HIDUPKATOLIK.com – Bukan biarawati, tetapi mereka mengikrarkan kaul tiga nasihat Injil: kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan. Anggota Serikat Rosa Mistika hadir di tengah dunia dengan bidang pelayanan masing-masing.
Serikat Rosa Mistika (SRM) merupakan Lembaga Hidup Bhakti Sekuler, didirikan pada 15 Agustus 1982, di Wikrama Putra Ngalian, Semarang, Jawa Tengah. Lembaga ini dipromotori oleh RP Henricus Constant van Deinse SJ, disahkan dan diterima oleh Vikaris Kapitularis Keuskupan Agung Semarang (KAS) yang saat itu diemban oleh RD Alexander Djajasiswaja. Dalam pengesahan itu, selain diadakan penerimaan kaul perdana, juga dilantik dua anggota, yaitu Sr Josefine Albert Masella SRM (Alm) dan Sr Maria Maxima Alfa Aryesam SRM yang saat ini berkarya di Jakarta.
Pada awalnya, anggota SRM hanya dua orang. Kini, setelah 32 tahun, anggotanya 31 orang dan empat calon. Mereka tersebar dalam karya, antara lain di Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Tanjungkarang, Keuskupan Bandung, Keuskupan Amboina, dan Keuskupan Timika.
Komunitas SRM beranggotakan awam perempuan yang mengucapkan Tri Prasetia nasihat Injil: kemurnian, ketaatan, dan kemiskinan. SRM tidak mengembangkan karya khusus, tetapi justru itulah yang menjadi kekhasannya. Setiap anggota bekerja sesuai dengan pekerjaannya masing-masing. Panggilan kerja ini merupakan sarana karya kerasulan mereka sehari-hari. Maka kerja sehari-hari dimaknai dalam spiritualitas pelayanan dan pengabdian untuk keluhuran Tuhan. “Setiap anggota SRM yang hidup tersebar harus bekerja untuk menyiapkan sendiri hari tua dengan bijaksana dan mulia,” demikian disampaikan moderator SRM, RD FX Sukendar Wignyosumarto.
Tidak Serumah
SRM berpusat di KAS dan memiliki Sekretariat di SMK Theresiana Semarang, dipimpin Sr Yuliana Siti Harjanti SRM. Profesi kerja anggotanya bermacam-macam, antara lain dosen, karyawan swasta, guru, pembimbing buruh, wiraswasta, dll.
Para anggota komunitas merefleksikan bahwa dunia merupakan tempat pelayanan dan pengabdian kepada Tuhan lewat tugas dan keahlian mereka. “Kami hidup mandiri. Hidup menyatu dengan masyarakat, di mana kami berasal. Kami tidak tinggal dalam satu rumah, tetapi kami diikat oleh spiritualitas yang sama. Kami memberi pelayanan sesuai dengan bidang karya dan keahlian kami masing-masing,” kata Sr Maria Goreti Sukarti SRM.
Walaupun kelompok ini tidak hidup dalam satu atap, namun mereka membangun persaudaraan. Untuk memupuk keakraban, komunitas mengadakan pertemuan bersama sekali sebulan, di wilayah domisili masing-masing. Sekali dalam setahun, mereka berkumpul untuk mengadakan retret bersama dan pembaruan kaul yang diikuti oleh semua anggota.
Penopang Hidup
Salah satu misi lembaga ini adalah diutus bekerja di tengah dunia. Mereka diutus untuk bekerja sesuai dengan nasihat Injil. Lewat pekerjaan itu, para anggota hendak memberi kesaksian tentang kehadiran Kristus yang menyelamatkan. “Di rumah saya berjualan nasi uduk untuk membiayai hidup dan untuk bekal hari tua nanti. Ini adalah salah satu bentuk kemandirian hidup yang saya ikrarkan,” kata Sr Anastasia Rosianty Racmad SRM.
Sr Yuliana mengamini, anggota SRM di mana pun harus bekerja untuk menopang hidup mereka masing-masing. Selain bekerja untuk hidup sendiri, anggota SRM diharapkan terlibat dalam kegiatan pelayanan pastoral, baik parokial maupun kategorial. Beberapa ladang pelayanan para suster SRM, antara lain Legio Mariae, prodiakon, katekis. “Para Suster SRM benar-benar hidup di dunia ‘ramai’, mandiri, tidak mempunyai biara dan tidak berjubah. Mereka hanya memiliki seragam warna pink untuk pertemuan khusus,” jelas Sr Yuliana.
Berbagai kegiatan yang dilakukan SRM ini selalu berpedoman pada visi, yaitu berkarya dalam kasih sesuai kehendak Allah. Oleh karena itu, anggota komuni tas dipanggil untuk menjadi kudus, lewat pengudusan di dalam dan dengan dunia. Bersama Hati Kudus Yesus dan Bunda Maria Rosa Mistika, anggota juga dituntut hidup melulu bagi Allah dan sesama dalam semangat contemplatio in actione. Anggota juga diminta menyucikan diri sendiri dan orang lain melalui karya apostolik (kerasulan), melalui doa apostolik, dan menjadi Vita Concecrata (Persembahan Hidup).
Tiga Kaul
Selain mempersembahkan hidupnya, menurut Sr Maria Goreti, anggota komunitas juga berdevosi kepada Bunda Maria yang berlambang tiga mawar di dada. Ketiga mawar itu adalah mawar putih tanda kesucian, semangat doa dan damai; mawar merah pengorbanan dan penderitaan; dan mawar kuning lambang pertobatan dan silih dosa. Tiga mawar ini melambangkan tiga Nasihat Injil yang diikrarkan setiap anggota dalam tiga kaul, yaitu Keperawanan (Selibat), Kemiskinan (Sederhana) dan Ketaatan (Pengabdian). “Walaupun kami bekerja seperti awam pada umumnya, namun kami tetap menjalankan hidup dalam bingkai tiga kaul yang kami ikrarkan,” tegas dosen Bahasa Inggris di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang ini.
Dalam perjalanannya, SRM masih terus berupaya untuk mengembangkan karya pelayanan, baik di bidang pastoral maupun pelayanan sosial. Lembaga ini juga terus berharap adanya pendampingan dari moderator sehingga panggilan setiap anggota diperkuat dengan berbagai rahmat dan karunia untuk menjalankan tugas serta panggilan di dunia.
Mereka berharap semakin banyak umat yang terpanggil untuk bergabung ke dalam SRM. Sr Yulia menjelaskan, untuk bergabung dalam SRM tidak susah. Syaratnya: wanita dewasa Katolik yang ingin membaktikan diri bagi Gereja dan masyarakat; sehat fisik dan mental; sudah mempunyai pekerjaan dan penghasilan hingga dapat hidup mandiri; tidak terikat pada Lembaga Hidup Bhakti lain; dan berpendidikan setara SLTA atau yang dinilai mencukupi.
Setelah seorang calon diterima, mereka akan menjalani masa pengenalan selama kurang lebih satu tahun. Kemudian ia akan diterima sebagai novis selama dua tahun, dan selanjutnya akan memperbarui kaul sekali setahun, selama lima tahun. Sebagai puncaknya mereka dapat mengikrarkan kaul kekal.
Norben Syukur
HIDUP NO.37, 14 September 2014