HIDUPKATOLIK.com – Orang miskin dan lemah adalah ladang kerasulan komunitas ini. Dengan ketekunan dan kesabaran, mereka terus membimbing anak-anak dan remaja beragam karakter.
Pada 2011, suatu sore menjelang acara ‘Kumpul Bocah’ (KumBo) komunitas Pelayanan Sosial Garam Semarang (PSGS), seorang anak menghampiri ketua PSGS, Agustinus Restu Utomo. Dengan mata berkaca-kaca, anak itu mengungkapkan bahwa ia dan adiknya tidak bisa ikut KumBo karena tidak punya cukup uang untuk membayar iuran acara tersebut. Belum sempat Restu berucap, anak lain menghampirinya dan berkata, “Sudah Kak, tak apa-apa, temanku dan adiknya tetap ikut saja. Uang iurannya akan kami carikan. Kami bisa mencari rongsokan untuk dijual.” Beberapa anak lain menganggukkan kepala.
Lain lagi, pengalaman Cyrilla Oktaviananda, yang bergabung dengan komunitas ini sejak Januari 2011. Ia selalu merasa gembira jika terlibat dalam pendampingan belajar setiap Kamis siang. Pendampingan ini biasanya diikuti oleh peserta pendampingan PSGS yang terdiri dari anak-anak usia SD dan remaja usia SMP-SMA. “Mereka itu lucu. Setiap kali kami datang untuk pendampingan belajar, anak-anak selalu menyambut kami dengan ceria,” ungkapnya.
Lebih lanjut, gadis kelahiran Semarang, 28 Oktober 1992 ini merasa senang mendapat kesempatan turut dalam kegiatan PSGS. Di komunitas ini, Cyrilla mengaku bisa belajar berbagai hal yang berguna bagi pengembangan pribadinya, terutama dalam hal berbagi kepada sesama yang lemah, kecil, miskin dan tersingkir.
Berawal dari TOR
Awal berdirinya komunitas PSGS dimulai dari aktivitas para frater Keuskupan Agung Semarang (KAS) yang sedang menjalani Tahun Orientasi Rohani (TOR) di Wisma Sanjaya Muntilan, Magelang. Pada 1991, Mgr Johannes Pujasumarta – waktu itu sebagai Rektor Seminari – bersama para frater membangun komitmen untuk menjadi teman seperjalanan bagi kaum miskin. Kerinduan dan gagasan ini kemudian dibumikan sebagai sebuah aksi nyata dalam PSGS.
Pada mulanya, kelompok ini dibantu para suster Penyelenggaraan Ilahi (PI) Kebondalem, untuk mendampingi anak-anak sekitar Gang Pinggir dekat Gereja FX Kebondalem, Semarang. Kemudian mereka melibatkan sekitar 50 orang muda dari berbagai paroki di Semarang, dan menjalin kerja sama dengan Kesejahteraan Keluarga Soegija pranata (KKS), untuk mendampingi kelompok belajar di Muktiharjo, Deliksari, dan Kaliarang.
Dalam perjalanannya, PSGS merumuskan gagasan pokok tentang kelompok kerja yang disebut Pelayanan Sosial (PS) Garam. Nama ini merupakan buah dari kesepakatan dalam pertemuan di Bandungan, Jawa Tengah, pada 28-29 November 1992. “Garam” merupakan akronim dari “garam dan ragi masyarakat”. Nama ini kemudian dipakai untuk menghidupkan kesadaran akan panggilan dan tugas perutusan komunitas sebagai warga Gereja yang berperan menjadi garam dan ragi di tengah masyarakat.
Sasaran PSGS sejak awal sampai saat ini adalah melayani masyarakat ekonomi menengah ke bawah tanpa memandang agamanya. Mereka membuat kegiatan yang dapat meningkatkan mutu kehidupan masyarakat, terutama kaum miskin dan mereka yang menderita dalam segala aspek hidupnya.
