Pastor Aegidius Eko Aldilanto OCarm: Terbuka dan Mawas Diri

941
Sekretaris Eksekutif Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Indonesia, Pastor Aegidius Eko Aldilanto OCarm.
[HIDUP/Marchella A. Vieba]

HIDUPKATOLIK.com – Perilaku radikal harus dicegah. Umat Katolik harus lebih membaur di tengah lingkungan masyarakat sehingga nila-nilai tradisi tetap mengakar demi budaya
adil dan damai.

Teror yang menyapa Gereja Katolik membuat beberapa warga Gereja merasa was-was. Jatuhnya korban jiwa dan luka-luka mungkin menyebabkan duka mendalam dan trauma sehingga merasa takut untuk bisa melakukan kegiatan keagamaannya di rumah Tuhan. Namun umat tidak boleh menutup diri, justru umat dihimbau untuk tidak takut dan lebih mawas diri. Berikut hasil wawancara tatap muka dengan Sekretaris Eksekutif Komisi Keadilan dan Perdamaian (KKP) KWI, yang hangat disapa dengan Pastor Eko.

Bagaimana KKP melihat kejadian teror bom yang terjadi baru-baru ini?

KKP melihatnya bukan hanya peristiwanya saja ya. Tapi saya percaya bahwa peristiwa itu sudah ada sejak lama dalam arti benih-benih penanaman sikap-sikap intoleransi dalam kelompok-kelompok tertentu. Mungkin karena ini juga ada persoalan politik, kepentingan-kepentingan yang lain, jangan-jangan juga ada keterlibatan luar dengan persoalan modal asing yang direvisi kembali. Karena banyak orang mengait-ngaitkan tidak hanya persoalan bom, tapi ada nilai-nilai yang diperjuangkan oleh mereka. Tentu Gereja hanya sebagai “media” untuk menunjukkan suatu peristiwa, supaya orang melihat bahwa dibalik itu ada sesuatu yang lebih besar lagi.

Yang pertama harus kita sikapi bukan hanya orang-orang yang dibom atau gereja kurang aman atau “kecolongan”, tetapi merupakan peristiwa yang panjang. Kedua, dalam konteks itu juga kita sebagai KKP mengingatkan bahwa tidak perlu kita menjadi gelisah atau takut, namun yuk kita bersama mencari, jangan-jangan dalam perjalanan bangsa bermasyarakat ini ada nilai-nilai yang ditanamkan lepas dari tradisi bangsa kita yang bersumber pada Pancasila sebagai ideologi. Sehingga lalu melihat orang atau kelompok lain itu bukan sebagai saudara atau sesama tetapi sebagai suatu yang mudah dihancurkan. Ketiga, jangan-jangan orang yang punya pola itu tadi lalu dimanfaatkan oleh kelompok tertentu, semakin dicuci otaknya untuk mengatakan bahwa itu adalah hal yang benar dan mereka lebih semangat karena ada yang mendukung.

Tentu KKP melihatnya juga bukan sekedar ketidakadilan, namun ada nilai-nilai lain yang perlu kita perbaiki.

Banyak umat Katolik terkejut dan takut melihat peristiwa itu. Bagaimana tanggapan Pastor?

Takut itu bagian dari hidup. Kita tidak bisa seketika merubah. Namun peristiwa bom di Surabaya itu dijadikan suatu pembelajaran bahwa, oh ternyata tugas Gereja tidak sekadar menanamkan orang menjadi suci, tidak berbohong, tidak berbuat jahat, tidak berzinah, tidak mencuri, namun lebih jauh lagi bagaimana kita juga berarti bagi tata kehidupan masyarakat.

Ada satu perjalanan rohani yang perlu diperbaharui, dari hanya memikirkan kesucian diri sendiri, berubah menjadi bagaimana Gereja berarti dalam perubahan tata nilai dalam masyarakat. Maka kita harus semakin terbuka.

Liturgi-liturgi perayaan itu sangat penting, namun lebih berarti lagi menggerakan umat untuk lebih berani bersosial. Dengan bersosial itu kita bisa mengetahui peta, peluang, dan bisa mengambil sikap-sikap tertentu. Mungkin karena kita tidak pernah bersosial atau tidak pernah membaur maka kita tidak mengerti dan kurang peka terhadap tanda-tanda zaman.

