HIDUPKATOLIK.com – Dia meraih gelar doktor pada usia 75 tahun. Salah satu alasannya, dengan ilmu yang dimiliki, ingin menjadi saluran berkat Tuhan kepada para penderita kanker.
Selama 31 tahun, Irene Marcellina Sunarsih bergumul mendampingi para pasien kanker di Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Cabang DI Yogyakarta . Dia menyadari, harus ada sesuatu yang bisa disumbangkan untuk yayasan tersebut untuk jangka panjang. Hingga suatu saat dirinya tergerak untuk membuat standar prosedur pendampingan bagi penyintas atau pasien kanker. Hal tersebut belum ada di Indonesia.
Terkait itu, Sunarsih membutuhkan penelitian yang serius dan intensif, agar usaha ilmiahnya itu benar-benar valid, dipercaya, dan mudah diterapkan di seluruh wilayah di Indonesia.“Saya ingin jadi saluran berkat Tuhan untuk pasien kanker, khususnya kanker payudara. Umur berapa pun kalau kita punya konsep, prinsip, dan memungkinkan, bisa jadi berkat Tuhan bagi orang lain,” ujar Sunarsih, saat ditemui di kantor kerjanya YKIDIY, Selasa, 8/5.
Tak Diketahui
YKI merupakan lembaga non profit yang didedikasikan bukan hanya mendampingi pasien, tapi juga mengedukasi masyarakat soal kanker. Tak banyak sumber daya manusia serta sumber finansial yang diterima YKI setiap waktu. Sementara jumlah pasien kanker kian banyak dari waktu ke waktu.
Menurut Sunarsih, jauh sebelum ada layanan Jaminan Kesehatan Nasional, YKI sudah mengupayakan pengurangan harga obat dan biaya perawatan. Cara yang ditempuh YKI dengan melobi para dokter di RSUP Sarjito serta perusahaan obat. Tak jarang, para relawan harus mengeluarkan uang pribadi untuk menyewa ambulans untuk menjemput pasien kritis dari pelosok-pelosok Yogyakarta ke rumah sakit.
Wakil Ketua I YKI-DIY ini menyadari, keganasan kanker dapat menimbulkan efek domino, seperti sosial, ekonomi, psikologi, dan spiritual bagi pasien dan orang-orang di sekitarnya. Angka kejadian dan kematian akibat penyakit ini, baik di tingkat global, Indonesia, maupun di Yogyakarta, meningkat.
Jenis kanker tertinggi adalah kanker payudara. Dia mengungkapkan, banyak pasien kanker datang ke rumah sakit dalam stadium lanjut. Ini karena penderita kanker payudara menunda pengobatan medis dan mencoba melakukan pengobatan non-medis.
Selain di YKI, Sunarsih menjadi dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Atas izin suami, Sutaryo, yang berprofesi sebagai dokter, dan dukungan rekan-rekannya, Sunarsih mengambil program doktoral di Fakultas Kedokteran UGM pada 2014. “Saya masuk jadi mahasiswa pascasarjana secara diam-diam, tanpa diketahui anak saya. Saat periode saya, yang mendaftar S-3 ada 70 orang dan yang diterima 40 orang,” kenang perempuan kelahiran Solo, 11 Februari 1943 ini.
Sunarsih mengambil S-3 ketika sudah melewati batas umur, maka tak ada kesempatan untuk mengajukan beasiswa. Sunarsih merupakan pensiunan Kanwil Departemen Kesehatan DIY, sedangkan sang suami adalah pensiunan karyawan swasta yang lugu dengan tabungan hari tua yang sekadar cukup. “Mama memang tidak mau merepotkan anak cucunya. Mereka mempunyai satu rumah kecil yang tidak ditinggali dan dikontrakkan. Dengan uang kontrakan itulah, mama membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan. Dan selalu saja, rejeki itu cukup,” ungkap putri sulung Sunarsih-Sutaryo, Alma Linggar Jonarta.
Pada Selasa, 15/5 ini, Sunarsih mempertahankan disertasinya di hadapan tim penguji. Disertasinya setebal 246 halaman itu berjudul “Tertundanya Pengobatan Medis Pasien Kanker Payudara Studi untuk Penyusunan Pedoman Relawan”.
Ketekunan, Doa
Alma, sapaannya, yang juga berprofesi sebagai dokter, menuturkan, saat sang ibu mendaftar program doktoral, dirinya sedang berjuang untuk menyelesaikan studi S-3 yang sudah lama tak rampung. “Mama diam-diam mendaftar. Saya baru tahu dari supervisor (promotor) saya, ketika menyuruh saya ngebut supaya tidak disalip mama. Kalau disalip kan repot, maka saya ngebut nyelesaikan S-3,” kenangnya.
Alma juga masih terngiang ucapan ibunya pada 31 Juli 2015, begitu dirinya menempuh ujian doktor. Ketika itu, sang ibu minta foto di sampingnya supaya cepat menyusul meraih gelar doktor. Dia menyebut ibunya yang meraih derajat doktor pada usia 75 tahun sebagai peristiwa luar biasa.
Dia menyadari, ibunya bukanlah seorang akademisi, dan hanya pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Kelebihan mama yang tidak bisa saya kalahkan adalah kesabaran dan ketekunannya,” sebut Alma, seperti diunggah di akun facebooknya.
Dia menunjukkan, saat masuk semester pertama tahun 2014, skor Toefl ibunya hanya 450-an. Namun karena ibunya tekun belajar dan mengikuti kursus bahasa Inggris, sempat berkali-kali gagal tes, akhirnya berhasil meraih nilai prasyarat Toefl>500.
Disebutkan pula, selesainya studi doktoral sang ibu beriringan dengan ulang tahun emas (50 tahun) perkawinan orangtuanya pada 9 Mei lalu. Menurut Alma, dukungan doa bapak menjadi semangat dan kekuatan istrinya meraih gelar tersebut. “Bila melihat mama lembur atau flu berkepanjangan, seringkali papa diamdiam baper (bawa perasaan) kemudian curhat kepada saya melalui WhatsApp. Papa tidak tega melihat mama seakan terlalu memforsir diri dan kecapaian, ”tuturnya.
Sunarsih banyak menerima penghargaan, di antaranya sebagai pejabat kesehatan terkomunikatif se-DIY (1993) pilihan Wartawan Unit Kesehatan PWI Yogyakarta. Pada 2016, dia mendapat penghargaan atas jasanya selama 15 tahun mengabdi sebagai Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga DIY.
Sumber Kekuatan
Di dalam keluarganya sendiri, dia selalu mencoba menyesuaikan diri dengan anak dan suaminya. “Saya beruntung punya suami yang tekun mempelajari firman-firman Tuhan. Kepada saya dan anak-anak, beliau memberikan ayat-ayat itu sehingga menguatkan saya dalam pendampingan pasien kanker dan menyelesaikan studi S-3,” ucapnya mensyukuri.
Sunarsih merasakan kehidupan keluarganya banyak menerima kebahagiaan dari Tuhan. Pasangan sepuh ini dikarunia tiga anak. Semuanya menjadi dokter, selain Alma, ada Esta Eradima Jonaria dan Grendi Faneri Yonarko. “Saya ingin menyalurkan berkat Tuhan kepada sesama, khususnya kepada pasien kanker payudara,” ungkapnya bersemangat.
H. Bambang S.