Pendampingan Anak
Wujud nyata keterlibatan PSGS tersebut, salah satunya dilakukan dengan membuat pendampingan belajar. Pendampingan ini diselenggarakan sekali seminggu. Saat ini ada 14 kelompok pendampingan yang tersebar di wilayah pinggiran kota Semarang, antara lain di permukiman pemulung. Empat belas tempat itu adalah: Bongsari, Kalialang, Ndeleksari, Condro 1, Condro 2, Condro 3, Ngablak Lama, Ngablak Baru, Muktiharjo, Karanganyar Lama, Karanganyar Baru, Gunung Brintik, Sambiroto dan Kebondalem. Pendampingan ini biasanya dilakukan bersama dengan para frater TOR KAS. “Kami biasanya berkumpul di Jangli (rumah TOR para calon imam KAS) terlebih dulu. Kemudian sekitar pukul 16.00 berangkat perkelompok ke tempat pendampingan. Sekitar pukul 18.00, kami berkumpul lagi di Jangli untuk berdoa bersama dan kemudian pulang ke rumah masing-masing,” kata Restu.
Di tempat pendampingan, biasanya di balai desa dan halaman terbuka ini, terdapat peserta pendampingan dengan karakter dan sifat yang berbeda-beda Untuk mengefektifkan pendampingan, dibentuklah kelompok-kelompok sesuai tingkat usia perserta. “Biasanya dikelompokkan sesuai tingkat sekolahnya. Anak SD satu kelompok, SMP satu kelompok dan SMA satu kelompok,” jelas Cyrilla.
Untuk acara tahunan, PSGS rutin mengadakan acara KumBo. Dalam acara ini semua anak dampingan disatukan dalam acara pentas seni dan permainan kelompok. Acara ini biasanya diadakan pada bulan Juli untuk memperingati Hari Anak Nasional.
Kerja sama Pendamping
Membekali diri sebagai pendamping, para komunitas PSGS, yang berjumlah sekitar 40 orang, mengadakan pertemuan bulanan. Pertemuan ini merupakan wadah komunikasi dan tukar pikiran. Selain itu, mereka juga mengadakan seminar atau rekoleksi sebagai sarana untuk belajar dan berkembang, serta retreat atau ziarah sebagai sarana untuk merefresh diri secara rohani maupun jasmani.
Tantangan yang mereka sadari saat ini adalah kurangnya tenaga pendamping. “Di setiap tempat pendampingan terdapat 15 sampai 40 anak. Sementara jumlah pendamping untuk setiap tempat hanya dua sampai tiga orang, termasuk seorang frater TOR,” jelas Restu.
Secara internal, menurut Restu, komunitas ini menghadapi tantangan untuk terus bertumbuh dalam kerja sama antar pendamping, mengingat para pendamping pun datang dari berbagai tingkat umur dan latar belakang. “Sekalipun selama ini berjalan dengan lancar, kami percaya bahwa masih banyak potensi para pendamping yang dapat digali lebih dalam. Regenerasi pendamping juga menjadi sesuatu yang kami perhatikan dan siasati selama setahun ini. Menggugah kaum muda untuk mau terlibat dalam komunitas pelayanan sosial seperti ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi kami,” ungkap pria lajang 27 tahun ini.
Restu berharap agar segala tantangan yang dihadapi PSGS saat ini dapat terkalahkan oleh semangat peduli dan berbagi dari kisah mukjizat penggandaan lima roti dan dua ikan oleh Yesus. Kisah dalam Yohanes 6:1-15 itu menjadi bacaan wajib dan sumber inspirasi anggota PSGS. Para pendamping ingin terus belajar menjadi seperti anak kecil yang membawa kepada Yesus, lima roti dan dua ikan, bekal yang ia punya. Bekal yang ada itulah yang akan diangkat, diberkati, dan digenapi oleh Tuhan sendiri, sehingga dapat dibagikan kepada banyak orang. Restu dan sahabat-sahabatnya berkeyakinan, Tuhan telah memanggilnya untuk berbagi, dan Tuhan sendiri yang akan menggenapi dan menyempurnakannya.
Ivonne Suryanto
HIDUP NO.32, 10 Agustus 2014