Yohana Irene P : Pekerjaan Sederhana, Pelayanan Luar Biasa

1162
Riang Hati: Iin menyiapkan santap siang bagi Romo dan Frater SJ di Wisma Dewanto.
[HIDUP/Maria Pertiwi]

HIDUPKATOLIK.com – Ia mencari Tuhan dengan berpindah-pindah Gereja. Akhirnya ia memilih menjadi Katolik dan terlibat dalam pelayanan. Imannya pun kian diteguhkan dengan menghidupi pekerjaan sederhana, secara luar biasa.

Soklastikat Serikat Jesus (SJ) Unit Kramat VII Kolese Hermanum, Jakarta tampak lengang. Skolastikat ialah sebutan untuk rumah formasi bagi calon imam yang sedang belajar filsafat. Tiba-tiba, dari dapur terdengar sayup-sayup suara perempuan melantunkan sebait lagu. “Aku melayani Tuhan, dengan segala rendah hati… Aku senantiasa menjadi saksi Tuhan, mewartakan Injil Tuhan dan kasih karunia Allah…” Sambil menggoreng sambal, Yohana Irene menyanyikan lagu “Aku Melayani Tuhan”.

Para Romo dan Frater Jesuit yang tinggal di Unit Kramat VII –sering disebut Wisma Dewanto– sudah tak kaget dengan suara yang menggema di dapur dan sekitar ruang makan. Lagu yang dinyanyikan Iin –sapaannya– seolah melukiskan isi hatinya. Ia ingin melayani orang lain melalui pekerjaannya sebagai juru masak. Pun dalam berbagai kegiatan di lingkungan, wilayah dan paroki yang ia libati.

“Dengan mengikuti kegiatan lingkungan dan paroki, saya merasa dikuatkan. Saya bisa bertemu dan mengenal banyak orang dengan berbagai karakter. Saya bisa mendengar cerita dan pengalaman mereka. Iman saya pun dikuatkan melalui pendalaman iman lingkungan dan persekutuan doa di paroki. Saya merasa, menjadi Katolik itu berkat,” beber Iin.

Menjadi satu-satunya pemeluk Katolik di keluarganya, tak membuat Iin merasa sendirian. Ia tetap mempertahankan keyakinan itu dan tak henti memperdalam imannya. Ia bersyukur, keluarganya bisa menerima dan menghormati keputusannya.

Masa Pencarian
Iin, anak kedua dari 10 bersaudara. Orangtuanya bertransmigrasi dari Yogyakarta ke Sendangmulyo, Kalirejo, Bandar Lampung. Mereka beragama Hindu. “Tapi saya dan saudara-saudara saya beragama Islam. Kami tinggal di lingkungan yang mayoritas Muslim,” ujarnya.

Lulus SMP tahun 1990, Iin mendapat tawaran dari tetangganya yang beragama Katolik untuk bekerja di Susteran FSGM Pahoman, Bandar Lampung. “Ketika itu, saya berpikir, bekerja di Susteran ialah menjadi suster perawat seperti di rumah sakit. Saya tak tahu kalau saya disuruh masak di sana,” ujarnya polos.

Saat mengetahui tugasnya ialah memasak, Iin bimbang. Awalnya, ia ingin pulang ke rumah orangtuanya di Sendangmulyo. Namun berkat nasihat seorang rekan, Iin tetap tinggal dan bekerja di Susteran FSGM.

Ketika bekerja di Susteran FSGM, Iin mulai tergelitik oleh rasa ingin tahu tentang Katolik. Ia kerap mengikuti Misa di gereja bersama para suster. “Tapi saya masih belum memutuskan menjadi Katolik,” kenangnya.

Selama tiga tahun, Iin mengabdikan diri di Susteran FSGM Pahoman. “Lalu, Suster menawari saya bekerja di Jakarta, di Frateran. Waktu itu saya tak tahu apa itu Frateran. Saya belum Katolik. Saya jawab saja, ‘saya mau’. Suster berpesan kalau mau tinggal di Frateran jangan kemayu. Jangan menggoda para frater,” tuturnya menirukan pesan sang suster.

Orangtuanya pun mengizinkan Iin merantau ke Jakarta. Ayahnya berpesan agar Iin berhati-hati di tanah rantau. Ia akhirnya berangkat ke Jakarta diantar seorang suster dengan travel.

Tahun 1994-2003, Iin melayani sebagai juru masak di Rumah SJ Unit Kramat VI, Jakarta. Kemudian lima tahun berikutnya, ia melayani di Unit Salemba Bluntas, dan hingga kini di Unit Kramat VII. “Waktu itu, saya baru tahu ada yang namanya Frater. Saya tahunya hanya Romo dan Suster,” ujarnya sambil mengurai senyum.

Masa-masa awal bekerja di Jakarta menjadi masa pencarian bagi Iin. Ia mengaku mencari-cari keyakinan yang bisa membuat damai di hati. Ia mulai menjelajah ke berbagai gereja, mengikuti peribadatan dan kegiatan di gereja-gereja itu.

