Egoiskah Tuhan?

257

HIDUPKATOLIK.com “GIAN….Gian…. kok lama sekali? Waktu kita tinggal setengah jam lho. Sebentar lagi konser dimulai,” teriak Iwan dari seberang kamar.
“Ya. Sebentar lagi kelar bro.Tunggu ya,” sahut Gian sembari merapikan rambut ikalnya.

Konser malam itu digelar untuk memeriahkan acara ulang tahun Gereja. 50 tahun sudah Gereja bercorak Eropa ini berdiri kokoh di tengah kota Jakarta. Umat yang hadir seolah tak sabar menunggu aksi Adrian dan teman-temannya.

Loket penjualan karcis penuh dengan manusia. Orang-orang yang ingin manyaksikan konser itu rela membeli karcis walau cukup mahal harganya. Di kamar, Gian sibuk mendengungkan lagu yang akan ia nyanyikan.

Tiga puluh menit berlalu, Gian dan teman-temannya siap menghibur malam itu. Seluruh ruangan gelap gulita. Hanya tersisa sebuah lampu di panggung dengan cahaya yang remang-remang. Semua yang hadir diam seribu kata. Perlahan Gian dan teman-temannya naik ke panggung.

Gian berdiri sedikit membukuk sambil membawa gitar akustik. Iwan berdiri sejajar di samping Gian dengan gitar digendongnya. Lalu, Gian menganggukkan kepala ke arah Rivan, memberi isyarat agar mulai memainkan keyboard.

Perlahan kelima jari Iwan menari di atas dawai gitar. Bunyi gitar dan keyboard berpadu menghasilkan harmoni yang sangat merdu. Spontan, Gian memainkan melodi gitarnya dan membuat suasana semakin semarak. Petikan gitarnya semakin lembut di saat tangan kirinya meraih mic dan melantunkan lagu ciptaannya.

Laraku Memanggil Namamu, demikian lagu ciptaan Gian. Suasana semakin semarak ketika Gian membawakan lagu Aku Kan Tetap Setia dan Arti Sahabat. Konser pun berakhir setelah Gian menutupnya dengan lagu berjudul Janji-Mu Tuhan Selalu Indah.
Kekhasan band bentukan Gian ini terlihat dari aransemen lagu yang dibuat slow namun menggetarkan jiwa para pendengar.

Kepandaian Gian mengaransemen lagu terlatih sejak ia duduk di bangku SMP. Kelebihan ini membuahkan hadiah yang manis. Bersama dengan keempat temannya yang lain, ia berhasil mendirikan band ini. Meski kedudukannya sebagai pionir band, Gian tidak sombong.

Ia dikenal sebagai pribadi yang ramah, rendah hati, solider, suka membantu, dan setia kawan. Sikap-sikap inilah yang membuat teman-temannya menganggap dia melebihi seorang sahabat. Selain itu, sikap baiknya juga ia tunjukan dengan mengamalkan seluruh penghasilan konser malam itu untuk Gereja.

***

Dua minggu setelah HUT Gereja, Gian dan teman-temannya mengadakan konser di beberapa negara. Alunan musik yang dimainkan berhasil merasuk lubuk hati para fans-nya. Beberapa lagu Bahasa Inggris dinyanyikan Gian dengan penuh penghayatan.

Tak ketinggalan Gian juga menyanyikan lagu ciptaan Rivan dan Iwan. Ketika sesi wawancara, fans mereka mengharapkan agar band ini bisa menggelar konser lagi. Mereka sangat merindukan penampilan Gian dan teman-temannya.

Melihat popularitas band yang semakin melonjak, ia semangat untuk menciptakan dan mengaransemen syair menjadi alunan musik yang enak didengar. Ia merasa jalan hidup inilah yang harus diperjuangkannya.

Ia berencana mengeluarkan dua album sekaligus dalam setahun. “Gian, mengapa akhir-akhir ini kamu terlihat murung? Kamu sering melamun. Kelihatannya kamu kurang fokus dengan latihan kita,” tanya Rivan menyelidik.
“Ya benar… akhir-akhir ini aku sering lihat kamu bengong sendiri,” sahut Iwan.
“Bro kalau ada masalah cerita dong sama kita-kita. Siapa tahu kita bisa ngebantuin
lho,” lanjut Ari.

Lalu Niko menambahkan, “Apalah gunanya kita disini, kalau bukan untuk saling mendengarkan dan mendukung. Benar nggak teman-teman?”
Gian yang sedari tadi menunduk, mengangkat kepala dan mulai berbicara.
“Apa yang aku rasakan sekarang, akan terdengar aneh di telinga kalian.”
“Loh kok aneh? Memangnya apa yang kamu rasakan sekarang?” Tanya Ari.

“Ketika kita konser di Manila, aku memusatkan perhatian pada tindakan kasih seorang imam. Imam itu rela memberikan tempatnya untuk seorang bocah yang kotor, dan terlantar. Sungguh mulia perbuatan imam ini. Aku terinspirasi dengan sikap baik nan mulia ini. Ingin rasanya aku menjadi seperti imam itu.

Maka selama seminggu ini, aku sering melamun dan bertanya apakah ini rencana Tuhan atas diriku?”
Rivan yang sedari tadi menyimak berkata, “Wah jangan ngaco kamu Gi. Masa seorang musisi terkenal seperti kamu, harus meninggalkan band ini dan memilih jadi imam? Mau dibawa kemana nasib band kita?