Dengan komunikasi, bercerita, bertemu dengan orang kampung, kita akan melihat pernak-pernik kisah sosial dan bisa menjadi bahan-bahan pertimbangan dalam hidup menggereja. Lebih peduli terhadap lingkungan semisal perilaku tetangga kita, kalau ada perubahan kita dekati kita ajak ngobrol tanya-tanya seperti itu membangun dialog kebersamaan. Jadi jangan hanya menjadi orang yang gelisah dan hanya takut. Kita juga harus menjadi orang yang terlibat.

Apapun alasannya kalau kita ingin membangun budaya adil dan damai, ya kita harus berani masuk ke dalam kehidupan konkret. Prinsipnya kan Gereja untuk masyarakat, Gereja untuk dunia. Gereja yang disuburkan dengan pengalaman-pengalaman iman itulah yang harus kita hidupkan dan kita bawa untuk memperbaharui kehidupan juga.

Seperti apa cara bersikap terhadap teman atau lingkungan yang berbeda?

Lepas apapun agamanya, kita harus riil bahwa kita di Indonesia hidup di tengah-tengah aneka keberagaman, termasuk dengan kelompok-kelompok Muslim yang mungkin dengan berbagai aliran dan tafsiran ajaran. Secara kelakuan mereka adalah teroris, yang kebetulan menganut agama Islam. Sama di beberapa negara kejahatan ada yang dilakukan oleh orang yang kebetulan beragama Kristen. Ini soal cara memahami hidup. Justru yang saya kagumi itu katekese yang mereka lakukan itu sangat kuat sehingga berani membawa bom. Orang sungguh-sungguh yakin dengan membawa bom bisa masuk surga.

Dengan membangun relasi dan komunikasi, kita juga bisa memahami. Kalau kita menutup diri malah kita tidak bisa tahu persoalan dan menjadi bingung.

Apakah dengan mengampuni pelaku teror, proses hukum juga selesai?

Secara moral rohani pengampunan menjadi nilai yang tetap kita usung dan wartakan. Namun perilaku atau tindakan-tindakan yang melanggar hukum ya tetap diproses hukum. Soal kekerasan bukan hanya kegiatannya, tapi juga soal jiwa orang yang mengalami perlakuan kekerasan itu. Apa yang menjadikan kerugian-kerugian sosial itu harus kita letakan kepada hukum sosial. Sehingga perilaku seperti itu dicegah, ditindak, sehingga jangan sampai muncul seperti itu lagi.

KKP mendukung dalam konteks di tingkat keuskupan sudah ada KKP masing-masing. KKP KWI menganimasi dan mendampingi. Secara mendasar kekuatan Gereja itu berada di tingkat keuskupan. Kita mendukung, memberikan inspirasi KKP di keuskupan, kita bergerak untuk budaya keadilan, mengajak umat terbuka terhadap masyarakat dan menjadi gereja yang terlibat. Kita mengampuni dan merasa kasihan karena kita melihat bahwa mereka “dibodohi” dengan hal-hal saleh untuk melakukan kejahatan. Kami mendukung sikap radikal itu harus ditindak dengan UU Antiteroris. Secara hukum tetap dijalankan, secara moral kita diajarkan untuk tidak menjadi pendendam.

Adakah anjuran khusus?

Tetap hati-hati. Saya kira masing-masing paroki dan keuskupan ada protokol-protokol yang sudah ada. Memang mungkin agak terganggu umat semisal masuk ke gereja harus antre. Ya resikonya seperti itu agar tidak “kecolongan” makanya harus ditaati untuk keamanan.

Apa harapan Pastor?

Sebagai Gereja kita harus menyadari bahwa peristiwa teroris itu jangan hanya ditanggapi dengan ketakutan tetapi harus kita sikapi dengan suatu keterbukaan untuk membangun komunikasi. Karena dengan keterbukaan itu kita juga bisa mentransfer nilai-nilai keimanan kita untuk menjadi orang yang adil dan mencapai kedamaian. Harus membangun budaya adil dan damai.

Mungkin perlu juga di Gereja Katolik dikembangkan katekese Ajaran Sosial Gereja. Ini dokumen-dokumen lama namun seringkali di tingkat umat tak pernah terbaca. Mungkin bisa dijadikan pendalaman iman, dan katekese. Jadi orang Katolik tidak cukup hanya sembahyang, namun juga bagaimana di tengah masyarakat harus mentransfer, membudayakan, dan menjalankan ajaran-ajaran yang kita imani. Bagaimana kita berarti bagi orang lain.

Marchella A. Vieba

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini