang ingin berkorban, padahal orang yang kita bantu bukanlah siapa-siapa.
Tentu fenomenal, jika melihat keberadaan para relawan saat pemilihan presiden (Pilpres) 2014 beberapa waktu lalu, terutama para relawan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla maupun Prabowo-Hatta. Kontribusi para relawan terlihat luar biasa, bahkan melebihi kinerja tim sukses maupun kinerja barisan partai pendukung pasangan tersebut. Dikatakan luar biasa, mengingat bukan hanya karena jumlah mereka yang besar sekali, tetapi juga latar belakang yang beragam, mulai dari kalangan pengusaha, mahasiswa hingga ibu-ibu rumah tangga. Mereka ada di berbagai kota serta tidak terorganisir, namun seperti disatukan oleh satu tujuan.
Apa yang dilakukan juga luar biasa. Misal, para relawan Jokowi-Jusuf Kalla terlibat mulai dari kegiatan menggalang dana, pembuatan brosur serta spanduk, komunikasi melalui media sosial, hingga berdialog dengan berbagai kalangan yang belum yakin memilih pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.
Jika diamati secara cermat, istilah “relawan” tidak sepenuhnya tepat bagi pendukung Jokowi-Jusuf Kalla. Bila kembali pada makna relawan yang mengandung makna tidak ada kepentingan pribadi di balik suatu tindakan, sebenarnya mereka berkepentingan juga melihat pasangan ini menjadi presiden dan wakil presiden.
Namun demikian, sebutan relawan nampak masih relevan dipakai, mengingat yang disebut “kepentingan” sangat umum. Mereka hanya mengharapkan Indonesia yang lebih baik dan sejahtera di bawah kepemimpinan pasangan yang mereka percayai tanpa mengharap diberi jabatan, kewenangan, fasilitas, atau bayaran. Itulah yang membedakan relawan dengan tim sukses, dengan koalisi partai pendukung ataupun pihak lain yang secara terang-terangan atau diam-diam mengharapkan memperoleh privilege jika pasangan Jokowi-Jusuf Kalla berhasil menjadi presiden dan wakil presiden.
Fenomena perilaku sukarela atau voluntarism di atas juga berbeda makna, karena tidak terjadi di bidang yang umumnya memunculkan perilaku rela berkorban, misal saat terjadi musibah atau bencana. Saat musibah terjadi, orang tak segan menyingkirkan kepentingan sendiri demi orang lain. Orang juga cenderung rela berbuat apa saja, jika suatu masalah menimpa keluarga atau orang-orang terdekat.
Dalam bidang sosial, seperti keagamaan, pada umumnya juga merupakan bidang konvensional yang mudah memunculkan para volunteer atau orang yang bekerja sukarela. Demi kemuliaan Tuhan atau kebesaran Gereja, orang bersedia menyumbangkan waktu, tenaga, bahkan materi. Satu contoh, para bapak aktivis Gereja yang rela pulang malam untuk rapat. Ibu-ibu juga rela memasak untuk para pastor. Contoh lain, orang muda Katolik rela berpanas-panas memungut uang parkir dari umat saat pulang dari gereja. Akan tetapi, konon tidak lagi sepenuhnya orang yang benar-benar rela saat berbuat sesuatu bagi Gereja. Ada yang melakukan dengan harapan, katakanlah, dikenal oleh para pastor, sehingga lebih “tampil” dibanding umat lain. Ada yang ingin berbuat macam-macam hanya jika diberi jabatan ketua panitia. Bahkan, ada pula yang secara terang-terangan mengembangkan motif ekonomi di balik berbagai aktivitas di komunitas basis atau di Gereja.
Bukankah ironi, dalam politik yang dimafhumi sebagai bidang yang penuh kepentingan, masih banyak orang ingin menjadi relawan. Sementara itu, kerelaan justru menurun di bidang di mana kesukarelaan seharusnya menjadi motif utama para aktivisnya..
Adrianus Meliala
HIDUP NO.30, 27 Juli 2014