Keluarga “Pecel”
Selama tiga tahun, Iin berada dalam pencarian diri. “Selama itu, saya terus mencari Tuhan,” kenang perempuan kelahiran Lampung, 6 Juni 1971 ini. Ia bergumul dalam hatinya. Akhirnya ia memutuskan untuk melabuhkan hatinya di Gereja Katolik.

“Saya pergi ke Gereja Kramat (Paroki Hati Kudus Kramat, Jakarta –Red) dan mengatakan ingin masuk Katolik. Lalu, saya diminta untuk mengikuti pelajaran agama Katolik,” papar perempuan yang dibaptis oleh Pastor Yan Laju OFM pada 1998 di Gereja Hati Kudus Kramat. “Saya mencari di Gereja mana saya bisa hening dan berdoa,” imbuhnya.

Kala pulang ke Lampung, Iin mengatakan pada keluarganya bahwa ia telah menjadi Katolik. “Bapak saya bilang: ‘Terserah kamu. Itu pilihanmu, aku ora melu (tidak ikut –Red) tanggung jawab!’ Ya … Bapak mau menegaskan karena itu pilihan saya sendiri, ya saya yang harus bertanggung jawab dengan pilihan itu,” tegas Iin.

Kabar Iin menjadi Katolik pun cepat menyebar di kampungnya. Tetangga menyebut keluarganya sebagai “keluarga pecel” karena memeluk agama berbeda-beda. Ada yang Hindu, Islam dan Katolik.

“Saya bersyukur, meskipun keluarga saya ‘keluarga pecel’, campur-campur, tapi bisa tetap saling menghormati satu sama lain. Keluarga kami punya tiga tradisi hari raya: Lebaran, Natal dan Nyepi,” jelasnya.

Di setiap hari raya itu, keluarganya berkumpul. Biasanya Iin pulang setahun sekali, pada Desember untuk merayakan Natal. Walaupun hanya Iin yang merayakan Natal dalam keluarganya, saudara-saudaranya yang lain tetap berkumpul. Ini tentu menjadi kekuatan tersendiri baginya. Keluarganya menghormati apa yang menjadi pilihan dan keyakinannya.

Perdalam Iman
Di Jakarta, Iin menimba kekuatan dari berbagai kegiatan di lingkungan dan paroki yang ia libati. Umat Lingkungan St Yakobus Zabedeus, Paroki Kramat ini aktif dalam doa Rosario dan pendalaman iman lingkungan, serta menjadi anggota koor “Emaus”. “Meski suara saya fals, saya tetap semangat ikut koor,” paparnya sambil tertawa.

Iin juga mengikuti kegiatan Persekutuan Doa Karismatik Katolik (PDKK), kelompok Doa Novena Tiga Salam Maria, dan WKRI Ranting Wilayah I Paroki Kramat. Selain itu, ia pernah bergabung sebagai anggota Paguyuban Pekerja Rumah Tangga (Paperta) Jakarta dan mengikuti demo bersama sejumlah pekerja rumah tangga (PRT) di Bundaran Hotel Indonesia. Ia bersama rekan-rekannya menuntut agar pemerintah mewujudkan UU Perlindungan PRT, menetapkan 15 Februari sebagai hari PRT dan libur nasional, serta menetapkan hari Minggu sebagai hari libur bagi PRT.

“Untuk memperkaya iman, selain ikut pendalaman iman di lingkungan dan PDKK, saya juga pernah ikut Kursus Evangelisasi Pribadi (KEP) Angkatan VII tahun 2009 di Paroki St Antonius Padua Bidaracina, Jakarta Timur,” kisah perempuan yang saban hari mengayuh sepeda dari kos ke tempatnya bekerja ini.

Iin juga kerap membaca majalah rohani Katolik yang ada di Skolastikat tempatnya bekerja dan mendengarkan siaran radio Oase Rohani Katolik (ORK) tiap pukul 05.30. “Dari situ, saya menjadi lebih tahu. Saya merasa, itu bisa memperdalam iman saya,” kata perempuan yang pernah terlibat dalam pementasan “Serbet Wati” di Taman Mini Indonesia Indah tahun 2012 bersama para PRT ini.

“Saya merasa senang dan bersyukur bisa terlibat dalam banyak kegiatan rohani. Saya bisa mengenal banyak orang. Dan, saya juga senang bisa melakukan pelayanan untuk Tuhan. Tugas apapun, baik dalam pekerjaan maupun pelayanan dan kegiatan di lingkungan, wilayah serta paroki, kalau dilakukan dengan hati pasti kita akan selalu merasa senang,” ungkapnya.

“Indah rencana-Mu Tuhan di dalam hidupku …Walau ku tak tahu dan ku tak mengerti semua rencana-Mu.” Penggalan lagu “Indah Rencana-Mu Tuhan” ini pun turut menguatkan Iin dalam menjalani tapak-tapak peziarahan hidupnya.

Maria Pertiwi

HIDUP NO.32, 3 Agustus 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini