Romo Dewanto Martir Bersama Umat

1914
RP Tarcisius Dewanto SJ.

HIDUPKATOLIK.com – Pembunuhan massal para pengungsi di Gereja St Maria Suai, Timor Leste, terjadi tanggal 6 September 1999, sebagai rangkaian kemarahan para milisi (Laksaur dan Mahidi) dan tentara atas hasil referendum yang digelar PBB.

Pastor paroki Suai, RD Hilario Madeira, RD Francisco Soares dan RP Tarcisius Dewanto SJ dibunuh bersama puluhan umat Katolik yang mengungsi di kompleks gereja. Sebagian jenazah dibawa ke pantai desa Alas, Kecamatan Wemasa, Kabupaten Belu, Timor Barat.

Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) bergerak mencari fakta. Pada tanggal 25 November 1999 mereka pergi ke pantai Mota Masin untuk menggali kuburan massal. Ada informasi, di sana dikuburkan juga tiga pastor yang dibunuh di gereja Suai. KPP HAM meminta Provinsial Serikat Jesus untuk mengirim saksi yang bisa mengidentifikasi jenazah Romo Dewanto SJ.

Karena saat itu saya tengah membantu pengungsi di Timor Barat dalam Jesuit Refugee Service (JRS), maka saya ditugaskan mendampingi KPP HAM. Saya mengajak Fr Y. Edi Mulyono SJ, dan di lokasi ketemu Romo Ageng Marwata SJ yang datang dari Dili.

Situasi Timor Barat saat itu dikuasai kaum milisi bersenjata. Rombongan KPP HAM berangkat pagi-pagi buta dengan pengawalan beberapa truk Brimob. Dalam rombongan ada Munir (almarhum) dari Kontras dan HS Dilon dari KPP HAM.

Penggalian kuburan pertama yang berisi jenazah tiga pastor dilakukan oleh pasukan Brimob. Setelah menggali sedalam satu meter, terlihat ada tikar plastik. Munir langsung berkomentar bahwa tempat itu benar kuburan. Dan saat mulai terlihat tulang-belulang, hati saya berdesir, “Ah, De! (panggilan saya ke almarhum Romo Dewanto) Mengapa kamu mati begitu mengenaskan?”

Akhirnya tiga kerangka jenazah di letakkan berjajar. Wajah mereka tak bisa di kenali. Mereka tidak mengenakan jubah seperti kesaksian orang yang berada de kat pastoran Suai. Mereka bersaksi, ke tiganya memakai jubah saat diekseksi. Ke mungkinan jubah mereka dicopot para eksekutor agar tidak menarik perhatian saat jenazah diangkut dari Suai ke Betun dengan truk.

Saya tak mengenali jenazah Pastor Hilario dan Francisco. Fr Edi Mulyono mengenali sandal yang dikenakan Pastor Dewanto dan Romo Ageng Marwata bisa mengenali sabuknya. Tim dokter forensik dari RSCM Jakarta membawa susunan gigi dari Rumah Sakit Panti Rapih (RSPR) Yogyakarta. Sebelum berangkat ke Timor Leste bulan Agustus 1999, ia memeriksakan giginya di RSPR. Ternyata su sunan gigi pada jenazah sama dengan catatan dokter RSPR. Setelah itu, kuburan kedua dan ketiga digali. Diketemukan 24 jenazah laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Semua langsung diutopsi di Rumah Sakit Umum Atambua.

Hari sudah senja. Kami ingin memakamkan Pastor Dewanto dengan layak. Dari pihak Gereja Timor Leste, mereka menghendaki jenazah ketiga pastor dibawa ke Dili. Kesulitan administratif muncul, karena tentara dan kaum milisi tidak mengijinkan kami melewati perbatasan negara membawa jenazah. Hari sudah gelap, dan jenazah tiga pastor sudah dibawa dengan truk Brimob ke perbatasan. Setelah negosiasi alot, akhirnya kami diijinkan melewati perbatasan hanya membawa tiga jenazah pastor itu.

Setelah masuk Timor Leste, masalah berikutnya muncul. Tentara internasional Interfet (The International Force for East Timor) yang menjaga perbatasan tidak memiliki kendaraan untuk membawa jenazah ke Dili. Dengan bantuan para Jesuit di Dili, dikirimlah sebuah truk ke perbatasan untuk menjemput jenazah para pastor .

Sekitar tengah malam, truk masuk kota Dili dan langsung menuju Gereja Katedral. Bunyi lonceng gereja dengan irama berduka berdentangan. Di depan gereja saya melihat dari atas truk ratusan orang ke luar dari gereja menyambut kedatangan jenazah. Semua berpakaian hitam dan menangis histeris. Semalaman jenazah disemayamkan di gereja. Keesokan harinya diadakan misa Requiem. Pas tor Dewanto dimakamkan di kompleks komunitas SJ Taibesi, Dili.

Beberapa bulan kemudian saya berkunjung ke Suai yang saat itu belum pulih. Saya mendapat cerita dari beberapa orang perihal kematian Romo Dewanto. Banyak umat menyarankan agar ia pulang ke Jawa demi keselamatannya.

Namun, Pastor Dewanto taat kepada atasannya dan bertahan pada tugasnya di Suai. Ia yakin bahwa tentara yang kebanyakan orang Jawa tidak akan membunuhnya sebagai sesama orang Jawa. Sekitar pukul 14.00 suasana Suai tidak ter kontrol. Sekelompok orang menyerang gereja. Mereka membunuh para pengungsi. Pastor Dewanto keluar dari pastoran dengan mengenakan jubah. Ia menaikkan kedua tangannya seolah meminta mereka menghentikan penembakan. Seseorang mendekatinya dan memukul tengkuknya sampai meninggal. Dari otopsi, memang tidak diketemukan proyektil peluru di jenazahnya. Beberapa tulang leher diidentifikasi retak.

Pastor Dewanto telah menyerahkan hidupnya bagi orang-orang Timor Leste. Ia tetap berada bersama umatnya di Suai. Dia menunjukkan bahwa Gereja tidak meninggalkan umatnya pada saat mengalami penganiayaan dan pembunuhan. Romo Dewanto solider bersama ribuan korban pembunuhan di Timor Leste.

Andreas Soegijopranoto SJ
Bekerja di Timor Barat sebagai Direktur Jesuit Refugee Sevice Indonesia (1999-2000)

HIDUP No.41, 12 Oktober 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini