HIDUPKATOLIK.com – Pada era 80-an hingga 90-an, jika berkeliling ke kota besar di Indonesia, kita akan menemukan slogan yang mengiringi nama kota. Jika ke Dili, Timor Timur, yang saat itu masih ibukota propinsi ke-27 Republik Indonesia, kita akan menemukan nama Dili sebagai kota “bertaiss”. Tentu saja, sebutan ini tak ada berhubungan dengan tenunan rakyat yang disebut kain tais.
Dili “bertaiss” adalah singkatan dari kota Dili yang “bersih, tertib, aman, indah, sehat dan sopan”. Ini sama seperti dengan “Jakarta BMW” (bersih, manusiawi, berwibawa), “Salatiga Beriman” (bersih, indah, dan nyaman), “Manado Kota Bersih, Sehat, Aman dan Tertib”. Jelas ini sebuah cerminan ideologi pembangunan ala Orde Baru yang dijalankan, yaitu perlombaan “menertibkan” dan “memperindah” wilayah. Pembangunan diidentikkan dengan kerapian, keindahan, dan ketertiban semata.
Pada zaman Orde Baru, Presiden Soeharto setiap tahun selalu membagikan piala Adipura kepada kepala daerah yang berhasil mewujudkan pembangunan “rapi”, “indah” dan “tertib”. Para kepala daerah diperlakukan seperti anak sekolah dasar yang harus rajin mengunting kuku dan cuci tangan, tanpa perlu memperhatikan sejumlah prolematika sosial yang sangat komplek. Maka setiap kota, seperti Dili, berlomba-lomba menamai kota dengan memadukan sejumlah kata-kata “ajaib”, seperti sehat, tertib, indah, rapi, dan yang lain.
Alhasil, muncul nama kota baru di seluruh peta bumi Indonesia. Antara lain Solo Berseri, Yogya Berhati Nyaman, Tegal Kota Bahari, Salatiga Hati Beriman, Jakarta BMW, Bekasi Kota Iman, Bandung Berhiber, Tasik Bersinar, Boyolali Tersenyum, Medan Bestari, Manado Kota Bersehati, Mataram Beribadah, dan lain sebagainya.
Tak pelak, melihat kota di Indonesia, kita akan melihat replika kecil kebijakan pembangunan ala Orde Baru yang lebih banyak memproduksi jargon ketimbang membenahi manusia. Pemerintah ibarat pabrik yang terus memproduksi jargon, simbol, serta menggunakan berbagai media untuk memaknai kembali semua hal yang berbau Orde Lama. Jangan kaget, bila kita menjumpai simbolisasi negara ternyata lebih merupakan sebuah langkah penyeragaman.
Barangkali kita perlu mengingat bahwa menjelang Pemilu 1997, pemerintah menjalankan strategi untuk menunjukkan dukungan rakyat kepada pemerintah dan dukungan bagi pencalonan kembali Soeharto. Cara yang digunakan adalah mengubah semua tampilan negara dengan warna kuning, warna partai pemerintah. Warna merah dan hijau diperangi habis-habisan. Sejumlah baju dinas diseragamkan, termasuk seragam dalang dan pesinden. Semua pagar rumah, trotoar bahkan tempat umum dicat kuning. Para sopir angkutan umum dan pengojek diimbau untuk mengenakan rompi berwarna kuning. Ia memerintahkan agar semua “harta benda” milik Pemda Semarang di cat kuning, termasuk menyulap warna semua “zebra cross” di kota Semarang.
Beberapa strategi pembangunan Orde Baru pada dasarnya telah membuldoser kemajemukan. Gambaran tentang keragaman provinsi Indonesia hanya bisa ditemukan dalam “Barisan Nusantara” yang lebih mirip sebuah etalase toko. Keragaman masyarakat dalam ideologi, sosial, agama, dan kebudayaan, justru dihambat, kecuali untuk kepentingan kampanye ke dunia internasional.
Paus Leo XIII dalam Ensiklik “Libertas Praestantissimum” menyatakan bahwa hanya negara yang bersifat totaliter yang berusaha menyerap bangsa, masyarakat, keluarga, dan golongan agama, serta menguasai para warganya sendiri selaku perorangan. Negara Indonesia yang terdiri dari 30 ribu pulau dengan 656 suku, digambarkan telah menjelma menjadi sebuah negara “persatuan dan kesatuan” Indonesia. Tapi nyatanya, pemerintah Orde Baru juga tak konsisten dengan sikapnya. Kini, apakah memang masih ada negara yang bercita-cita maju dan modern, seperti Indonesia, yang justru melakukan penyeragam dan monokulturalistis bangsanya?.
Stanley Adi Prasetyo
HIDUP No.39, 28 September 2014