Apa popularitas yang kita dapat saat ini kurang, sehingga kamu harus meninggalkan ini?”
Kemudian Ari melanjutkan, “Gian. Aku mau nanya. Apa yang kamu dapat setelah jadi imam? Apa yang kamu cari? Bukankah saat ini yang kamu inginkan telah tercapai?”

Suasana menjadi hening. Lalu Ari melanjutkan, “Tetapi aku nggak maksa. Semua pilihan ada di tanganmu Gi. Kamu berhak menentukan pilihan hidupmu. Aku hanya sekedar memberi masukan saja untukmu.”

Setelah mendengar komentar dari beberapa temannya Gian berkata, “Teman-teman. Aku mengucapkan terima kasih atas saran baik kalian. Aku juga bersyukur atas perjalanan karier kita selama ini. Aku bahagia kalian selalu mendukungku. Tapi pilihan ini, bukan aku merasa apa yang telah kita capai itu kurang.

Justru keberhasilan dan pencapaian kita sangat signifikan. Bayangkan saja dalam waktu dua minggu, kita menggelar konser di lima negara dan mendapatkan respon yang sangat baik dari fans kita. Tetapi, kalau aku boleh jujur, keinginan ini muncul tanpa harus aku mencarinya.

Aku sendiri bingung dan bertanya mengapa bisa seperti ini? Tetapi aku percaya, inilah rencana Tuhan yang nggak pernah dimengerti oleh akal manusia.”
“Kalau memang ini semua adalah rencana Tuhan, mau dibawa kemana nasib band kita?” Tanya Iwan.

“Tenang sobat. Kita bisa mencari personil yang tepat untuk mengganti posisiku sekarang,” jawab Gian.
“Sosok Gian yang kami kenal takkan tergantikan oleh personil mana pun,” sahut Rivan.
“Kalian harus belajar menerima dengan ikhlas. Apapun yang kulakukan untuk band kita nggak sebanding dengan rencana yang Tuhan gariskan untukku.”
“Baiklah bro, kalau itu keinginanmu kami nggak memaksa,” balas Ari.

***

Seminggu sebelum Gian masuk rumah pembinaan calon imam, teman-temanya membuat acara perpisahan. Gian menyanyikan persembahan khusus untuk semua orang yang telah mendukung perjalanan kariernya. Fans-nya tak rela melihatnya pergi.

Malam itu menjadi malam yang penuh duka. Rivan, personil band sekaligus sahabat terbaiknya mengalami kecelakaan. Motor yang dikendarai Rivan ditabrak truk. Rivan menghembuskan nafas terakhir di hari perpisahan.

Gian tak percaya menyaksikan semua ini. Semua meratapi kepergian Rivan. Mereka harus kehilangan sosok Rivan untuk selamanya.
Gian marah kepada Tuhan. Ia merasa Tuhan tidak adil setelah peristiwa yang menimpa Rivan. Kemarahan itu ia tunjukan dengan mengurungkan niatnya menjadi imam. Ia ingin meneruskan kariernya menjadi musisi. Namun, Tuhan berkehendak lain.

***

Tiga hari sebelum jadwal masuk rumah pembinaan, Gian tetap konsisten dengan keputusannya. Namun, semalam ia bermimpi. Dalam mimpinya, ia bertemu Rivan. Rivan menyampaikan beberapa hal kepadanya. Satu pesan Rivan mampu menggugah hati Gian.
Rivan berkata, “Gian, kita semua telah diberikan pilihan hidup. Aku dan kamu memiliki tujuan hidup yang berbeda.
Hidupku hanya sampai menjadi seorang musisi saja. Tetapi kamu berbeda. Tuhan membutuhkanmu. Aku sangat bangga bila engkau mantap menjadi imam.”

“Aku bukan tidak setia pada Tuhan. Namun aku marah pada-Nya. Mengapa ia harus mengambil kamu disaat aku pergi untuk menjawab panggilan-Nya?”
Dengan senyum Rivan menimpali,
“Tuhan memiliki rencana yang tak dapat diselami oleh jalan pikiran manusia. Kepergianku dari dunia ini adalah bagian rencana Tuhan. Dia ingin mencobai seberapa setia dirimu di hadapan-Nya. Jangan pernah ragu dengan rencana-Nya. Ingat semua bakat dan kemampuan yang kamu miliki akan Tuhan gunakan untuk melayani umat-Nya.”

Pagi hari, Gian bangun dengan tekad yang kuat dan siap menjawab panggilan Tuhan. Pesan Rivan mengingatkan dirinya untuk selalu setia. Ia percaya Tuhan memiliki rencana yang indah atas dirinya.

Ia pasrahkan semua pada kehendak Tuhan. Hari ini juga ia akan menjalani hidup baru di rumah pembinaan calon imam.
“Tuhan. Jadilah kehendak-Mu, aku pasrahkan semua ini kedalam tangan-Mu.”
Demikian ungkapan Gian mengiringi langkah kedua kakinya memasuki gerbang Seminari.

 

Fr. Firhianus Bota, Pr

1 KOMENTAR

  1. Emang ya panggilan itu selalu datang kpn n dimana saja, walaupun gak selamanya panggilan itu untuk jadi imam,biarawan/i tpi q bersyukur masih ada tuhan disisiku.
    Cerpennya memotivasi banget kak,aku suka☺

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini